Sudah pukul sembilan pagi, setengah jam lalu toko milik Sultan buka. Mampir ke toko Angga, temannya yang bergerak di bidang sama, membuatnya setengah jam terlambat dari jam biasanya buka.
Sultan, hanya nama saja. Bukan salah satu dari sultan-sultan yang terdaftar dalam wikipedia pencarian orang populer di Indonesia. Namun, ia berharap dirinya punya rejeki seperti sultan-sultan tersebut. Sultan Andara, Sultan Cinere, Sultan Tanah Abang, atau Sultan Mabrur. Yang mana saja la ia berharap benar-benar jaid sultan.
Anak tunggal dari orang tua yang bercerai. Tak masalah hanya punya ibu di rumah. Toh, hari-harinya sudah ramai dengan pegawainya di toko alat elektronik dan servis komputer bekas ayahnya dulu yang ia kembangkan sedemikian rupa. Anak korban broken home tak selalu lari dalam kelamnya hidup. Ia bisa melebarkan sayap meski tertatih dalam bisnisnya.
Membawa serta nasi bungkus hasil mampir di warung Mpok Jae, Sultan duduk bersiap sarapan nasi uduk. Menu sarapan yang ramah di kantong dan ongkos karena dekat dan bisa ia beli sambil jalan kaki dari rumah ke tokonya.
Ia buka ponsel guna stalking pujaan hati yang belum juga didapat. Melalui IG, Sultan selalu memantau pergerakan Rahina.
Sudah dua tahun Sultan mengagumi Rahina, gadis manis yang dulu sempat menjadi salah satu langganannya. Awal perjumpaan yang klise, Rahina memperbaiki laptop. Berlanjut obrolan ringan, lalu kembali datang guna membeli laptop baru, acesoris, dan pertemuan lain.
"Bos, struk belanja gue taruh di bawah kalkulator."
Sobri, salah seorang pegawainya mengingatkan. Sultan mengangguk. Ia lekas cari struk belanjaan yang datang kemarin sore. Ia tak ada di tempat, jadilah Sobri sebagai tangan kanan alias pegawai senior sejak toko ini dipegang ayahnya dulu. Ia percaya pada Sobri, yang usianya lima tahun di atasnya.
Ngomong-ngomong, toko milik Sultan adalah warisan dari ayahnya yang kini sudah bahagia dengan istri muda. Dulunya hanya konter pulsa, dengan barang dagangan segala acesoris ponsel. Seiring waktu berjalan, semenjak Sultan lulus SMA lalu kuliah, ia mengambil alih toko. Ibunya yang bekerja di Badan Pendapatan Daerah, tak bisa memantau toko. Jadi, sembari kuliah, Sultan lah yang memantau toko hingga kini. Tak banyak pegawai, hanya tiga orang. Sobri paling lama. Dua lainnya baru beberapa tahun terakhir.
Setelah menyimpan struk belanjaan barang yang datang kemarin, Sultan gegas memberesi sarapannya. Ia hendak mengantar barang ke toko temannya. Selain menjual di toko, Sultan juga melayani secara online dengan kerja sama beberapa aplikasi belanja. Selain itu, ia jadi pemasok beberapa barang dengan jumlah lebih kecil ke toko-toko rekanannya. Kebanyakan toko milik teman-teman sendiri.
"Wah, Mcd Sarinah tutup nih. Padahal dulu gue pernah nembak cewek di sana."
"Nembak pakek ayam goreng maksudnya? Trus cincinnya diselipin di paha ayam, apa dicemplingun di cola?"
"Kagak lah. Nembak doang, kagak ngelamar."
Obrolan dua pegawainya yang sedang memasang CD-room di CPU, membuat Sultan geleng-geleng kepala. Ngomong-ngomong soal nembak, ia jadi kepikiran. Kapan ya, ia bisa nembak Rahina? Gadis itu sudah memberi kode sebenarnya, terlebih tak jarang keduanya jalan guna makan dan ngobrol. Rahina yang tengah menunggu sidang skripsi itu, beberapa kali juga ia kenalkan ke sahabatnya. Respons Angga, sang sahabat juga cukup baik.
***
"Ma, jaga kesehatan dong."
Sultan membawakan teh hangat dari dapur bikinan Mbak, ke meja makan. Andari, ibu Sultan tersenyum sembari menyeruput teh hangat. Pijatan di pundak dari sang anak membuat Andari senang. Perhatian yang tak pernah surut selalu anaknya tunjukkan setiap ia merasa lelah, atau sekadar flu seperti saat ini. Hanya kelelahan, tapi Sultan merasa ibunya sedang sakit parah.
"Cuma flu aja, nggak usah khawatir berlebih."
Sultan berdecap. Selalu begitu. Ibunya selalu menganggap hal remeh seolah baik-baik saja. Bahkan hal besar pun juga dianggap wanita itu merasa baik-baik saja. Kala ... wanita itu sering dipukul, ditampar hingga dijambak oleh ayahnya. Keputusan bercerai pun akhirnya diambil Andari, karena merasa tak tahan. Terlebih lagi ayahnya sudah punya istri muda. Saat itu Sultan baru masuk SMP. Semenjak kejadian itu, Sultan tak lagi bertemu ayahnya. Meski bertemu, ia juga enggan. Buat apa, toh ayahnya tak merasa butuh dirinya dang sang Mama.
"Sekarang Mama istirahat ya," pintanya pada Andari. "Mbak, angetin makannya biar Mama makan."
Orang yang dipanggil Mbak, berjalan cepat ke dapur. Menghangatkan makanan untuk majikannya.
"Makan dulu, habis itu istirahat."
Andari mengangguk. Ia selalu senang saat anaknya begitu perhatian.***
Toko dan rumah Sultan tak terlalu jauh, meski ditempuh dengan jalan kaki. Tokonya berada di pinggir jalan raya, sementara rumah Sultan masuk sedikit ke gang. Tak jarang Sultan hanya jalan kaki menuju toko, seperti saat ini.
Begitu buka toko, laki-laki yang berpenampilan santai mengenakan kaus dan celana jeans di bawah lutut itu melihat kotak dibungkus kertas kado gambar kartun kuda poni. Mengernyit bingung, Sultan angkat dan baca secarik kertas dengan tulisan tangan memakai pulpen tinta biru.
Buat Bang Sul. Jangan lupa bismillah dulu.
Menelengkan kepala, lalu menengok sekitar. Ia khawatir saja ini hanya kerjaan orang iseng, atau prank sampah seperti berita beberapa hari lalu. Menilik dari beratnya, lumayan juga. Ah, ia bawa saja masuk.
Membuka pintu tarik ke atas, membiarkan udara berganti, lalu menyalakan komputer. Ditaruhnya kotak tersebut di atas meja. Ia bahkan hampir lupa pada kotaknya, terlebih kedatangan dua pegawai yang kini sedang bebersih. Sobri datang sambil membawa sarapan. Melihat ada kota di atas meja, ia tanya bos.
"Apaan tuh? Paket buat dikirim? Rapi amat bungkusnya pakek kertas gituan," celetuk Sobri.
Mendengarnya, Sultan yang sedang menyeduh kopi jadi teringat benda yang ia temukan di depan pintu tadi. Menghampiri. "Bukan. Ini tadi gue nemu di depan. Orang iseng kali."
Sobri mendekat, lalu membaca tulisan di kertasnya. "Masa sih? Pakek surat segala. Penasaran nih, apaan isinya."
Sobri berinisiatif membuka. Lapisan kertas kado ia tarik kasar. Kardus putih terpampang. Dibuka, mata Sobri melebar. "Lah, ada nasi bungkus."
Sultan menarik bungkusan kertas minyak dengan jepretan sehelai daun pisang di sana. Ciri khas nasi bungkus langganannya, nasi uduk Mpok Jaenab. Membuka bungkusan, benar saja dugaannya.
"Lah, bener nasi uduk Mpok Jae. Siapa ngasih ginian."
Sobri tertawa. "Mana gue tahu, Bos. Penggemar lo kali. Mana ada suratnya. Bocah pasti."
Sultan garuk-garuk kepala. Tapi, melihat bungkusnya masih rapi, Sultan membuka saja nasi uduk tersebut. Lumayan, ia belum sarapan. Perut lapar, rejeki di depan mata. Ah, sayang kalai ditolak.
__________
KAMU SEDANG MEMBACA
LAMARAN
Humor"Bang Sul, ayo nikah!" Seumur hidup hingga usianya dua puluh delapan tahun, tak pernah terbayang bahwa Sultan akan dilamar bocah baru meletek. Dunia terasa lucu saja, padahal ia tak pernah berbuat aneh. Bagi Ava, laki-laki pemilik toko alat-alat kom...