"Harry!"
"Harry!"
"Harry Potter!"
Harry terbangun dengan napas terengah dan berkeringat. Ia yakin sekali pasti seseorang (atau mungkin sesuatu?) yang memanggil namanya berasal dari mimpi buruk. Ah, sudah ia tebak sejak tadi malam. Harry melirik ke jam dindingnya, masih cukup pagi. Seharusnya ia tak perlu bangun pagi. Toh, hari ini hari Sabtu. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Hogwarts, Harry sebenarnya mendapat beberapa tawaran yang cukup bagus. Namun, kondsi mentalnya akhir-akhir ini tak stabil dan berpikir bahwa lebih baik menemukan cara untuk membuatnya 'sehat' daripada nanti ia menjadi gila.
Tabungannya di Gringotts lumayan banyak, walaupun itu bukan alasan yang relevan mengapa ia masih menganggur. Lama-kelamaan, uang itu pasti akan habis. Membayangkan bagaimana dirinya akan meminta-minta di jalanan dengan baju lusuh-sama seperti yang ia pakai ketika hidup bersama keluarga Dursley-membuatnya mual. Harry meraba-raba sekitarnya. Aha! Kacamata bulat yang telah menemaninya sejak kecil (ketika Harry masih bocah ingusan) hingga kini ia telah dewasa dan siap bekerja. Mungkin abaikan saja yang terahir.
"Harry frickin' Potter! Bangun kau! Damn it!" Harry terperanjat ketika ia mendengar seseorang (atau mungkin sesuatu?) menggedor pintu rumahnya seakan jika itu rusak maka akan diperbaiki dengan mudah. Padahal kenyataannya tidak. Mungkin, iya. Sihir bisa melakukannya, bukan?
Harry masih duduk di ujung ranjangnya. Ia berpikir tidak mungkin seorang monster meneriakkan namanya dengan kata-kata umpatan zaman sekarang. Jadi dengan berhati-hati, ia memutuskan untuk berjalan menuju ruang tamu dan membuka pintu.
"Aw, aw!" Harry mengerang ketika seseorang dibalik pintu, yaitu Hermione, mencubit dirinya bertubi-tubi. "Ke mana saja kau? Apakah kau tahu sudah berapa lama aku menunggu di luar?" Hermione terlihat marah sekali. Namun, di mata Harry ia terlihat lucu, wajahnya merah seperti tomat. Jadi Harry tertawa. "Apanya yang lucu?" Hermione mendelik. Dalam benak Hermione, Harry adalah anak kecil yang terjebak dalam tubuh orang dewasa. Namun terkadang ia bisa menjadi lebih dewasa daripada penampilannya.
"Maaf, kupikir kau monster atau semacamnya," ujar Harry sembari mempersilakan Hermione masuk. "Ugh, tentu saja. Kau hidup di negeri dongeng," balas Hermione sambil melepas jaketnya. "Tunggu, apa yang terjadi dengan suaramu?" tanya Harry keheranan. Hermione terdengar seperti orang sakit asma yang sedang batuk lalu dipaksa bernyanyi di karaoke semalaman. "Hanya kelelahan, aku sering seperti ini jika terlalu lelah," Hermione terbatuk-batuk ringan.
"Oke, jadi?" kata Harry bersedekap. Ia berniat menginterogasi Hermione sementara menunggu air panas untuk menyeduh kopi. "Apa?" kening Hermione berkerut bingung. "Bagaimana?" tanya pria bermarga Potter itu. "Apanya?" Hermione terlihat naik pitam. Mungkin wanita itu sedang menstruasi karena jelas sekali suasana hatinya mudah berganti. Namun bisa saja itu Hermione yang asli. Karena, semasa di Hogwarts pun, Hermione bisa tersenyum kepada Ron lalu sedetik kemudian si rambut merah itu menjadi sasaran pelampiasan amarah Hermione.
"Mengapa kau datang kemari?" tanya Harry. Hermione terlihat langsung antusias. "Aku mendapat tawaran untuk berlibur ke New York City-"
"-Ya, lalu?"
"Jika kau diam hingga aku selesai bicara, aku akan sangat berterima kasih," kata Hermione yang terdengar sarkastik dengan senyum terpaksanya. Harry memutar bola matanya malas, dan menirukan ucapan Hermione dengan suara yang dibuat-buat. Hermione sepertinya siap mengumpat lagi, tetapi Harry segera berlari ke dapur begitu Ia dengar tekonya berbunyi.
"Potter, aku bersumpah kau akan jatuh cinta dengan Muggle jelek yang bau dan tidak pernah sikat gigi selama sebulan penuh! Bayangkan bagaimana kau akan menciumnya!" teriak Hermione keras sekali, mungkin tetangga-tetangga Harry sudah terbangun dengan jengkel karena bunyi mengerikan itu.
Hermione berjalan-jalan sebentar mengelilingi rumah lelaki itu, melihat-lihat furnitur unik yang mahal dan bergaya elegan. Untuk ukuran pria lajang pengangguran dan sakit jiwa (ini definisi seorang Harry Potter bagi Hermione), Hermione akui Harry punya selera yang bagus. Dengan lembut, ia menyentuh sebuah guci yang diukir indah.
"Ups, jangan sentuh itu. Aku bisa menjualnya seharga ginjalmu jika uangku di Gringotts habis nanti," kata Harry sambil membawa dua cangkir kopi yang masih panas. "Aku tidak mengerti mengapa kau tahan dengan dirimu sendiri, Idiot," ujar Hermione. Ia mengambil secangkir kopi dan menyesapnya perlahan.
"Kau tidak tidur semalam," Hermione berkata dengan nada yang ganjil. Seolah dia sedang bertanya namun tak perlu jawaban karena dirinya sudah tahu. Dia tidak salah. "Ya, ya," ucap Harry malas-malasan. "Kau mimpi basah," kata Hermione dengan senyum mengerikannya. Harry menaikkan alisnya skeptis. "Kau memimpikkan wanita," ujar Hermione lagi.
Harry ingin sekali berteriak "AKU TAK SUKA WANITA!" namun ia tentu tak mau dikirim ke Azkaban. Baik, mungkin itu sedikit berlebihan. Albus Dumbledore pernah memiliki hubungan intim dengan Gellert Grindelwald, dan dia adalah penyihir terhebat sepanjang masa.
Harry Potter adalah seorang legenda. Saat itu, dia bahkan belum menyelesaikan pendidikannya sebagai siswa di Hogwarts namun ia berhasil mengalahkan sihir hitam milik penjahat terkejam, Voldemort. Yah, tak perlu menyebutnya 'Kau-Tahu-Siapa' karena lagipula ia telah tiada. Namun, Harry belum pernah memiliki hubungan asmara dengan siapapun. Kadang ia bertanya-tanya mengapa dulu ia dipuja-puja namun sekarang Harry justru terpuruk dalam lautan emosinya sendiri.
"Bisakah kau langsung ke intinya? Aku kasihan dengan suaramu," ujar Harry dengan sebal. Hermione mendengus, lalu berkata, "Aku mendapat tawaran berlibur ke New York City, ya, benar, di Amerika. Namun, aku tak bisa karena Viktor telah lebih dulu mengajakku ke Paris. Lalu aku melihat keadaanmu yang walaupun kau sangat kaya, kau terlihat seperti tunawisma yang depresi. Jadi, tiketnya kuberikan untukmu. Bagaimana?"
"Wait a second, boleh aku bertanya?" ucap Harry penuh selidik. "Argh, apa?" jawab Hermione jutek.
"Sejak kapan kau bersama Viktor? Bukankah baru dua hari yang lalu kau menangisi Ron?" tanya Harry menggebu-gebu. Kini ia mirip tetangga 'julid' yang hobi merumpikan urusan tetangganya yang lain. "Tidakkah kau mengerti? Jika aku menangisi Ron maka artinya aku terluka, dan Viktor jelas-jelas menyukaiku, Genius," kata Hermione. Dia terlihat menikmati tetes demi tetes kopi panas itu.
"Kau sepertinya cocok jadi barista Sbux," lanjutnya lagi. "Esbaks? Apa itu?" Harry jadi melupakan topik utama mereka karena kata-kata aneh yang diucapkan Hermione. Bukan kali ini saja, sudah berulang kali Ia mendengar kata-kata asing seperti guci, syenel, lui viton, bahkan Harry tak bisa mengejanya.
"Gua mana yang kau tinggali sampai-sampai brand ternama saja kau tak tahu," Harry terlihat tak peduli ketika Hermione mengatakan itu. "Bagaimana? Terima, ya, tiketnya?" Hermione menatap Harry dengan binar mata yang ambigu. Di sisi lain, ia terlihat antusias dan penuh harapan. Namun, matanya juga memancarkan ancaman, seolah berkata 'Jika kau tidak menerimanya aku akan dengan senang hati mengirim Dementor ke rumahmu.' Yah, walaupun Dementor tidak lagi digunakan Kementrian Sihir untuk menjaga tahanan di Azkaban sejak Dolores Umbridge (ya, benar sekali, orang yang paling dibenci) ditahan.
Omong-omong, Hermione adalah seorang Auror. Yang mana itu berarti Hermione adalah penyihir terpilih yang berdedikasi sehingga dirinya bisa menjadi pemberantas kejahatan di Dunia Sihir. Harry sejak dulu juga ingin menjadi Auror, bahkan Professor McGonagall terus memberinya dukungan penuh, dan beliau berjanji tak akan berhenti hingga Harry menjadi Auror. Saat ini pun Harry masih memiliki keinginan untuk menangkap penjahat dengan label satuan elit dalam dirinya. Namun, ia rasa ini bukan waktu yang tepat.
"Oke, oke," kata Harry pada akhirnya. Dia ingin sekali menolak, tetapi melihat Hermione seperti itu, Harry mau tak mau harus menerimanya. Hermione tersenyum manis. "Aku tahu pasti ada hal baik yang menunggumu di sana."
⚡
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sweetest Sin in NYC | Drarry
FanfictionHarry adalah seorang Pure-blood yang bermasalah. Harry tahu dirinya semakin tak berdaya ketika menyadari bahwa ia jatuh cinta dengan seorang Muggle tampan. (DRARRY, malewfoy // © 2020)