How I Kill My Quarter-Life Crisis Anxieties

27 2 0
                                    

Sadar engga sih?
Selama ini orang-orang yang berfikir bahwa akhirnya menjadi realistis,  padahal sebenernya terjerembak dalam usaha untuk menjadi sosok orang dewasa yang ideal?

Hello, Semuanya.
Kali ini gue bakal sharing Quarter Life Crisis dan keresahan-keresahan lainnya lyang telah coba gue atasi dengan mendamaikan dan berkompromi dengan pikiran gue sendiri.

R.ata-rata seseorang akan mulai merasakan galau luar biasa ketika mengjinjak umur dua puluh tahun dan sekitarnya.  Merasa diri sudah menjadi tua dan tidak memiliki waktu lagi untuk bercanda atau sekali-kali berbuat salah dalam pilihan hidupnya.
Sangat galau sekali dengan pendidikan,  karir,  dan romansa yang dimilikinya.
Merasa galau akankah pendidikan yang dilauinya akan berguna pada kehidupan nyata nanti.
Merasa galau tentang pekerjaan yang harus dilakukan haruskah satu jalur atau engga.
Udah mulai mikirin cicil rumah, cari pasangan yang serius dan sustain atau engga dulu sama sekali karena mikirin karir dulu.
Mapan dulu.
Udah mulai sadar kalau selama ini cuma jadi benalu di rumah.
Mulai khawatir siap atau engganya menjalani kehidupan seutuhnya sebagai orang dewasa.
Tidak lagi bisa bergantung kepada orang lain.
Mengecilkan kontak sosial kepada orangg-orang tertentu saja.
Yang bisa dipercaya.
Mulai merasa sepi karena kehilangan teman dan suasana.
Pekerjaanya hanya melihat sosial media lalu merasa insecure atas apa yang dimiliki dan diraihnya.
Kok bisa ya dia kayak gitu?
Kok bisa ya dia cantik banget?
Kok bisa ya dia ganteng banget?
Kok bisa ya dia diseumur segitu udah punya prestasi segitu banyaknya?
Sedangkan aku?
Sedangkan aku?
Dulu mungkin kita merasa kesal ketika orang tua kita membandingkan kita dengan orang lain.
Kini malah kita sendiri yang membanding-bandikan diri kita dengan orang lain.
Apakah arti menjadi dewasa adalah dengan menjadi ahli dalam membanding-bandingkan?
Gue adalah seorang berprikebadian INFP yang merasa nyaman atas status kepribadiannya.
Menyenangi berpetualang dalam alam pikiran dalam kesendirian.
Tapi bukan berarti aku tidak ingin berinteraksi dengan orang-orang.
Gue ingin meraih mereka dengan pikiranku lalu bertukar pikiran sehingga koleksi kebun ilmu pengetahuanku menjadi lebih banyak jenisnya dan lebih nyaman jika disinggahi.
Hanya saja terkadang gue engga kuat jika berlama-lama dalam situasi yang ramai.
Berlama-lama berkontak sosial secara langsung dengan sembarang orang.
Mungkin akan terasa berbeda jika beinteraksi dengan orang yang cocok denganku dan bisa ngobrol ngalor-ngidul untuk waktu yang sangat lama.
Gue khawatir dengan status jomblo, bukan karena engga punya pacar.
Tapi engga punya teman untuk berbagi hal yang tidak bisa dibagikan kepada keluarga karena malu.  Kepada sahabat karena takut diklaim sebagai kaum minoritas seksual.
Seseorang yang ada untuk saling berbagi senang dan duka dengan cara yang berbeda.
Seperti hujan yang menetes dan mengembun dan menyembuhkan luka.
Seperti pelikan yang bersuara pada saut-sautab ombak yang menghilangkan cemas.
Sesosok manusia yang bisa membuatku berpikir baik-baik saja walau harus melawan dunia dan sesisinya.
Hampa.
Perasaan yang sulit dijelaskan namun begitu sesaknya membunuh kesehatan mentalku dengan stress dan depresi yang alasannya mengocok perut.
Terlihat dan terdengar sepele bagi orang-orang.
Namun penting untuk jiwa kecilku yang manja.

Sampai akhirnya gue bisa melewati semua itu dengan berdamai dengan pikiranku. Lalu membuat perjanjian dengan hatiku.

Dulu gue sempet berpikir menjadi realistis adalah jalan terbaik.  Karena terlalu ideal hanya akan mengarahkan kompas hidupku kepada kekecewaan pada ambisi.  Gue pun mulai kehilangan arti mimpi.
Hanya ingin menjadi sosok yang bekerja,  bisa menghidupi diri sendiri dan keluarga,  menikah diusia yang tidak terlalu tua dan punya anak.
Namun entah mengapa keputusan ini sangat sederhana tapi membuatku sesak.
Karena pilihan ini mengharuskan gue untuk membuang impianku untuk berlama-lama belajar.
Mengubur impianku untuk berpetualang lebih jauh.
Membarkan impianku untuk menjadi diri sendiri.
Sampai akhirnya gue sadar.  Bentuk realistis yang coba gue lalui selama ini adalah sebuah jalan dimana gue berusaha untuk menjadi sosok orang dewasa yang ideal.
Ideal dimata masyarakat dan sosial yang ada.
Ironi sekali.
Di Bulan Ramdhan ini gue bersukur bahwa Tuhan telah memberikanku pencerahan atas segala keresahan-keresahanku.
Membuatku lebih bersyukur atas nikmat yang tidak pernah kusyukuri selama ini.

Ya,  gue memberanikan diri kembali untuk menjadi diri sendiri.
Obat terbaik yang aku temukan untuk menyembuhkan semua resahku dan membunuh quarter-life crisis yangvgue hadapai adalah dengan jujur pada diri sendiri.
Dan percaya bahwa Tuhan telah merencakan yang terbaik.  Yang gue lakukan hanyalah untuk percaya dan menjemputnya.
18 Mei 2020.
Kurang dari seminggu Ramadhan akan berakhir.
Akhirnya gue kembali berlayar dengan hatiku sendiri.

Ini adalah pengalaman gue sendiri untuk menemukan jawaban atas segala keresahanku.
Semoga kalian yang mendengarkan mendapatkan manfaat.
Ma Salama.
Assalammualaikum wr.  wb.

Geometri Patah HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang