"Tentang memilikimu. Aku jelas sudah tau hanya angan-angan. Tapi tak salah kan jika aku masih ingin berharap?"
//
Keesokan harinya, ternyata gosip itu belum hilang. Bahkan, bisikan-bisikan di antara para siswa semakin bertambah. Lavina tidak menyangka bahwa dampaknya akan sebesar ini. Setiap kali ia melewati koridor sekolah, ia hanya bisa berjalan sambil menunduk, merasa tertekan dan terisolasi.
Melihat kondisi Lavina yang semakin terpuruk, Regi dan Karina merasa kasihan dan segera merangkul Lavina, mencoba memberinya dukungan. Mereka merasa marah dan kesal melihat perlakuan buruk yang dialami Lavina. Tanpa ragu, mereka memarahi setiap orang yang terlihat sedang berbisik-bisik atau menyebarkan gosip tentang Lavina, menegaskan bahwa tindakan itu tidak dapat diterima dan menyakiti perasaan Lavina.
Teman-teman sekelasnya pun tampak membicarakan tentang Dellano dan menyelipkan namanya. Meskipun Lavina tidak terlalu mendengar karena ia tidak ingin lagi mendengar perkataan buruk tentang Dellano maupun dirinya, namun kehadiran namanya dalam percakapan membuat suasana hatinya semakin terganggu. Ia hanya berharap waktu cepat berlalu sampai saatnya pulang.
Lavina memilih untuk menutup telinganya terhadap gosip dan omongan negatif yang mengitari Dellano dan dirinya. Meskipun ia merasa tertekan dengan situasi di sekolah, namun ia memilih untuk tetap tenang dan tidak terlibat dalam drama yang tidak menyenangkan. Ia fokus untuk menyelesaikan harinya dan berharap bisa pulang ke rumah, di mana ia merasa lebih aman dan nyaman.
Saat pulang tiba, parkiran tampak ramai seperti biasa, tetapi kali ini diiringi dengan gosip yang tidak mengenakkan.
"Eh, tau gak? Ternyata Lano udah pacaran sama ketua OSIS, si Aurel, selama lima bulan."
"Hebat ya bisa nyembunyiin statusnya selama itu, mana mereka cakep, cocok banget ketua OSIS dan ketua tim basket!"
Sebenarnya Lavina tidak mau peduli dengan gosip, namun ia tidak sengaja mendengar informasi itu dan tampak terkejut.
"Apa karena cewek yang kemarin nembak Lano? Jadi dia risih terus ngepublish hubungannya."
Hati Lavina mencelos, ia mempercepat langkahnya namun tidak sengaja melihat Dellano dan Aurel yang sedang bergandengan tangan dan tertawa bersama. Melihat pemandangan itu, hati Lavina semakin sakit. Rasanya seperti diberi pukulan di dada yang membuatnya terengah-engah.
Dengan perasaan campur aduk, Lavina berusaha menjauh dari situasi tersebut secepat mungkin. Ia merasa seperti dihantam oleh ribuan duri. Rasa sakit dan kekecewaan merasuk dalam dirinya, membuatnya ingin segera pergi dari sana dan mencari tempat yang tenang untuk merenungkan semua yang terjadi.
Kemudian, Lavina naik bus bukan ke arah rumah, melainkan ke tempat biasa yang dia kunjungi ketika sedang sedih: sebuah danau buatan yang indah, dikelilingi oleh rerumputan hijau dan bunga-bunga yang beraneka warna.
Saat ia tiba di sana, udara segar dan pemandangan yang tenang membantu meredakan sedikit beban emosinya. Lavina melepas sepatunya dan duduk di bawah rerumputan. Dengan perasaan yang berat, ia membiarkan dirinya tenggelam dalam kesunyian, hanya terdengar suara gemericik air dan nyanyian burung di kejauhan.
Lavina meraih sebuah batu kerikil dan melemparkannya ke arah danau dengan kekuatan yang menggelora. Setiap lemparan batu adalah ungkapan dari kekecewaannya, dari semua rasa sakit dan penyesalan yang menghantamnya. Di sini, di tepi danau yang tenang, Lavina merasa dapat melampiaskan semua beban emosinya, meskipun hanya sejenak.
Saking emosinya, Lavina sampai salah mengambil. Yang seharusnya batu kerikil, ia malah melemparkan sepatunya ke danau. Setelah menyadari kesalahannya, Lavina sangat terkejut.
"Ya ampun, sepatu gue!"
Lavina merasa hari ini ia sangat sial, terlebih karena ia tidak bisa berenang. Jadi ia mencari kayu panjang untuk memungut sepatunya, namun keseimbangannya tidak bagus. Ia hampir saja jatuh, kalau saja tidak ada seseorang yang menahannya.
Ternyata, orang itu juga melompat ke danau untuk mengambil sepatunya. Lavina terkejut melihatnya. Tak lama orang itu sudah kembali dengan sepatunya yang basah. Pakaian orang itu juga basah kuyup. Lavina merasa sangat bersalah, terlebih orang yang menolongnya adalah seseorang yang juga menolongnya ketika di toserba malam itu. Secara tak langsung orang itu sudah menolongnya sebanyak dua kali.
"Eum… makasih sekali lagi, baju kamu jadi basah," ujar Lavina, tatapannya masih tersirat rasa bersalah.
Pemuda itu tersenyum dan mengatakan tidak ada apa-apa, membuat Lavina semakin bingung. Hening sejenak di antara mereka.
"Mau ganti pakaian? Nanti aku ganti pakai baju baru. Oh mau ke rumahku dulu untuk ganti? Kebetulan gak jauh dari sini," tawarnya.
"Nggak usah, kebetulan juga saya bawa baju ganti." balasnya.
Lavina hanya ber-oh ria, lalu kembali hening. Ia sama sekali tidak pandai berbasa-basi dengan orang baru.
"Boleh minta bantuan?" Pemuda itu berkata.
Lavina langsung mengangguk. "Oh boleh! Apa tuh?"
"Cuma jagain tas saya di sini ya? Saya mau ganti baju dulu di sana,' tunjuknya ke toilet umum.
"Oh iya, tenang aja, bakal aku jagain."
Pemuda itu terkekeh lalu berjalan menuju toilet umum setelah mengucapkan terima kasih sebelum berlalu meninggalkan tasnya di bawah pengawasan Lavina. Lavina pun duduk di dekat tas tersebut, memperhatikan sekitar sambil menunggu pemuda itu kembali.
Saat mau membayar, petugas itu mengatakan tidak usah membayar karena sudah dibayar oleh gadis yang duduk di sana. Pemuda itu melirik ke arah Lavina lalu tersenyum, sebelum mengucapkan terima kasih ke petugas itu.
Setelah pemuda itu selesai mengganti pakaiannya, dia kembali ke tempat Lavina menunggu. "Terima kasih!" ucapnya begitu sampai. Lavina mengangguk ringan.
"Oh iya, kenapa bisa sepatumu nyemplung?" tanya pemuda tersebut, mencoba untuk memulai percakapan.
Lavina tersenyum canggung, merasa kikuk mengakui kejadian tersebut. "Itu... tadi kesenggol terus jatuh," jawabnya.
Pemuda itu menganggukkan kepala dengan penuh pengertian, lalu tiba-tiba teringat sesuatu. "Oh ya, maaf lupa tanya. Namamu siapa?"
"Namaku Lavina, Lavina Adhiyaksa Gantari. Kamu?" tanya Lavina balik, mencoba untuk mengalihkan perhatian dari kejadian memalukan tadi.
Pemuda itu sedikit terkejut oleh pertanyaan Lavina, melihatnya bengong, Lavina melambaikan tangannya ke hadapan pemuda itu.
Pemuda itu tersadar lalu terkekeh merasa lucu sendiri. Kemudian tersenyum dan melihatnya dengan tatapan yang ramah. "Aku Rega, Rega Tedja Maheratna," jawabnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Coldness of Memory and the Unerasable Fire [COMPLETED]
Ficção Adolescente"Pada akhirnya yang tersisa hanya kamu dan dirimu sendiri." --- Seorang siswi pindahan kelas 10 ternyata secara terang-terangan menaruh hatinya kepada salah satu kakak kelasnya yang sangat terkenal dingin dan bad habbitnya. Semuanya muncul karena t...