"Biar saja hujannya tetap deras. Aku suka seperti ini, menikmati rintiknya dibalik kaca. Sedikit egois kali ini, tak seperti dahulu, memintanya reda karena ingin bertemu seseorang."
//
Semenjak hari itu, Lavina yang tadinya selalu menghindar dari Dellano, kini hatinya kembali melunak. Mereka semakin dekat, dan semua gosip itu sudah hilang. Lavina bisa melanjutkan sisa-sisa kehidupan SMA-nya dengan tenang.
Mereka sering bersama, terkadang Lavina pergi ke rumah Dellano untuk menyapa kedua orang tua Dellano. Mereka sangat baik terhadap Lavina. Momen ini kembali mengingatkannya pada saat masa kecil dulu, di mana mereka sering bermain bersama di rumah Deklano. Keakraban dan kehangatan keluarga Dellano membuat Lavina merasa seperti di rumah sendiri.
Kini mereka berdua berada di tepi danau buatan, membiarkan angin sepoi-sepoi menyapu wajah mereka, mengenang masa kecil ketika mereka sering bermain di sini. Suasana damai dan indah di sekitar danau membawa mereka pada kenangan manis yang pernah mereka bagikan bersama.
"Mamah nanyain lo, kapan mampir ke rumah lagi?"
Lavina tersenyum tipis, "Gue gak enak kalo ke sana terus, takut ngerepotin."
"Ngerepotin apa? Nggak dong, dulu kan lo sering main ke rumah, sering nginep."
"Yah pokoknya beda, dulu kan masih kecil."
"Kalo sekarang emang kenapa?"
Lavina mengatupkan bibir, pipinya merona merasa malu. "bodo! Pokoknya beda!" kesal Lavina.
Sedangkan Dellano hanya tertawa.
"Oh, ya! Apakah lo masih sering kesini?"Lavina mengangguk, "Sering, terutama saat sedang sedih."
Dellano menunduk, merasa bersalah karena pernah menyakiti Lavina. "Maaf atas kejadian waktu itu, gua sama sekali tidak tahu bahwa itu adalah lo. Maaf sudah menyakiti lo," ucap Dellano dengan penuh penyesalan.
Lavina menghela napas berat. "Sudahlah, gue baik-baik saja, dan itu sudah menjadi masa lalu."
"Beneran deh, kalo tau lo adalah Vivi, sahabat kecil gua, pasti gua gak akan nolak pas lo nembak gua."
Lavina menyubit lengan Dellano membuat pemuda itu mengaduh. "Sembarangan! Pas itu bukannya lo masih sama Aurel?"
Dellano menggeleng. "Itu cuma hubungan formalitas. Aurel udah banyak bantuin gua, jadi banyak spekulasi kalo gua sama dia pacaran dan orang tuanya tau dan dia gak mau ngecewain ortunya."
"Dasar brengsek," kata Lavina sambil meninju pelan lengan Dellano dan mereka terkekeh bersama.
Dellano menatap Lavina dengan serius, tatapannya penuh harap. "Sebenarnya, sejak dulu gue udah suka sama lo, Vibi. Tapi, waktu itu kita masih kecil, dan gue takut kalau gue ungkapin perasaan itu, lo bakal ngejauh dari gue. Jadi, gue pendam sendiri perasaan ini. Tapi, setelah kita pisah, gue terus mikirin lo, Vivi. Gue berharap suatu hari kita bisa ketemu lagi dan gue bisa ungkapin perasaan ini."
Lavina terdiam, matanya membulat kaget mendengar pengakuan itu dari Dellano. Hatinya berdebar kencang, berusaha memproses semua yang baru saja didengarnya.
"Lo... lo serius?" desis Lavina, suaranya hampir tercekat oleh kekagetan.
Dellano mengangguk mantap, tatapannya tetap tulus. "Iya, Lavina. Gue serius. Lo mau jadi pacar gue? Gue mau menebus semua kesalahan yang dulu, Vivi. Gue janji gak akan buat lo sedih lagi."
Lavina tampak berpikir sejenak, kemudian mengangguk. Hatinya berbunga-bunga, tak pernah terbayangkan bahwa perasaannya akan terbalas, dan lebih dari itu, bahwa cowok yang selama ini menjadi idola di sekolahnya juga adalah Ano, sahabat kecilnya yang sudah lama ia rindukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Coldness of Memory and the Unerasable Fire [COMPLETED]
Ficção Adolescente"Pada akhirnya yang tersisa hanya kamu dan dirimu sendiri." --- Seorang siswi pindahan kelas 10 ternyata secara terang-terangan menaruh hatinya kepada salah satu kakak kelasnya yang sangat terkenal dingin dan bad habbitnya. Semuanya muncul karena t...