19. Patah Hati

22 7 0
                                    

Bantal menjadi benda yang mampu meredam suara tangisanku malam itu. Kubiarkan lampu kamarku gelap dengan penerangan remang-remang dari sinar rembulan yang masuk lewat jendela yang sengaja kubuka lebar.

Perlahan aku mendongak menatap rembulan bundar yang tergantung tenang di kelamnya langit malam di luar sana.

Kelam ....
Sekelam diriku, hatiku, juga ... perasaanku.

Lagi, tangisku kembali meledak. Baik hati mau pun pikiran tak kuasa memercayai apa yang baru saja terjadi.

Lagi, perbedaan pendapat itu kembali ada di antara kami berdua. Aku dan ayah. Parahnya, itu terjadi pada saat makan malam.

Satu yang aku herankan. Kenapa?

Setelah aku bertanya dalam hati waktu itu, kukira aku sudah paham apa yang harus kulakukan. Dan aku sudah berusaha melakukan apa yang sudah aku pikirkan.

Mencoba memperbaiki renggangnya hubungan kami, itu yang sudah aku lakukan. Namun, lagi-lagi sebuah percakapan memancing adanya perbedaan perkataan.

Aku masih tak paham, mengapa ayah masih saja membicarakannya? Mengapa dia terus saja menyuruhku untuk memikirkan kembali apa yang aku ingin dan harus kulakukan usai lulus sekolah? Bukankah ayah sudah tahu jawabannya?

Dengan marah aku langsung berdiri dan meninggalkan ayah sendiri begitu saja saat makan malam kami.

Aku marah ....
Sangat marah dan itu membuatku ... patah.

Sesenggukan aku berusaha meredakan tangis.

Aku ... terluka.

Senandika Cinta (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang