Di banyak waktu aku merindukan tangan yang merentang jauh antar satu sama lain bersama setapak menginjak hanya pada garis lurus pembatas lautan hijau. Cicitan burung menari-nari di angkasa dengan langit yang mulai berubah kekuningan.
Bisa ku ingat, kala itu, bibir ini enggan menurunkan sesenti senyumnya dan enggan pula meladeni panggilan dari suara hangat tak jauh di belakang.
Saat pundaku berhasil diraih, aku malah berlari menjauh sembari melemparkan tawa bebas. Mata tidak melepaskan fokus dari setapak itu dan tangan masih terentang menetapkan keseimbangan agar tubuh mungilku tidak terjatuh.
Terus berlari tanpa peduli apapun, berlari seakan tidak ada rasa lelah, berlari tanpa ketakutan, berlari dengan bahagia.
Laju lari terhenti. Aku mengintip belakang melalui pundak.
Jauh di sana, satu tangan terangkat melambai-lambai.
Aku pun masih ingat suara yang ia teriakan sangat kencang kala itu.
"Jangan jauh-jauh! Udah sore, bahaya!"
Aku yang dulu sebegitu keras kepalanya malah kembali berlari lagi, dalam hati berniat ingin meraih mentari yang mulai menyembunyikan setengah dirinya.
Tidak lagi menoleh kebelakang.
Tidak lagi mendengar teriakan.Dan hal terakhir yang ku ingat adalah aku yang berakhiran menangis tersedu-sedu menerima omelan dari nenek di selasar rumah.
Tapi, tidak ada rasa menyesal, sama sekali.
Terbukti kejadian itu terulang beberapa kali sampai akhirnya nenek membuat kesepakatan, "jangan main di sawah lagi, nanti nenek beliin cilok yang banyak."
Lucunya diri ini jatuh sangat mudah hanya karena cilok.
Nenek menepati janji, begitupula aku—ya walau kadang masih pergi ke sawah diam-diam, tapi setidaknya tidak sesering hari-hari sebelumnya dan asal tidak ketauan nenek.
Sekarang, aku merasa apa-apa yang terlewati kala itu merupakan kehidupan paling bahagia; dimana aku tidak memiliki ketakutan sama sekali pada apapun, dimana harapan mustahil sekalipun masih terasa sangat nyata dan bisa untuk diraih, dimana tawa ini tersuarakan begitu bebas hingga menghadirkan berbagai macam warna.
Aku berharap bisa menikmati momen seperti itu lagi, bukannya malah terdiam disudut kamar memikirkan banyak ketakutan dengan mulut yang terbekap tanpa hiasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senggama Kinerja Jiwa
RandomSkala 1-10 kira-kira berada di point berapakah manusia merasa bahwa dirinya adalah manusia?