Pohon Piramid

85 10 4
                                    

~pohon itu bentuk dan besarnya seperti piramid di mesir~

Pintu itu kelihatannya saja seperti selaput tipis, tapi ternyata bagai menerjang berlapis-lapis air terjun. Wawan melewatinya sampai merunduk. Terasa berat, tapi air terjun itu tidak melukai kulitnya. Ketika ia berhasil melewati pintu itu, Wawan kaget. Ia berada di kebun belakang rumah. Anehnya, kebun itu tampak asri hijau kembali. Padahal terakhir ia tinggalkan, kebun itu ikut terbakar. Rumah Abah juga masih utuh.

Secara naluri, ia langsung saja berlari menuju ke rumah. Namun ketika membuka pintu dan masuk ke dalam, bukanlah ruang dapur yang ia dapati. Melainkan sebuah ruangan megah berbentuk limas. Dinding ruangan itu terbentuk dari jejalinan dahan pohon aneka rupa. Lantainya juga. Semerbak aroma hutan segar menghinggapi hidung Wawan. Ia langsung rileks. Di tengah ruangan terdapat semacam cawan. Juga terbuat dari jejalinan dahan. Pinggirnya dari daun-daun. Terdengar gemericik air, Wawan mendekat. Dalam cawan, ada genangan air yang bercahaya dan sesekali memancur. Dari permukaannya, Wawan dapat melihat pemandangan dunia. Dari mulai lautan, hutan, daratan, perkotaan, sampai antariksa. Tayang berulang-ulang. Di setiap tayangan, membuat Wawan tergugah. Ada suntikan kesadaran ke dalam jiwanya. Ada rasa gatal di telapak tangan, ia garuk, dan koin kuno itu terjatuh. Wawan sampai lupa, selain khodam singa, ia juga diwarisi koin kuno. Baru sadar kalau koin itu dari tadi tenggelam dalam kulitnya.

Wawan memungut koin itu dan mengamati. Simbol bintang ujung delapan berkilauan terkena cahaya dari cawan air. Tak sengaja koin itu jatuh ke dalam cawan. Wawan refleks untuk memungutnya kembali, tapi tangannya tak bisa menembus air. Permukaan air berubah seperti kaca. "Loh?"

Air pada cawan itu bisa diketuk dan berbunyi. Kini tayangan pada kaca tampak lebih jelas, tidak lagi beriak seperti ketika masih bentuk cair. Sialnya, kini menayangkan kerusuhan semalam tadi. Hal itu menerbitkan kesedihannya lagi, berkalilipat. Wawan menyingkir dari cawan itu, ia menjatuhkan diri, meringkuk, menangis. "Abah..."

Jasad gosong Abah memenuhi kepala Wawan. Ia sampai menggigil. Selagi menggigil tubuh Wawan berubah-ubah jadi macam-macam hewan. Dari mulai kalong, lutung, gajah, kambing, gorila, burung kolibri, tokek, kelabang, sampai singa. Kemudian berubah jadi bentuk asli Gandarupa hijau. Namun ukurannya berubah-ubah. Memendek meninggi, menggendut mengurus.

Kesedihan dan kemarahan bercampur. Tubuhnya bergetar. Wawan semakin meringkuk, tangannya mengepal sampai memutih. Nafsu balas dendamnya terbit lagi. Kemarahannya mendidih, betul-betul mendidih, sampai kepalanya berasap.

Tahu-tahu, kepalanya diguyur. Wawan kaget bukan kepalang. Ada seseorang yang muncul di ruangan itu. Seorang perempuan, tersenyum jahil.

"Heiii." Wawan protes.

"Halo. Kamu sehat?"

"Kamu siapa? Aku di mana ini?"

Perempuan itu berkacak pinggang. "Sebetulnya yang berhak nanya kamu siapa itu aku, kamu siapa? Kok bisa masuk markasku?" lalu dia tertawa. "Bercanda. Aku tahu pasti siapa kamu."

"Aku siapa? Kamu siapa?" Wawan memastikan perempuan itu tahu siapa dirinya.

"Hmm aku tidak tahu namamu. Tapi aku tahu apa kamu. Kamu adalah seorang Gandarupa. Dan kamu Gandarupa yang aku cari."

Perempuan itu tidak berbohong. Dia tahu siapa jati diri Wawan. "Ini di mana?"

"Ohya, kenalkan, aku Nuansa. Aku adalah penjaga perbatasan semesta Watukayu. Kamu saat ini berada di markasku. Sebut saja sebagai pohon piramida."

Ini adalah tempat jawaban itu akan tersaji. "Jadi..."

"Kamu baru tahu jati dirimu sebagai Gandarupa kan?"

Wawan mengangguk.

"Maka tempat ini adalah tempat yang tepat untuk kamu mencari jawaban itu." Nuansa menunjuk cawan. "Dari situ, kamu bisa menemukan apa yang kamu cari."

Wawan bangkit, mengikuti Nuansa yang mendekati cawan. "Bagaimana kamu tahu aku Gandarupa?"

"Aku penjaga perbatasan Watukayu. Jadi aku tahu ada golongan apa saja yang menghuni semesta gaib itu. Salah satunya Gandarupa. Golongan peralih rupa. Tugasku mengawasi dan menjaga pintu-pintu yang terbuka dari dunia manusia ke Watukayu dan percabangannya. Saat ini, ada satu pintu yang kebobolan dan salah satu makhluk dari Watukayu memanfaatkan itu untuk agenda buruknya."

Wawan teringat Wana Jaga. "Desa Raksawana!"

Nuansa menunjuk Wawan, "nah, iya, desa itu. Entah bagaimana kok bisa pindah dari Watukayu ke alam gaib Manusia. Kuduga gara-gara ulah si makhluk jahat itu. Dari cawan ini, aku menelusuri, desa itu asalnya dari dunia cakram Asta Lawang. Dan dunia cakram itu punya delapan jagoan. Mereka disebut dengan Astacakra. Kamu, salah satu dari mereka."

"Astacakra."

"Kamu sudah tahu ya?"

Wawan cerita sebelum masuk ke pohon piramid ini dia tadi ke desa Raksawana dan ketua desa itu menyebut Astacakra. Nuansa pun menjelaskan, pintu yang jebol itu sudah dia tambal, akibatnya, pintu itu tidak bisa ditembus oleh penghuni desa. Karena dia tahu, penghuni desa Raksawana tidak bisa bertahan di dunia manusia. Semua desa yang ada di Asta Lawang juga begitu. Tapi sepertinya makhluk jahat yang membawa desa itu ke dunia manusia punya celah lain untuk masuk ke desa itu. Karena itu, Nuansa butuh Astacakra. "Jadi, aku harus mencari siapa penjahat itu?" simpul Wawan.

"Bukan kamu sendirian. Kita, dan temanmu juga."

"Teman?"

Nuansa menyentuh semacam tombol dari penyangga cawan. Di salah satu dinding dahan pohon piramid itu, membuka sebuah pintu. Wawan gembira. Simba datang. "Simba!" serunya.

"Ya, khodammu yang kamu tinggal."

Simba mengaum. "Kenapa kau meninggalkanku?" protesnya.

Wawan mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu. Tahu-tahu tadi aku ditarik masuk ke dunia lain." Wawan lalu menceritakan ulang apa yang dialaminya. Nuansa mendukung cerita itu.

Simba tampaknya menerima alasan Wawan.

"Bagaimana kau bisa menemukanku, Simba?"

"Oh, dia datang kepadaku." Kata Nuansa. "Kebetulan aku sebagai penjaga perbatasan, sering berhubungan dengan khodam-khodam tertentu. Simba salah satunya."

"Jadi, ini jalan takdirmu, Wawan. Bagaimana menurutmu?" tanya Simba. "Ini akan jadi jalanmu untuk dapat mengklaimku secara utuh. Kita nanti dapat berbuat banyak hal. Untuk kebaikan. Tiga dunia."

Wawan menarik napas. "Bagaimana aku menjadi Astacakra?"

Nuansa tepuk tangan antusias.

ASTACAKRA #4 SEKAWANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang