4. Kawan Lama

5.1K 610 112
                                    

Mengeruk daging kelapa berwarna putih, keringat Ava mentes sebiji-sebiji. Udara siang terasa terik. Pembeli es degan datang hanya dua ekor, tapi bungkus nggak nanggung-nanggung. Masing-masing lima dan sepuluh bungkus. Mana daging kelapa yang sudah dikerok habis pula stoknya. Coba tangannya ini tak harus mungil amat. Bisa juga ia bantu membelah kelapa yang berserakan macam perasaan ketemu mantan, di bawah gerobak.

"Kak, diminum sini ya. Dua."

Ava mengangkat wajah, membalas pembeli ketiga. "Ah, silahkan duduk dulu ya."

Senyum yang Ava pasang, surut karena terkejut. Dahinya mengernyit, bersamaan dengan lawan bicaranya. Keduanya sama-sama kaget.

"Dara?"

"Kak Ava?"

***

"Yes, Sir!"

Desahan itu menggema lagi, hingga jerit tertahan karena bungkaman lidah dan bibir sang tuan. Di bawahnya, gadis berambut ombre tengah memejam dengan keringat mengkilat diterpa cahaya matahari yang menerobos tanpa celah melewati jendela apartemen.

"Berbaliklah!" perintah sang tuan yang membuat perempuan berdada sekal itu menurut. Dengan gerakan pelan ia memutar tubuh yang awalnya telentang akibat hujaman dan gerilya laki-laki berjuluk tuan menjadi tengkurap. Kemudian naik dengan kedua lutut dan tangan menyangga badan.

Ia lemas, tapi menyenangkan. Pun kelembutan sang tuan yang membuatnya selalu terlena, meski ia bukan satu-satunya. Tak mengapa, ia tetap merasa puas. Untuk sekian kali, untuk desahan yang kian kencang akibat hujaman dari belakang.

Kedua tangannya mencengkeram sprei putih, peluh menghiasi sekujur tubuh. Kemudian remasan pada buah dadanya menambah jerit nikmat yang tak henti ia dendangkan.

"Kamu suka?"

"Ah, tentu."

Dengan napas memburu, laki-laki yang tak lagi muda itu membuat anak SMA di depannya menggila. Sentuhannya berpindah meremas bongkahan yang memerah karena bergesekan dengan perutnya. Menelusuri pelan lubang kecil mengerucut, menjelajahi dengan jemarinya. Kedutan yang ia terima, membuatnya tersenyum senang.

"Kau selalu menggemaskan."

Dan hujaman yang semakin keras, cepat, penuh tenaga membuat si gadis tak lagi bisa menjawab. Matanya memejam begitu gelombang itu menggulungnya. Remuk, hancur, menjadi serpihan kenikmatan.

Tubuhnya ambruk, diiringi lelehan yang menetes sebagian di paha dan sprei. Sementara sang tuan berguling ke samping. Keduanya mengatur napas.

"Tidurlah sebentar sebelum pulang."

***

"Nih."

Ava menyuguhkan es ke meja Dara. Pengunjung sudah sepi lagi, dan ia duduk di hadapan Dara. Adik kelasnya saat SMA dulu. Mereka tidak akrab, hanya kenal saja.

"Gue denger lo habis kecelakaan?"

Dara yang tengah menyeruput segarnya es degan pun mengangguk. "Iya. Udah sembuh kok ini. Sekarang lagi praktek di toko komputer."

Mendengar jenis toko tersebut, Ava mendelik panik. "Toko komputer mana? Di depan situ bukan?"

Ava boleh was-was dong. Meski banya toko sejenis, tetap saja radar untuk antisipasinya sebagai kaum pengejar masa depa perlu diaku jempol. Ia harus menaruh curiga pada apa dan siapa saja.

Menggeleng. "Enggak kok, Kak. Agak jauh dari sini. Tapi ... aku tadi habis dari toko depan."

Mendengarnya, Ava melotot. Kepanikan melingkupinya. Tidak praktek di toko milik gebetan, tapi habis mampir di sana. Waduh, gaswat juga. Ava tahu Dara tipe perempuan macam mana. Suka laki-laki dewasa. Jangan sampai bos toko depan kepincut pada Dara. Tidak. Sultan hanya miliknya kan? Jangan Dara juga ikutan naksir. Saingan dengan Dara membuat Ava lumayan ketar-ketir juga.

"Lo ngapain di situ. Lo nggak lagi pedekate sama cowok-cowok di sana kan?"

Dara bingung, kenapa kakak kelasnya itu jadi kebakaran jenggot.

"Nggak, Kak."

"Bener lo. Awas aja lo ngincer cowok di sana. Cukup laki-laki itu aja yang lo deketin, jangan lainnya!" ancam Ava tak main-main.

Menyadari hal tersebut, Dara menunduk. Ia tahu, bahwa dirinya pernah membuat seorang Ava diusir dari rumah. Kala itu Ava masih anak SMA yang harus menerima kerasnya fitnah, ditinggalkan, tak dianggap, dan harus menjalani kisah pilu.

Dara sudah minta maaf, sampai ke kelasnya, sampai ke tempat kerja Ava. Awalnya Ava cuek dan terkesan memusuhinya. Lalu Erga, sahabat Ava datang menemuinya. Menyampaikan surat yang ditulis Ava untuk Dara. Perdamaian mulai terlihat terang di depan mata.

"Soal yang dulu itu ... sekali lagi maaf, Kak." Wajah Dara tertunduk menyesal. Ia tak tahu bahwa laki-laki yang ia sukai rupanya pacar ibu tiri Ava.

Mengibaskan tangan. "Udah, nggak papa. Gue ambil baiknya aja sih. Gue emang benci di rumah sama emak dan sodara tiri gue. Belum lagi gebetan emak tiri gue yang matanya suka jelalatan. Pas tahu dia ada main sama lo dan gue bongkar ke emak tiri, jadi mereka punya alasan ngusir gue dari rumah. Awalnya gue emang kesel dan jijik. Bisa-bisanya lo main sama om-om. Yah, nggak papa sih. Dia juga bukan keluarga gue kan. Emak tiri gue biarin buta aja sekalian, dikadalin cowok kayak gitu."

Dara masih menunduk. "Maaf, Kak. Dulu aku emang menjijikkan banget."

Ava mau mengguk dengan kencang tapi takut malah melukai hati Dara. Yah, kebohongan kadang lebih sopan ketimbang terus terang yang berakhir petaka kembali.

Ava mengerucutkan bibir. "Sekarang lo masih sama dia?"

Dara menggeleng. "Enggak, Kak. Sejak enam bulan lalu aku jarang ketemu dia dan dihubungi. Apalagi aku juga habis kecelakaan dan dirawat. Mungkin sudah nikah sama ibunya Kak Ava."

Ava acuh. "Hem. Iya kali. Kawin kek, nikah kek mereka. Gue juga nggak diundang. Bodo amat. Yang penting gue dah keluar aja dari kehidupan mereka."

Ava pernah merasa kesal pada semesta mengapa ia ditinggalkan sendirian di dunia ini. Ibunya meninggal saat ia SD. Ayahnya menikah lagi dengan rekan kerjanya di kantor. Ibu tirinya membawakan saudara untuknya, tapi keberadaannya seperti hantu yang dianggap kasat mata. Tak berselang lama ayahnya pun meninggal. Sengsaralah ia hidup dengan keluarga tiri yang menganggapnya benalu.

Hingga datang laki-laki itu, membuat tawa ibunya secerah lampu petromak kala gulita. Hari-harinya sebagai anak SMP makin suram. Ditinggalkan, diacuhkan dan difitnah. Membuatnya diusir tanpa diberi kesempatan menjelaskan.

Ia pergi dan mencari kos, dengan menjual motor yang dibelikan ayahnya dulu. Masa SMA nya terasa penuh haru. Biarpun biaya sekolah masih ditanggung oleh ibu tirinya, namun tidak untuk uang jajan. Kemudian ia mengungkap fakta soal gebetan ibu tirinya dengan adik kelas yang indehoy di mobil bergoyang. Bukannya dipercaya, malah ia tak diberi uang sekolah mulai saat itu juga. Sejak itu ia bekerja apa saja agar bisa tetap sekolah hingga lulus.

Hidup harus terus berjalan kan? Masa harus ngemis di jalannan sih? Tubuhnya yang sekal tapi pendek dan dikira masih bocah saja, masih kuat untuk bekerja.

____________

LAMARANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang