Harry terbangun dengan jengkel setelah beberapa kali ia memaksakan dirinya untuk kembali tidur. Penghuni kamar sebelah tak henti-hentinya memainkan piano sejak pukul tiga dini hari, sesekali menyanyi rancu mengikuti iramanya sendiri. Harry melirik ke arah jam dinding, lagi-lagi menggerutu begitu ia mengetahui saat itu masih pukul lima. "Pukul lima pagi! Apa kau gila?" dalam hati, Harry mengerang frustrasi.
Ia beranjak dari tempat tidur, menyambar jaket yang tergantung di sisi lain dan berusaha sesabar mungkin agar tak menyobek kain itu. Amarahnya terkadang sulit dikendalikan. Sewaktu umurnya tiga belas, Harry pernah menggelembungkan Aunt Marge dan membuatnya mengambang di angkasa selama beberapa waktu. Beruntung Harry tidak dipenjara karenanya. Belajar dari kesalahan di masa lalu, Harry berusaha mengendalikan emosinya yang labil agar tak menyakiti orang lain maupun dirinya sendiri.
Harry mengenakan sandal dan jaket yang membungkus piyama menggemaskannya, juga kacamata yang Draco belikan kemarin. Dengan wajah berlapis-lapis, ia keluar dari kamar hotel, memastikan pintunya terkunci, dan berdiri beberapa detik di depan pintu kamar sebelah yang menjadi sumber kebisingan kemudian memasang wajah super jelek.
Indah, sih. Harry pernah dengar lagunya beberapa kali. Namun, terkesan tidak tahu diri dan egois jika seseorang terus memainkannya tanpa henti di jam-jam tidur orang lain. Lagipula ini hotel, bukan apartemen apalagi rumah. Hm, siapa juga yang membawa piano ke hotel? Ada-ada saja.
Harry berjalan menyusuri koridor sepi itu. Kamarnya berada di lantai tujuh, baginya lebih baik daripada harus tinggal di lantai paling atas dan menghabiskan waktu di dalam lift untuk naik turun. Harry mengusap wajahnya dan menghela napas malas ketika ia melihat tangga. Lift tentu saja menjadi opsi pertama dan terakhir. Harry jarang berolahraga dan selalu makan banyak, baginya naik turun tangga sama saja menyiksa diri sendiri.
Ketika ia memasuki lift, Harry cukup terkejut ternyata hanya ada dirinya seorang. Baguslah, itu artinya ia tak perlu repot-repot tersenyum dan bersosialisasi seperti yang ia biasa lakukan di Inggris setiap Harry bertemu orang lain. Jadi yang Harry lakukan selanjutnya hanyalah berdiri diam sambil sesekali menguap. Ketika ia meraba saku celananya, Harry mendesah kesal. Uangnya tertinggal di meja dekat tempat tidur, mau apa dia jika tak membawa uang?
"Sial mungkin adalah nama tengahku."
Harry menekan tombol lift dan kembali ke lantai tujuh, dengan langkah tergesa ia berlari menuju kamarnya. Harry mengerutkan keningnya ketika ia lihat ada seseorang berdiri di depan pintu kamar, entah kamar miliknya atau si tetangga berisik itu. Ia semakin mendekat.
"Ada yang bisa saya ban-"
"-Kau tinggal di sini?"
Gadis itu berambut pendek dengan warna hitam legam, wajahnya cantik dan datar. Dia memakai riasan serba hitam, bahkan piyamanya pun berwarna hitam. Ia menunjuk ke arah kamar Harry.
"Ya, Anda siapa?" tanya Harry menekan egonya dan berusaha sesopan mungkin.
"Tidak perlu terlalu formal, aku mual mendengarnya," kata si perempuan sambil memutar bola matanya jengah. "Aku Pansy Parkinson, kamarku di sebelahmu. Namamu?" kata Pansy mengulurkan tangannya yang penuh cat warna-warni. "Harry Potter," Harry ingin menjabat tangan Pansy namun ia terlihat ragu.
"Sorry, aku baru saja melukis. Omong-omong, kau dengar lagu klasik itu? Indah, kan? Aku-" Pansy menarik tangannya dan menyandarkan tubuhnya di pintu kamar Harry.
"-Kau yang memainkannya?" potong Harry terlihat kesal. Ternyata gadis Parkinson ini pelakunya.
"Secara teknis, tidak. Aku memutar rekamannya saja. Lagipula tanganku cuma dua, mana bisa melukis dan bermain piano di waktu bersamaan?" jawab Pansy, tak peduli dengan raut wajah Harry yang sama-sama menjengkelkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sweetest Sin in NYC | Drarry
FanfictionHarry adalah seorang Pure-blood yang bermasalah. Harry tahu dirinya semakin tak berdaya ketika menyadari bahwa ia jatuh cinta dengan seorang Muggle tampan. (DRARRY, malewfoy // © 2020)