Chapter 6

886 139 3
                                    

Oculus Reparo tentu bisa memperbaiki kacamata yang patah, sama seperti yang Hermione lakukan pada Harry ketika pertama kali mereka bertemu di Hogwarts Express. Hermione pasti akan sangat marah jika dia tahu sahabatnya ini baru saja "memanipulasi" seorang Muggle, yang tak lain adalah Draco. Draco membelikannya kacamata baru, memberinya tumpangan dengan sebuah Porsche mewah, dengan poin plus rasa aman dan nyaman serta parfum maskulin yang memabukkan. Harry bisa membayangkan bagaimana percakapannya dengan Hermione jika dia menceritakan pengalamannya ini kepada Ron dan Hermione

"Harry, you bitch!" ujar Harry dengan suara yang ia buat-buat, menirukan Hermione dengan wajah marahnya yang menyeramkan. Kemudian, dia tertawa lepas. Harry menyewa hotel di dekat Central Park yang disarankan Draco. Entahlah, Harry bahkan merasa ia takkan pernah membutuhkan obat-obatan ataupun narkoba jika seorang Draco Malfoy saja sudah membuatnya kecanduan. Harry masih tertawa. Suaranya menggema di kamar hotel bintang limanya. Badannya berguling-guling di atas kasur king size yang sebelumnya telah dirapikan oleh petugas hotel.

Harry meraih tongkatnya yang hampir saja membuatnya tertinggal bus menuju bandara. Seharian ini ia hampir tidak menggunakannya sama sekali, menjadi Muggle tak seburuk yang dia pikirkan. Atau setidaknya menjadi Muggle sekelas Draco. Keluarga Dursley tentu lain ceritanya. Harry masih mengenakan piyama bergambar kartun yang benar-benar terlihat aneh jika dikenakan oleh seorang musuh bebuyutan Pangeran Kegelapan. Arwah Voldy mungkin akan menertawakannya saat itu juga jika ia melihat penyihir muda berbakat yang membunuhnya ternyata memiliki sisi lain yang tak disangka siapapun.

Ini sudah larut sekali dan lagi-lagi dirinya tak bisa terlelap. Jadi, Harry memantrai dirinya sendiri. Seperti biasa.

...

Draco memarkirkan Porsche hitam miliknya sambil bersiul ringan. Rasa senang dan berbunga-bunga itu masih membekas, bahkan tak hilang setelah beberapa jam ia berpisah dengan Harry. Sudah lama sekali sejak Draco merasakan perutnya melilit karena gugup gara-gara seseorang sejak kehidupannya yang baru memaksa Draco tak boleh berhubungan terlalu dekat dengan orang lain. Aturan itu, selain ditekankan oleh ayahnya, juga dimantapkan oleh pikirannya sendiri. Walaupun Draco tahu betul, dirinya sama sekali tak menginginkan ini. Menipu diri sendiri mungkin salah satu dari sekian banyak keahlian Draco yang sama sekali tak ia banggakan.

Mack, salah satu pelayan di rumah Draco, membungkuk. Ia menyambut di pintu depan ketika Draco melangkah membelah kesunyian di mansion mewahnya yang hampa. Draco tersenyum tipis, membuat Mack tak sadar membulatkan matanya. "Ini bukan Tuan Muda. Ke mana Tuan Muda yang asli? Tuan Muda tak pernah tersenyum!" dalam hatinya, Mack menerka-nerka kemungkinan apakah Draco kerasukan arwah dari surga, atau mungkin ada sesuatu yang aneh di gigi Mack? Sehingga Draco tersenyum? Ah, mustahil. Buat apa seorang Draco Malfoy menggunakan ototnya secara sia-sia hanya untuk tersenyum karena Mack.

"Ada yang salah, Mack?" tanya Draco pelan sambil berlalu. Mack benar-benar melepaskan bola matanya saat itu juga.

Draco memasuki ruang tamunya yang hening, melepas baju yang lumayan basah karena keringat. Bau parfum itu menguar, bahkan Aaron, koki pribadinya yang tengah memasak di dapur bisa mencium kehadiran Draco. Aaron menatap hidangan-hidangannya yang telah siap, memastikan semuanya telah sempurna untuk makan malam yang mungkin sudah terlalu larut malam. Aaron yakin Draco pasti akan menolaknya, pria itu sungguh-sungguh menjaga bentuk tubuhnya yang atletis. Jadi, Aaron membuatkannya minuman herbal untuk berjaga-jaga.

Ah, hari yang melelahkan. Draco berjalan menuju ruang bersantainya. Namun, dia tercekat begitu melihat barang-barangnya berserakan. Vas bunga kesukaannya bahkan tergeletak di lantai dalam bentuk pecahan-pecahan membahayakan.

"Loren! Apa yang terjadi?" Draco berteriak marah. Bagaimana mungkin pelayan-pelayannya yang berjumlah lima orang itu sama sekali tak bertanggung jawab akan hal ini? Di tambah beberapa pengawal yang ditugaskan berjaga di sekitar rumah. Loren, wanita berumur dua puluh satu tahun itu, berlari terburu-buru dari kamar tamu menuju Draco yang berteriak memanggilnya. Loren benar-benar tidak paham apa kesalahan yang telah diperbuatnya. Hari ini, dia telah membersihkan seluruh rumah bersama Stacy, membersihkan kamar tamu yang berdebu, mencuci semua pakaian Draco, bahkan memastikan barang-barang mahal itu tetap berada di tempatnya dengan sempurna. Tanpa berpindah satu inci pun.

"Ada apa, Tu-"

"-Apa ini?"

Draco menyela Loren dengan wajahnya yang memerah. Teriakan Draco tidak terdengar seperti seseorang yang berteriak pada umumnya. Draco hanya menaikkan volume suara, namun tetap terdengar rendah dan intimidatif. Hampir terasa seperti geraman serigala. Loren bahkan lebih terkejut daripada Draco. Ia terlihat panik karena sepanjang hari ini, tak ada gangguan apapun. Selama Draco pergi, Loren, Stacy, Mack, Aaron, dan Edna hanya melakukan tugas mereka, terkadang sambil bersenda gurau dan mengerjai para pengawal menyeramkan di dekat gerbang. Hanya itu.

"M-m-maaf, Tuan-"

"-Tak perlu memarahi pembantu-pembantumu. Ini aku," Draco membalikkan badan, melihat sosok pria paruh baya yang ia harap tak akan pernah bertemu lagi selamanya.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Draco. Wajahnya datar namun sarat akan murka. Ia benar-benar muak melihat wajah itu.

"Kasar sekali, aku ayahmu," lelaki itu adalah Lucius Malfoy, yang secara biologis adalah ayah kandungnya. Namun, Draco tak pernah meminta dilahirkan dari sperma seseorang seperti Lucius. Lucius memeluk Draco. Draco hanya diam, tak membalas. Pelukan itu terasa asing dan dingin.

"Apa yang kau lakukan di sini?" ucap Draco untuk yang kedua kalinya, dan dia bersumpah dia takkan mengulanginya lagi.

Lucius berjalan-jalan dengan santai, seolah itu bukanlah hal yang besar. Ia menyentuh barang-barang milik Draco, melihat-lihat lukisan-lukisan mahal yang digantung di dinding. Draco berdiri dengan shirtless, menatap tajam pada ayahnya. Kelima pelayannya sungguh tak tahu harus fokus kepada Lucius yang kehadirannya sungguh mengejutkan atau pada Draco dengan tubuh atletisnya yang terpampang jelas.

"Bagaimana usahamu?" tanya Lucius, ditujukan untuk Draco. Lucius menghadap ke arah Mack yang sekarang berdiri canggung ketakutan, Aaron menggenggam tangan Mack. "Faggots," ujar Lucius, pelan sekali.

"Meningkat pesat dan stabil," bagaimanapun, Lucius meninggalkan trauma bagi Draco. Draco membencinya, namun dia juga merasa takut terhadap Lucius.

"Hm," gumam Lucius, tangannya meraba-raba pigura yang berisi foto masa kecil Draco bersama Narcissa, ibunya.

"Besok datanglah ke Manhattan. Aku akan menunggumu di Masa jam delapan malam. Pakai setelan terbaikmu," kata Lucius, masih sibuk memandangi foto dalam pigura itu.

"Apa ini ada urusannya denganku?" kata Draco pelan. Dua sisi dari jiwa dalam tubuhnya berduel, antara ingin melawan dan menuruti kata ayahnya.

"Tidak. Kolegaku," jawab Lucius.

"Aku tidak akan datang, tidak akan per-"

"-I give zero fucks, Malfoy! Just fucking do it!" Lucius melemparkan pigura itu ke arah Draco, bersamaan dengan teriakannya yang menggema di mansion. Kelima pelayan Draco menutup mulut mereka tak percaya. Loren secara spontan hendak mendekatkan dirinya pada Draco ketika dia lihat bibir Draco berdarah terkena hantaman pigura. Aaron menahan pergelangan tangannya dan menggeleng pelan.

Lucius meninggalkan tempat itu segera setelah ia membuat kekacauan di rumah yang Draco dapatkan dari hasil kerja kerasnya sendiri. Draco mengelap darah di bibir, merasakan asin yang menjalar di lidah serta gusinya yang terasa sakit.

Ayahnya bahkan tak pernah memanggil Draco dengan nama depannya. Draco tak pernah punya ingatan yang manis seperti anak-anak kebanyakan di masa kecilnya. Draco kecil tak pernah memancing bersama sang ayah. Tak pernah mendekorasi pohon natal bersama. Tak pernah membuat rumah-rumahan dari selimut dan bantal. Hanya trauma dan rasa sakit.

Setelah Lucius pergi, Loren mengambilkan kotak medis untuk Draco. Aaron segera menyajikan makan malam. Stacy menyiapkan air hangat. Mack memastikan tempat tidur Draco telah siap. Edna menyiapkan pakaian tidur Draco.

Namun, Draco tak beranjak dari tempatnya. Ia berjalan menuju sofa, mendudukkan dirinya di sana. Dengan tanpa pakaian dan mulut berdarah, Draco tertidur kelelahan.

"Aaron!" panggil Stacy pelan, takut membangunkan Draco. Aaron segera menyelimuti tubuh Draco, kemudian menginstruksikan Edna untuk menyalakan penghangat ruangan. "Aku tak percaya ini terjadi pada Tuan Muda," kata Edna, lirih. Mereka berlima menatap Draco yang tertidur di sofa. Kemudian beranjak pergi, kecuali Loren.

"Mhm.. Harry.."

Loren melotot ketika mendengar Draco mengigau dalam tidurnya.

My Sweetest Sin in NYC | DrarryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang