24 || Pemberian dari Lemon

178 54 21
                                    

Janji manis password-nya?
Manis di mimpi
Sakitnya nyata!
•••

Happy reading 🍑

Berjalan mengendap-endap persis seperti maling. Celingak-celinguk ke kiri kanan waspada akan ada orang. Aku mengusap dada, keringat dingin sudah bercucuran. Aku merasa seperti seorang maling yang memasuki rumah orang.

Fyuh ...

Sekali lagi mengembuskan napas dengan lega ketika melihat ruangan yang masih kosong tidak ada orang. Aku tersenyum tipis, mulai mencari-cari apa yang ingin ku cari.

Yes ... Ketemu!

Aku terpekik senang ketika menemukan tujuan awal untuk mendatangi ruang ini. Aku berdiri dengan tegap melirik bangku dan meja kayu itu lekat-lekat. Melepas tas ransel, mengobrak-abrik isi perut benda tersebut.

Perlahan, dengan sedikit kasih sayang mengeluarkan benda berbentuk persegi tersebut. Senyum tipis terpatri di wajah, aku menatap lekat-lekat kotak bekal itu. "Semoga suka. Yah, walaupun gosong. Tapi ini gue buatnya pake hati," tuturku tersenyum simpul meletakkan benda tersebut ke dalam laci.

Aku meletakkannya dengan penuh hati-hati. Memutar badan melihat ambang pintu, takut ada seseorang yang datang secara tiba-tiba.

"Gue jledak-jledug kalo di sini lama-lama. Udahlah pergi aja." Aku melangkahkan kaki, mengayunkan langkah kecil menuju keluar ruangan masih tetap waspada karena takut dilihat orang.

•••

Senyum tipis selalu tertahan di wajahku, wajahku semakin berseri-seri dibuatnya. Berjalan dengan santai diiringi lantunan musik yang tak jelas sembari menebar senyum semanis mungkin ketika bertegur sapa.

Entahlah, hari ini aku merasakan senang. Berharap agar Andika menyukai masakanku. Yah, setidaknya aku membuat nasi goreng itu penuh perjuangan.

"Hei ... Seneng banget keliatannya." Tepukan pelan di bahu membuatku sedikit latah.

"Eh ayam biru kulit kuning," latahku setelahnya mendesis ketika sadar bahwa ada yang sedang menjahili.

"Bisa kah lu nepuknya gak usah kenceng-kenceng heh!" Aku menjewer telinga sang pelaku dengan keras hingga tercetak sedikit kemerahan.

Aku tersenyum puas, melihat wajahnya yang memerah sambil memekik kesakitan. "Lepasan woi astagfirullah ini sakit! Ampun Mak ampun!" cicit Cindi meronta-ronta agar aku melepaskan jeweran di telinga.

Aku menampilkan wajah jahil. Tidak semudah itu aku melepaskan Cindi yang notabennya telah membuat aku latah di pagi hari seperti ini. "Tidak ada maaf bagimu sayang, maaf aku pendendam." Dengan tidak mempunyai perasaan aku semakin memelintir telinga Cindi. Untung saja telinganya elastis jika tidak, dapat ku pastikan telinga Cindi akan mengalami yang namanya sakit tak berdarah alias patah tulang.

"Woi ... Nak Laras! Lepasin telinga gue sakit anjir! Lepasin! Mamak Laras anakmu jahat!" Begitu dramatisnya Cindi melontarkan kalimat menjijikkan itu. Jangan lupa, di sana terselip nama ibuku Laras.

"Apa lu bilang? Sini cakap lagi cakap? Bukannya ngebujuk malah nyebut-nyebut Mak gue," kelitku semakin mengencangkan tarikan di telinga Cindi.

"Iya ... Iya ... Ampun! Gak lagi gak lagi janji," pekik Cindi tertahan mengangkat jari telunjuk dan tengahnya hingga membentuk huruf 'V'

LEMONILAC☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang