Prolog. Warga Gang Buntu

29 2 6
                                    

Masih dalam suasana pandemi covid -19, memaksa seluruh warga gang buntu mematuhi anjuran pemerintah untuk stay at home, demi memutus rantai penyebarannya.

Terkadang merasa sedep-sedep seger, apabila melihat banyaknya orang berlalu lalang tak peduli di jalan depan sana. Padahal jalan itu merupakan bagian dari perumahan yang seharusnya bisa diminimalisir pergerakannya.

Mau dikata apa, pusat perbelanjaan telah menjadi magnet bagi banyak kalangan. Ibarat kata "ada gula ada semut." Padahal, untuk menuai gula, si semut mesti berjuang tak peduli hujan maupun panas.

Iki nulis opo ya, author eror...

Kembali ke warga gang buntu, yang gak ada matinya, untuk menghibur diri sendiri, demi menghilangkan kejengahan.

"Mau kemana mah?" Tanya seorang anak kepada ibunya yang dalam kondisi pandemi ini seharusnya dirumah saja.

"Nggak kemana-mana," jawab si mama cantik yang berdandan ala sosialita nan banyak gaya.

Baju kuning gading yang dibalut jilbab syar'i serta tak lupa high heels dan tas senada menambah paripurna tampilannya.

"Kog cantik?" Seloroh anaknya penuh selidik.

Berjalan bak peragawati nyari podium, mama syantik yang tinggal di gang buntu ini acuh meninggalkan anaknya terbengong-bengong.

Diikutinya laju kaki sang mama yang berhenti di halaman rumah. Sekonyong-koyong si mama mengambil sapu dan pengki seraya berseloroh,"Mau nyapu."

Yaelah... mama... mama
Bikin aye tepok jidat.

***

Kebiasaan emak sosialita gang buntu setiap harinya adalah berkumpul mengerumuni mbak sayur dengan berbagai order yang sering membuat mbak sayur kewalahan. Dari mulai petikin sayur bayam, kangkung, dan menyiangi berbagai sayuran yang lain. Pokoknya semua siap masak.

Kebiasaan menawarpun lekat dengan mereka. Apa memang itu karakter emak-emak ya, tidak pandang bulu. Tapi namanya mbak sayur gak mau kalah. Kalau ada pesanan dari mak sosialita, kesempatannya me - mark up. Pesan setengah kilo daging, bisa dianter 2 kilo sama mbak sayur. Tentu gak enak untuk ditolak, terpaksa deh membayar bahan masakan dengan harga melebihi budget.

Author gak mau tekor, makanya tidak pernah yang namanya ikut pesan-pesan bahan masakan. Beli saja yang mbak sayur bawa di hari itu.

***

Ramadhan masih seminggu lagi, tetapi kegaduhan mempersiapkan lebaran sudah gak keruan. Rapat pleno dilakukan dengan intens dalam beberapa pertemuan penting.

Mulai dari merencanakan menu sampai pembagian tugas memasak. Kesepakatan pun diambil. Membuat ketupat dengan meminta seseorang sebagai penunggu tungku, menjadi pilihan yang diaminkan seluruh warga gang buntu.
Sedangkan untuk lauk pauk, dibagi berdasarkan kemampuan dalam mengolah penganan. Tentu yang tidak bisa memasak sepertiku, kebagian yang gampang saja yaitu masak air buat bikin kupi, eh... teh ding...

Jiah author bingung sendiri. Jadinya mo bikin kupi apa teh. Coba entar deh ditanya lagi. Makanya kalau lagi rapat pleno, jangan kayak anggota dewan itu lho, sambil mengangguk tanda setuju, padahal mah menahan kantuk nan mendera.

Ting... tetiba aku dimasukkan ke WAG gang buntu. Emak-emak sosialita ala gang buntu mah gak mau kalah ama yang ono, maennya dm-an.

"Ini gimana jadinya bikin ketupatnya?" Tanya salah satu anggota WAG gang buntu.

"Ya udah, kita bikin sendiri-sendiri, nanti setor sesuai jumlah anggota keluarga yang mau ikut papahare." Jawab yang lain.

"Gimana critanye, aye pan cuma berdua, lha mosok mesti bikin dua ketupat doang. Alamat kemubadziran dung?," keryitan dahi menambah nyata fisik gak menyalahi umur.

"Ya udah dah, kagak makan ketupat, kagak ape-ape!"

Author merajuk...

To be continue...

Gang BuntuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang