Chapter 8

11.3K 2K 45
                                    

Akhirnya up juga hehe

Setelah menutup pintu rapat-rapat, dia menghampiri Prelove yang terduduk di sofa. Ada perasaan takut bercampur panik yang menyelimuti dirinya. Salah-salah bisa kena guyur air es yang dipegang Prelove. Bibir Velven terasa kering padahal sudah pakai pelembab bibir. Entah kenapa hawanya mendadak seperti masuk ke dalam sarang Maleficent.

Baru hendak duduk, Velven melompat kaget saat Prelove meletakkan gelas di atas meja kaca dengan kasar hingga terdengar bunyi yang cukup nyaring. Bahkan dia mengira gelasnya pecah atau kaca mejanya tergores. Untungnya tidak keduanya.

"Saya minta maaf kalau ganggu kamu, tapi khawatir karena kamu nggak ada kabar." Velven memelankan nada bicaranya, takut kalau terlalu tinggi dikira menghakimi.

Awalnya Prelove hanya mengembuskan napas kasar berulang kali. Lambat laun embusan itu berubah menjadi lautan suram yang muncul di wajahnya. Velven tidak dapat mengerti dan buru-buru duduk di samping Prelove sebelum perempuan itu menangis—meniliki dari wajahnya yang sudah menunjukkan tanda-tanda itu.

Beberapa menit hanya keheningan yang mengisi suasana di antara mereka hingga akhirnya bibir Prelove mulai bergerak menunjukkan tanda-tanda akan menjawab.

"Enam tahun lalu, aku punya pacar."

Velven menatap penuh antisipasi. Dia menunggu kalimat selanjutnya dengan rasa penasaran yang tinggi.

"Aku pacaran sama pacarku selama dua tahun. Dia minum obat tidur sampai overdosis. Waktu dilarikan ke rumah sakit masih bernyawa tapi ujung-ujungnya nggak tertolong. Aku nggak tau kenapa dia melakukan itu. Aku marah sama Tanteku karena dia nggak berhasil menolong. Akhirnya pacarku meninggal. Dia ninggalin kertas permintaan maaf. Dari situ, aku mulai menjauhi keluarga. Aku marah dan kesal karena mereka selalu menentang hubungan dan ternyata nggak bisa berbuat banyak," lanjut Prelove.

Velven tetap diam meski mulutnya ingin bertanya 'terus' tapi nanti dikira seperti tukang parkir. Alangkah baiknya dia menyimpan dulu semua pertanyaan yang akan terdengar bodoh.

"Aku nggak pulang ke rumah setelah kejadian itu. Dan ternyata pacarku ninggalin rumah ini untuk aku. Kamu pasti tau berapa gaji menjadi sekretarisnya Bara dan berapa harga rumah mewah ini. Aku nggak mungkin mampu beli. Setelah diberikan rumah secara cuma-cuma dari warisan yang dia sisakan untuk aku, akhirnya aku memutuskan tinggal di sini. Aku sengaja tinggal di sini supaya bisa mengenang dia yang udah pergi dan agar merasa kalau dia masih ada di samping aku," tambah Prelove.

Velven manggut-manggut mengerti. Ah, jadi Prelove tinggal di rumah ini untuk mengenang pacarnya. Ternyata di balik wajah ceria itu ada kisah sedih yang menyelimutinya.

"Selain masalah pacar, keluargaku ngira aku nggak pernah jenguk Papa di rumah sakit. Padahal setiap malam waktu mereka pulang dan istirahat, aku selalu datang dan jenguk. Setiap kali aku datang, Papa udah tidur jadinya nggak pernah tau kedatanganku. Waktu dituduh begitu, aku kesel. Mau jelasin tapi mana ada yang percaya. Aku mau marah tapi..." Prelove menggantung kalimatnya. Air matanya menumpuk di sudut mata. Ketika dia berkedip, air matanya luruh. Pelan-pelan setetes bulir bening itu berubah menjadi isak tangis yang cukup keras.

Velven menarik Prelove dalam pelukan dan mengusap punggungnya dengan lembut. "Biarpun mereka nggak tau kamu datang, tapi Tuhan tau kamu masih menjenguk dan berbakti sama ayah kamu."

Prelove tak menjawab dan tak berhenti menangis. Velven tak henti-hentinya mengusap punggung Prelove supaya merasa lebih baik.

"Terkadang orang-orang nggak pernah tau apa yang kamu perbuat diem-diem. Mereka hanya memuji kamu untuk hal yang keliatan aja, tapi kalau nggak ada buktinya pasti berubah jadi menghakimi. Cepat atau lambat mereka bakal tau kebaikan kamu," ucap Velven pelan.

Prelove hanya mengangguk, memberikan efek yang cukup jelas di dada bidang Velven yang menjadi tempatnya menenggelamkan wajah.

"Soal mantan pacar, apa kamu masih cinta sama dia?"

"Aku nggak tau," jawab Prelove pelan.

"Saya nggak masalah kalaupun kamu masih sayang. Perasaan memang sulit dilupakan kalau orangnya benar-benar berkesan di hidup kita."

Prelove kembali membalas, "Maksud aku, pelan-pelan perasaan itu hilang. Padahal aku sengaja tinggal di sini biar tetap mengenang dia tapi ternyata... ya, begitu. Aku nggak merasa dia ada di sini."

"Apa jangan-jangan mulai cinta sama saya?" Velven terkekeh, mencoba mencairkan suasana. Tak disangka jawaban Prelove cukup mengejutkan.

"Bisa jadi."

"Padahal saya pikir bakal kamu jawab nggak. Bikin geer aja nih," canda Velven. Mendengar Prelove tak lagi menangis seperti sebelumnya, dia menarik diri dan menyeka air mata Prelove dengan ibu jarinya. "Setiap orang punya masa lalu, saya pun begitu. Kalau kamu masih sedih nggak pa-pa, itu wajar. Tapi kalau nangis jangan sendirian ya, nangis di depan saya aja. Biar saya bisa peluk. Jadinya kamu nggak merasa sendirian. Oke?"

Prelove mengangguk pelan. "Makasih. Maaf kemarin kamu harus menyaksikan hal itu di rumah sakit."

"It's okay. Saya nggak masalah. Dengan melihat kejadian itu jadinya saya tau kamu nggak seceria kelihatannya."

Prelove menghela napas. Selama enam tahun ini, dia hanya cerita dengan Velven perihal masalah pribadinya. Dia tidak pernah menceritakan pada siapa pun, bahkan bosnya tidak tahu masalah dalam hidupnya. Mungkin dia mulai nyaman dengan keberadaan Velven di sampingnya.

"Cheer up, Honey. I'll be here for you," ucap Velven, yang kemudian mengecup pipi Prelove dengan senyum yang terukir di wajahnya.

Prelove kembali memeluk Velven. Kali ini lebih erat dari sebelumnya. Sontak, hal ini membuat Velven terkejut tapi detik berikutnya membalas pelukan pacarnya.

"Kamu udah datang ke pemakaman ayah kamu belum?" bisik Velven. Prelove menggeleng. "Mau saya temenin besok? Atau, kapan kamu ada waktu?"

Prelove menarik diri sedikit sehingga dapat menatap Velven. "Besok boleh. Kamu ada waktu?"

Velven mengangguk. Satu tangannya mengusap kepala Prelove. "Bisa. Besok saya temenin."

Prelove menarik senyum sedikit demi sedikit saat menatap mata Velven. Dia pikir takkan ada yang bisa membuatnya senyaman ini, ternyata ada Velven. Laki-laki itu seolah membawa sesuatu yang sudah lama dia tidak rasakan. Entah itu cinta atau kenyamanan. Yang pasti Prelove mulai menyadari bahwa perasaannya untuk mantan pacar telah hilang seiring kepergian dan waktu.

Tidak mau hanya diam, Prelove mendaratkan kecupan singkat di bibir Velven. Dia menarik senyum ketika melihat Velven yang turut menunjukkan senyuman tipis di wajah. Lantas mereka kembali berpelukan. Menyandarkan diri masing-masing pada kenyamanan yang terasa lebih nyata dari sebelumnya.

💋 💋 💋

Jangan lupa vote dan komen semuanya♥️♥️

#BOYBANDSERIES adalah projek romansa bersama author lain sephturnus. Di mana karakter utama prianya tergabung dalam satu boyband: Victory. Ardeen & Velven bakal membawa kalian ke kisah mereka yang beragam rasa. Bercampur aduk. Ber- rollercoaster.

Jadi, apa kamu siap mengikuti kisah keduanya? 🎶

Kisah Velven (It Starts With A Boxer), available di work aku😘🤗

Kisah Ardeen (It Starts With Hello) ada di lapak sephturnus ya ^^

Kisah Ardeen (It Starts With Hello) ada di lapak sephturnus ya ^^

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
It Starts With A Boxer [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang