Epilog

629 47 16
                                    

Semua berbuah manis

Happy reading 🍑

Menyeka keringat yang kian menyucur, sedikit memperbaiki tataan rambut.

Hah ...

Aku merasa kelelahan dari biasanya. Di tambah dengan perut yang kian membesar membuat jangkauanku untuk bergerak lebih sempit.

Mengedarkan pandangan. Hari ini cafe cukup ramai pengunjung dari biasanya.

"Bu. Apa perlu saya antar ke rumah?" tanya Wili, karyawan cafe itu sedang memandangku dengan khawatir.

Aku mengibaskan tangan. "Gak perlu. Saya gak capek. Bentar lagi anak onta jemput sambil nyerecos kayak ban bocor," tolakku dengan halus sembari terkekeh.

Wili tersenyum. Seperti ia paham apa yang kukatakan. "Saya izin pamit ya, Bu. Kalau perlu bantuan hubungi saya." Membungkukkan badannya membuatku merasa segan.

"Bentar lagi Papa kalian datang, kok. Sabar, ya," ujarku berbicara sendiri mengelus perut yang sudah membuncit.

"Honey! Udah ku bilang jangan kerja! Jangan keluar rumah biar aku aja yang kerja. Kamu nanti kecapean!" pekik seorang lelaki tampan memakai baju kaus polos panjang yang sedikit digulung ke atas. Tidak lupa di tangannya berada jas putih kebanggaannya, jas yang selalu ia bawa ketika menolong pasien yang berada diujung nyawa.

"Alay, gak usah gitu. Kamu mau liat aku mati kebosanan cuman liat Tv seharian semalaman?" cecarku mendengus kesal. Ini sudah hal biasa lelaki yang di hadapanku bersikap posesif.

"Bukan, gitu, Darl. Tapi, aku cuma gak mau kecapean. Ingat di perut kamu ada dua nyawa yang harus di jaga," nasihatnya panjang lebar menatap risau.

Aku menghela napas memutar mata jengah. Ini akan selalu jadi alasan utamanya melarangku ini itu. Membuatku sangat hapal tabiat pria ini.

"Gak cape, kok. Aku cuman kerja yang ringan-ringan, aja," kilahku membela diri menatap tak suka lelaki yang notabennya suami sendiri.

Lelaki tersebut menghela napas pasrah. "Terserah, suka-suka kamu kayak gimana. Aku capek," ungkapnya dengan cepat meletakkan almamater dokternya.

Aku tersentak. Sepanjang pernikahan ia tak pernah mengucapkan kata terserah. Ia adalah orang pertama yang akan menentang semua keputusan yang menurutnya tidak benar. Tapi, menurut pandanganku benar.

Aku mendekatinya yang sedang memejamkan di ujung tembok. Ia nampak kelelahan, terlihat dari kantong mata yang menghitam. Beberapa hari ini ia jarang pulang karena tugasnya seorang dokter adalah menangani pasien.

"Kamu, capek?" Aku mengusap pelan rahang tegasnya.

Ia bergeming, berdiam diri tak menghiraukanku. Ini adalah pertama kali ia mendiami. Rasanya sedikit sakit.

"Pulang," titahnya dengan suara datar melirik aku sekilas dengan tatapan elang.

Meneguk ludah kasar, apa ia benar-benar marah? Ia mendekatiku. Ku kira ia akan menggandeng tangan atau merangkul pinggang seperti biasa. Tetapi, salah. Ia malah melenggang pergi meninggalkanku.

Di dalam mobil hanya terjadi keheningan. Aku sesekali mencuri pandang ke arahnya. Sedangkan ia masih fokus dengan jalanan sambil menyetir mobil.

"Kamu marah, ya?" Aku berucap ragu, memandang takut ke arahnya.

Hening. Lagi-lagi aku di diami. Membuat menghela napas panjang. Di sini memang aku yang salah, ia sudah terlalu sabar menyikapi hal kekanakanku. Tidak salah jika ia marah lalu mendiami.

LEMONILAC☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang