11. Kembali

24 2 0
                                    

Sesekali mengingat masalalu akan membuatmu kuat. Walaupun, sejujurnya sakit.
-Ainun Humaira

Hawa dingin menyentuh kulit putih Ainun. Embun yang seolah menyemangati malam untuk beranjak tadi sebelum matahari datang. Udara sejuk membuat paru-paru terasa begitu longgar. Suara ayam menambah kesan pagi yang cerah.

Ainun telah duduk di teras rumah, sesekali menatap ke arah rumah Erfan yang dapat dilihat dari rumahnya. Masih memikirkan kejadian lalu. Namun, tadi malam dia berkata baik-baik saja.

Ainun melirik HP-nya yang berwarna merah dengan walpapper salah satu anime yaitu Kimi No Nawa. Jam telah menunjukan angka 7, dan dia betah berada di depan rumah. Masih kokoh dengan matanya yang menatap rumah Erfan.

Andi keluar diiringi oleh Ana, ber-jas warna hitam dan berdasi merah lalu diperbaiki oleh Ana. Ia menatap Andi, lalu tersenyum. Andi akan pergi ke kantor jadi wajar masih pagi dia berangkat.

"Ma, ada yang mau Papa omongin." Andi menatap Ana dengan serius dan mengelus dagu lalu duduk di kursi dekat Ainun.

Ana tersenyum sembari mengangkat alis pada Andi. Ainun beralih menatap Andi, dia juga ikut penasaran.

"Rumah kita yang dulu, mau disewa sama temen Papa yang ada di sana," Ainun dan Ana mendengarkan dengan seksama. "Rumahnya seminggu yang lalu kebakaran, dia bingung mau tinggal di mana. Terus minta bantuan Papa, jadi Papa kasih. Tadinya mau ngasih tau Mama, tapi selalu gak sempat," jelasnya panjang lebar. Ana menggut merasa bahwa keputusan Andi sudah tepat, karena rumah yang ditinggali mereka 6 tahun lalu tak berpenghuni. Hanya dirawat oleh orang yang disuruh Andi.

Langit. Itulah orang pertama yang diingat Ainun, secara di sana adalah tempat mereka bertemu dan berpisah. Dia menatap orangtuanya yang sedang berbincang, tapi pikirannya tak tertuju pada mereka hanya ... Langit dan ... Indra.

"Besok kita ke sana," ujar Andi lalu menghadap Ainun yang melamun, "Ai, mereka juga punya anak perempuan seumuran kamu, tapi dia kehilangan indra penglihatannya."

Ainun menatap Andi penuh arti. Rumah dulu? Langit? Indra? Dan anak perempuan yang memprihatinkan? Semuanya bercampur baur di dalam fikiran Ainun. Lalu, dia tersenyum.

"Iya, Pa. Kita ke rumah Langit sama Indra juga," ujarnya lalu tersenyum. Andi mengangguk lalu mengusap lembut puncak kepala Ainun. Dia mengerti bagaimana rindunya Ainun pada Langit sahabat kecil putrinya itu.

"Mm ... Boleh ngajak temen Ara? Erfan, Dera sama Ari?" Dia ingin menghabiskan waktu dengan teman-temannya. Andi dan Ana menyetujui itu, lebih banyak akan lebih menyenangkan.

Ainun memberi tahu Dera, Erfan dan Ari. Namun, Erfan berkata ada urusan jadi tak bisa ikut. Berbeda dengan Erfan, Dera dan Ari begitu bersemangat karena sudah lama tak pergi jalan-jalan. Apalagi Ari, sebenarnya Ainun tak ingin mengajak Ari tapi dia yang selalu ada untuk dirinya selaun Dera. Sebentar lagi juga perpisahan akan datang, mereka akan memempuh masa depan menjalani nasib dan takdir mereka. Jadi, anggap saja catatan akhir sekolah.

****

Ainun keluar menunggu kedatangan Dera dan Ari. Mobil sudah di luar, sesekali menatap ke arah rumah Erfan. Sepi.

Ainun mengenakan dress selutut berwarna biru, rambutnya ia uraikan dan memakai beberapa jepitan berwarna putih. Imut, itu adalah kata yang tepat untuk dirinya. Bisa kau bayangkan reaksi Ari?

Beberapa menit menunggu akhirnya motor berwarna hitam datang dikendarai oleh Ari dan membonceng Dera. Mereka tersenyum hangat pada Ainun, lalu menaruh motor di garasi agar aman.

"Hai, Ra! Ck ... Masih pagi udah disuguhin yang manis-manis," ujar Erfan jenaka. Untuk saat ini Dera setuju dengannya karena memang Ainun terlihat manis. Dia memang totalitas ingin menuju masalalu miliknya dan bertemu dengan orang di sana. Dia juga akan pergi menuju makam Langit nantinya.

"Lo pada udah sarapan?" tanya Ainun masih berdiri di tempat semula.

"Udah," jawab Dera, lalu mengambil kaca di dalam tas hitam miliknya.

"Oh, kalok belum tadinya mau gue mau suruh sarapan dulu. Gue gak mau nantinya ada yang ngeluh ini-itu, perjalanan kita lumayan jauh. Luar kota," jelas Ainun lalu berjalan menuju kursi di teras. Disusul dengan Ari yang semangat.

"Ra, mau sejauh apapun perjalanan kita kalok aku sama kamu tetap terasa dekat. Dekat di jalan dekat di hati, eaaa." Masih pagi Ari sudah membuat Ainun terkekeh, sedangkan Dera menatap jijik.

"Ari, Ari. Lo kenapa sih, ngajar gue mulu? Padahal gue selalu sewotin lo," ujar Ainun menatap laki-laki berhodie warna hitam dan celana jins itu.

"Mm ...." Ari terlihat berfikir lalu meletakan tangan kanannya pada meja dan menatap lurus. Dera terlihat mendengarkan dengan seksama. "Gue cuman mau liat lo bahagia, walaupun bukan karena gue. Cinta gak harus memiliki. Jadi, gue gak ada hak mau nyuruh lo nerima gue. Setidaknya gue jadi sahabat lo, yang selalu sama lo." Dia menatap Ainun, dia tak menyangka Ari akan berkata sebijak itu. Dera pun sama, dia berfikir Ari tak pernah seserius itu sebelumnya. Ainun dan Dera tersenyum bersamaan melihat Ari kadang waras.

"Bijak lo," ujar Dera berdiri di samping Ari.

"Iya dong, kenapa? Lo suka ama gue?" tanya Ari memandang Dera sinis.

"Preet, jijik gue," balas Dera merapikan dress warna merah yang tadi terkibas angin.

"Idiih, nanti lo bayar! Lo udah numpang di motor gue tadi!" Ari semakin sinis. Dera terkejut dan langsung menepuk jidat, dia lupa bahwa dia numpang.

"Ampun bos!!" serunya.

"Lo berdua kenapa gak jadian, sih? Cocok." Ainun kali ini bersuara, karena memang mereka cocok.

"Males!" Seru mereka serempak, membuat Ainun yakin bahwa mereka jodoh.

Andi dan Ana keluar, lalu perjalanan di mulai. Perasaan Ainun bercampur aduk, sedih, bahagia, haru, kecewa semuanya melebur ketika ia masuk kedalam mobil. Namun, dia sudah siap mengingat dan melihat kembali masa lalunya.

****
Y

o, Minna.
Maaf telat up soalnya lagi rada males 😆
Enjoy yah ama story aku, jngn lupa tinggalin jejak luv yu. 😘

Indra Yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang