Usai membalas chat dari Rahina, Sultan segera meluncur ke kontrakan sang pujaan. Mengendarai motor matic body lebar, Sultan tak lupa memakai helm hingga bunyi klik terdengar.
Rahina, mahasiswi akhir yang awal setahun ini tinggal di kontrakan. Rumahnya daerah Pejanten. Sultan belum pernah ke sana, karena Rahina sendiri belum membolehkannya bertandang. Pernah Sultan menawarkan mengantar hinggal ke rumah, tapi Rahina beralasan ayahnya yang galak sedang ada di rumah. Mungkin Rahina butuh waktu untuk membuka diri dan hati. Mengingat sampai empat bulan mereka berkenalan saat acara bazar, Sultan belum juga menyatakan perasaannya.
Berhenti di depan gerbang, Sultan mengetik pesan bahwa ia sudah sampai. Tak selang kemudian Rahina yang pagi menjelang siang ini memakai celana dan kemeja berpita panjang di bagian dada, tampak menawan.
"Berangkat sekarang?"
Rahina mengangguk. Ia naik ke motor perahu sambil melingkarkan tangan ke pinggang Sultan. Sesekali keduanya tertawa sambil bercerita. Tentang bimbingan Rahina, dosen yang galak, sahabat Sultan yang mengejar janda hingga tak terasa sampai juga di kampus.
"Nanti dijemput?" tanya Sultan.
"Enggak usah, Kak. Aku pulang bareng temen, sekalian mau pinjem buku dia di kosnya."
Menghela napas, Sultan harus menerima penolakan. Usaha jomlo, modal bensin dan tenaga. Tapi masih setengah-setengah nyalinya. Mau nembak, masih galau.
***
"Tembak aku dengan cintamu, Bang!"
Teriakan Ava menggema di kamar kos yang sudah dihuninya empat tahun. Satu kasur tanpa dipan, lemari plastik berpintu laci, meja rias dengan kaca ditempel ke dinding menggunakan selotip bening, dan gantungan baju multi fungsi. Sederhana, tak perlu mevvah, tapi nyaman buat tidur memimpikan Sultan.
Seperti pagi ini, saat Ava mendapati dirinya terduduk sambil mengusap liur. Ah, rupanya hanya mimpi belaka. Padahal ia sudah berdiri dengan sepatu hak tinggi guna menambah tinggi badan, lalu juntaian gaunnya berkibar-kibar diterpa angin karena memang kepanjangan, seraya senyum malu-malu menanti Sultan yang berjalan di menghampiri. Ah, andai benar seperti itu adanya.
"Mimpi yang kayak nyata. Apakah ini pertanda?"
Menggaruk kepala, Ava menoleh pada jam dinding hadiah jalan sehat yang menempel di atas pintu. Jam lima subuh. Kantong kemihnya meronta. Sambil menguap ia membuka pintu, membawa gayung berisi peralatan mandi dan handuk. Berjalan santuy menuju kamar mandi yang letaknya di paling ujung.
Terbiasa mandi pagi agar tak antri, ples ia bisa lebih lama luluran Purbasari tanpa gedoran. Satu menit bagi kaum anak kos, begitu berarti.
Pukul enam, Ava sudah wangi tapi kucel karena belum dandan. Tengkurap, ia nikmati KAMU-tube an tanpa batas. Cekikikan melihat aksi Cute Girl, lalu menangis karena menonton drama mandarin.
Di tengah ia baver dengan adegan tokoh utama yang merelakan sang kekasih pergi dengan selingkuhan, suara ketukan pintu membuat emosinya terjeda.
"Va, yayang lo tuh di depan."
Mem-pause padahal lagi baver-bavernya, Ava keluar kamar dan menuju teras depan. Dua kursi disediakan bagi tamu yang berkunjung. Kebanyakan buat pacaran tanpa modal bawa jalan.
"Ngapain lo?"
Erga, laki-laki berkaus seragam nama toko baju memasang senyum semanis harapan. Teman Ava dari SMA, sudah langganan datang ke kos. Saking seringnya, banyak mengira mereka ini kembar tak senada. Satunya bantet, sementara Erga menjulang.
"Sarapan, buat lo. Nih."
Ava mendekat. Ia ambil bungkusan nasi uduk yang sudah ia hafal bungkusnya, milik warung Mpok Jae. "Kan kemarin bilang, hari ini nggak usah bawain sarapan. Gue mau sarapan bubur ayam sama Ulya.
Erga menunduk lesu. "Bawa aja, buat makan siang ntar."
Ava memutar bibirnya yang mengerucut kesal. "Ya udah deh." Ia hendak balik ke kamar, lanjut menonton drama. Tapi Erga berdiri dan memegang tangannya.
"Ntar malem jalan yuk, Va. Lama loh kita nggak jalan. Ya, mau ya?" Binar harapan Erga berpendar. Jika Ava mengiakan, sungguh ia ingin koprol sampai ke pintu gerbang. Sudah dua minggu mereka sama-sama sibuk kerja, tak sempat jalan saat malam sekadar makan bakso.
Berpikir sejenak. "Hem ... gimana ya. Gue lagi males sih, Ga. Tapi, gue lagi suntuk sih emang. Panas-panas pelanggan es degan gue melonjak. Lelah jiwa raga."
Erga semakin girang, bahwa harapannya kian jadi kenyataan. Maklum, sejak kelas dua SMA ia sudah naksir berat dengan Ava. Ke mana-mana kerjaannya mengintili Ava. Bahkan sampai cari kerja pun dekat dengan tempat kerja Ava. Yang artinya agak jauh juga dari rumahnya sendiri.
"Nah, biar nggak suntuk makanya kita jalan. Lo mau makan apa, ayo. Sosis cocol sambel kecap, tempe kriuk ditabur bon cabe, apa lontong abege di perempatan?"
Tawaran Erga cukup menggiurkan. Baiklah, ia mengangguk. "Ya udah deh, jalan. Jam tujuh ya."
Erga mengangkat jempolnya. Usahanya sebagai jomlo tak sia-sia. Meski puluhan kali ditolak cintanya sama Ava, ia bersyukur gadis yang saat mendapatkan mens pertamanya kelas dua SMP itu masih menganggapnya teman tanpa risi. Bagi Erga, Ava adalah impian dan masa depan. Sementara bagi Ava, laki-laki itu sebatas kawan yang ada di sampingnya. Meski harapan Erga tak pernah lepas untuk meluluhkan hati Ava. Toh kata pepatah, cinta karena terbiasa. Semoga saja.
_______
KAMU SEDANG MEMBACA
LAMARAN
Humor"Bang Sul, ayo nikah!" Seumur hidup hingga usianya dua puluh delapan tahun, tak pernah terbayang bahwa Sultan akan dilamar bocah baru meletek. Dunia terasa lucu saja, padahal ia tak pernah berbuat aneh. Bagi Ava, laki-laki pemilik toko alat-alat kom...