"Gimana workshop yang kamu jalanin? Udah sampe Mana perkembangannya?"
Pertanyaan Papi auto bikin males. Tiap kali duduk makan bareng, Papi akan tanyain usaha gue yang katanya nggak menjanjikan itu.
Papi lebih suka kalo anaknya kerja di kantoran atau berdasi, yang sebenarnya mengharapkan gue untuk bisa lanjut ke usaha konstruksinya. Gue nggak suka. Biar Sasa aja.
Biar begitu, Papi kasih kebebasan gue untuk memilih jalan hidup. Gue tetap di jalur otomotif yang jadi kesukaan, meski gue lagi cari-cari peluang buat usaha baru.
"So far so good, Pi. Baru juga jalan 2 taon, udah okelah. Nggak jelek-jelek banget karena aku masih dapet customer," jawab gue sambil memotong pancake.
"Tetap harus mikir ke depan, jangan main-main terus. Umur kamu udah berapa sekarang? You have to reach achievement before 30, Son," titah Papi.
"Easy, Pi. Aku masih muda, dan..."
"Justru karena masih muda, kamu harus perbanyak usaha. Orang bilang nikmatin masa muda, itu memang benar, tapi harus seimbang dengan niat dan kemampuan, baru kamu layak senang-senang. Waktu Papi seumuran kamu, Papi udah pegang usaha Opa," sela Papi kalem, sambil menikmati bubur ayam.
"Tinggal lanjutin dengan memulai hal yang baru itu beda kali, Pi," celetuk gue keki. "Usaha Opa udah sukses, Papi tinggal lanjutin kesuksesannya dengan beberapa improvisasi. Kalo aku, itu harus mikir dari A sampe Z, yang bener-bener dimulai dari 0 kayak isi Pertamax di pom bensin."
"Chandra udah usaha banget kok, Pi. Anaknya jadi lembur mulu, itu berarti banyak kerjaan," suara Sasa menginterupsi.
Gue langsung mendongak untuk melihat Sasa yang duduk di sebrang sambil mengunyah. Tumbenan amat Sasa belain gue, biasanya juga julidin gue.
"Cuma pengen tahu perkembangan anak sendiri, Sa. Kamu tahu kalo adik kamu itu songong. Maunya enak sendiri dan sama sekali nggak pernah mau cerita kalo nggak ditanya," balas Papi santai.
Susah juga kalo jadi anak cowok. Nggak cerita dibilang songong. Dikit-dikit cerita dibilang manja dan nggak mandiri. Hidup itu pilihan, tapi orangtua nggak bisa pilih alias terima nasib.
But, gue sayang mereka. Papi dan Mami sangat berarti buat Sasa dan gue. Kami berdua dilimpahi dengan kasih sayang dan pengertian yang sama, nggak jomplang. Mereka berusaha adil, meski gue tahu kalo Papi dan Mami lebih concern ke urusan hidup gue, yang kalo diartikan dalam bahasa gaul, lebih sayang dan banyak kaypoh.
"Btw, udah lama Joy nggak keliatan. Kalian putus?" tanya Mami yang langsung bikin gue tersedak karena pancake mendadak nyangkut.
"Ada yang sesak, tapi bukan karena pancake," ejek Sasa yang bisa gue dengar saat buru-buru menenggak orange juice.
"Joy? Siapa Joy?" tanya Papi dengan dahi berkerut sambil melihat Mami.
"Itu lho,Pi, yang kita pernah ketemu di Food Hall waktu mau beli buah," jawab Mami.
"Emang itu pacarnya Chandra? Kayaknya waktu ketemu, dia gandengan sama cowok yang lebih pantes jadi Om-nya," balas Papi heran, dan gue cuma bisa melumat bibir untuk menahan seringaian.
Mereka pasti ngeliat Joy lagi jalan sama Sean. Gue nggak pernah dikenalin secara langsung, tapi bisa liat sosoknya dari foto di hape Joy.
Sean itu diluar dari tipe yang Joy sukai, meski sampai sekarang, gue masih nggak paham apa yang bikin Joy bisa menerima cowok itu.
Dibandingkan Sean, gue jauh lebih oke. Pemahaman soal selingkuhan yang lebih menggoda itu emang bener adanya. Meski masih jalan sama Sean, Joy masih dekat sama gue.

KAMU SEDANG MEMBACA
FLIRTATIONSHIP (FIN)
RomanceThe fiction to the fuckest story. The story of friend with more benefits. Called, FLIRTATIONSHIP. Not dating but hang out. Meet plans are usually last minute. Only exist when other need something. Everything is private, nothing is public. CONTENT...