Nadira bersekedap. Ia masih terdiam kala mendengar percakapan Mahera dengan Fanessia. Ketika hendak menapak kaki menuju ruang tamu keluarga Fanessia—Nadira tanpa sengaja mendengar percakapan antara Mahera dengan Fanessia. Mahera terus-menerus mengucapkan terima kasih tidak henti-hentinya pada Fanessia terkait sudah menunggu serta merawat dirinya ketika sakit.
Nadira terkadang tidak mengerti mengapa Fanessia mengatakan hal bohong. Padahal selama Mahera sakit, bukan dia yang selalu menunggu serta merawat cowok itu. Nadira memijat pelipis merasa pusing.
"Ya udah gua mau ke kamar ya Maher. Kalo lo butuh apa-apa tinggal panggil gua atau kalo lo males tinggal telepon." Mahera mencubit gemas pipi Fanessia. Terlihat sekali kekhawatiran Fanessia.
"Iya ... Iya ..."
"Jangan iya, iya doang tapi gak dilakuin."
Mahera tersenyum kemudian berkata, "Iya bawel. Udah sana tidur, katanya ngantuk. Sana masuk kamar istirahat!"
Mahera menarik tangan Fanessia supaya gadis itu bangun dari tempat duduknya dan segera pergi menuju kamar tidur. Fanessia pun berjalan dengan pasrah.
Nadira segera berlari menuju toilet kala melihat Mahera menarik Fanessia menuju tangga lantai dua. Saat setelah mendengar pintu yang telah tertutup, buru-buru Nadira keluar dari toilet dan menuju kamar kakaknya. Tak lupa Nadira mengetuk pintu terlebih dahulu.
Bara dan Luna kini kembali ke kampung halaman yang berada di Pati untuk sementara—merawat orang tua dari Luna yang sekarang sedang sakit. Mereka minta Mahera dan Nadira menemani Fanessia. Setelah mereka beberapa hari kemarin menjenguk Mahera.
Tok ... Tok ... Tok ...
Terdengar suara ketukan pintu dari luar kamar yang Mahera tempati. Mahera menoleh ke arah pintu, baru saja ia ingin merebahkan tubuh seseorang mengetuk pintu. Segera Mahera bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke arah pintu.
"Nadira? Ada apa?" Mahera mengernyitkan dahi melihat Nadira yang berada di depan kamar nya.
"Aku mau ngomong sesuatu sama kakak."
Mahera melihat Nadira ia kian bertanya-tanya 'ada apa?' Pada akhirnya Mahera mempersilakan Nadira untuk masuk ke dalam kamar. Gadis yang mengenakan baju tidur motif Doraemon itu melangkah masuk ke dalam kamar kakaknya tanpa ragu. Mahera menatap Nadira yang melangkah menuju meja belajar yang tersedia.
Sekarang Nadira sudah duduk di kursi meja belajar sementara Mahera duduk dengan sebuah kursi kecil yang berada di kamar. Mereka berdua duduk berhadapan.
Sebelum berucap Nadira menarik napas dalam, lalu mengembuskan perlahan.
"Sebelumnya aku mau minta maaf, kak." Nadira menghentikan ucapan. Mahera menautkan kedua alis.
"Untuk?" tanya Mahera yang semakin penasaran.
"Aku tadi gak sengaja denger percakapan kakak sama kak Fanessia. Kak Fanessia bilang kalo dia yang udah jagain kakak selama kakak koma, tapi—" Nadira melirik sekilas melihat raut wajah Mahera. Nadira saat itu berbicara menunduk karena tidak bernai menatap manik mata kakaknya.
"Tapi apa?" Mahera semakin dibuat penasaran oleh Nadira.
"Tapi bukan Kak Fanessia yang selama ini menunggu sekaligus merawat kakak," ucap Nadira dengan nada cepat namun tegas. Mahera membulatkan kedua mata. Menatap Nadira tidak percaya.
"Bukan Fanessia?" Nadira mengangguk.
"Tapi dia orang yang pertama kakak lihat ketika kakak siuman itu, Fanessia." Mahera tampak berpikir.
"Lalu, siapa kalo bukan Fanessia?" tanya Mahera hati-hati.
"Orang itu—orang itu Kak Dearni. Kak Dearni yang udah menunggu sekaligus merawat kakak selama kakak koma."
"Dearni?!" seru Mahera.
Mahera mendadak terkejut mendengar penuturan Nadira. Ekspresi Mahera pun berubah, ia langsung mengusap wajahnya berharap ini hanya mimpi atau semua yang dikatakan Nadira hanya kepalsuan belaka.
"Ka—kamu ngomong apa si, dek? Engga mungkin Dearni. Fanessia gak mungkin berkata bohong."
"Benaran kak. Selama ini yang mewarat kakak adalah Kak Dearni bukan Kak Fanessia. Dua minggu lebih Om Bara, Bunda dan Kak Fanessia di Pati. Mereka gak bisa untuk menjenguk kakak, karena nenek sakit. Bunda kan anak satu-satunya jadi, hanya Bunda yang diandalkan," jelas Nadira. Ia memainkan kuku-kuku jari. Tak lama Nadira kembali berujar.
"Dan selama mereka di Pati. Aku tinggal di rumah Om Reno—ayah dari Kak Dearni. Kak Dearni selalu datang ke rumah sakit untuk melihat keadaan kakak."
Mahera mengalihkan pandangan ke arah jendela. Tidak lama berselang perlahan mata Mahera kembali menatap Nadira. Raut wajah Nadira sangat serius tak mungkin adiknya berbohong. Mahera memijat pelipis kepala. Keheningan terjadi beberapa saat. Mahera tampak terdiam. Pikirannya dipenuh oleh ucapan-ucapan Nadira.
'Jadi, bukan Fanessia yang selama ini hadir ketika gua koma hingga pulih seperti sekarang? Jadi benar Dearni yang selalu ada buat gua?' Pertanyaan itu memenuhi isi kepala Mahera sekarang.
"Kalo begitu—" Mahera menghentikan ucapannya. Belum sempat ia bertanya, Nadira sudah kembali berujar.
"Dan kakak harus tau kalau selama ini. Om Reno yang udah nolongin Nadira waktu Nadira pingsan di jalan. Dan Om Reno juga yang udah membiayai sekolah Nadira."
Mahera mengatupkan bibir mengacak rambut dan menatap Nadira tidak percaya."Jadi selama ini kamu berhubungan baik sama Om Reno?!"
"Iya, kak."
"Kenapa? Kenapa?"
"Iya, kak. Maaf. Maafin Nadira,""Kenapa kamu bisa berbaik hati sama orang itu!" Mahera mengelengkan kepala. Merasa tertohok mendengar pengakuan Nadira.
"Nadira cuma merasa gak enak dengan Om Reno. Yang udah berbaik hati membiayai sekolah," cetus Nadira.
"Jadi selama ini, yang biayain sekolah kamu bukan beasiswa? Melainkan Om Reno?"
Nadira kembali mengangguk. Dan Mahera tampak tidak mengerti mengapa Reno membiayai sekolah Nadira. Mahera mendadak kesal.
"Kak."
"Iya?"
"Nadira pamit ke kamar. Nadira cuma pengen ngomong itu aja. Maaf Nadira ganggu kakak." Nadira bangkit dari duduk.
"Kamu ga mau tidur sama kakak?" Nadira mengernyit.
"Engga kak. Nadira kan sudah besar, masa masih tidur sama kakak."
Perkataan Nadira membuat Mahera tertawa. Ia pun mengacak gemas rambut Nadira.
"Iya deh, yang udah besar dan bukan anak-anak lagi," ledek Mahera. Nadira mengembungkan pipi menatap tajam kepada Mahera.
"Jangan marah. Kalo marah nanti cantiknya hilang lho!" Mahera mencubit pipi Nadira. Membuat Nadira meringis kesakitan. Ia berusaha melepaskan tangan Mahera dari kedua pipinya.
"Udah ah, aku mau ke kamar. Kalo di sini terus nanti pipi aku bisa sobek!" Mahera terkekeh usai Nadira dapat melepas cubitanya.
"Masuk kamar langsung tidur ya!"
Nadira mengangguk paham.Selepas Nadira pamit pergi menuju kamar Fanessia. Mahera menutup pintu kamar perlahan. Membalikkan badan usai menutup pintu dan kembali berbaring di atas tempat tidur. Ia memukul-mukul serta menjambak rambut. Perasaan bersalah pada Dearni tiba-tiba melingkupi Mahera. Kini, pikiran Mahera benar-benar kacau menjadi bercabang banyak.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lukisan Luka [END]
Teen FictionFaras Mahera Putra adalah seorang pentolan di SMA Valletta Nusantara. Dia ingin sekali menghancur hidup seorang gadis bernama Dearni. Karena dia atau lebih tepatnya orang tua dari Dearni telah membuatnya terusir dari rumahnya sendiri dan membuatnya...