4. Bahagia Sederhana

17 8 2
                                    

Setiap manusia punya cerita, entah itu bahagia atau luka. Tergantung bagaimana kita menjalani hidup, dan bagaimana takdir dari sang Kuasa.

Perihal bahagia, setiap orang pasti akan merasa. Hanya saja ada sebagian bahagia yang memang diciptakan untuk mengobati luka. Jangan terlalu bersedih ketika saat ini sedang banyak luka, suatu saat Tuhan akan memberimu bahagia yang tak terkira

🎈

Berteman sejak lama tanpa menimbulkan rasa, itu adalah semboyan bagi Jiwa dan juga Juang. Bagi Jiwa, Juang adalah bahagianya. Pencipta tawa setelah keluarganya.

Setelah keluarganya pulang, Jiwa segera menghampiri mereka. Memang tak ada wajah-wajah mereka marah, tapi tatap mata ibunya menyorotkan kekecewaan.

"Maaf Bu, Jiwa kesiangan"

Miranda, Ibu Jiwa membalas dengan senyuman, "Iya, kamu ditanyain keluarga sana. Minggu depan kita kesana ya?" Sontak Jiwa mengangguk dengan cepat. Tak mau mengecewakan ibunya lagi.

"Kami balik dulu ya, maaf Ayah sama Ibu nggak bisa lama-lama disini. Takut macet." ucap Ayahnya lalu memeluk Jiwa. Tak lupa, memberi beberapa paperbag yang memang dibelikan untuk Jiwa.

"Iya, trimakasih Ayah. Hati-hati ya, Yah, Bu" ucap Jiwa. Jiwa membalas pelukan kedua orang tuanya, pelukan yang hanya ia rasakan beberapa bulan sekali. Jiwa terbiasa hidup dengan neneknya, semua masalahnya ia ceritakan pada neneknya, baginya Rani, sang nenek adalah ibu keduanya.

"Hati-hati ya, Nak" Pesan Rani pada kedua orang tua Jiwa. Setelah berpamitan mereka melesat pergi. Jiwa hanya tersenyum simpul, sampai kapan ia harus merasa sepi seperti ini? Apa Jiwa masih dianggap anak bagi mereka?

Jiwa segera menepis pemikiran yang aneh itu. Kalau tidak dianggap, tak mungkin mereka memenuhi kebutuhan Jiwa, kan? Bagaimanapun mereka tetap orang tua Jiwa, orang tua yang bertanggung jawab pada anaknya.

"Ayo, Nek. Nenek harus istirahat" ajak Jiwa sembari menggandeng neneknya untuk memasuki rumah. Tiba-tiba saja suara deru motor memasuki pekarangan rumah Jiwa. Siapa lagi kalau bukan Juang?

Juang yang peka dengan keadaan langsung membantu membawa barang-barang milik nenek Jiwa. Juang dengan Jiwa memang sudah seperti saudara kandung. Bagi Rani, Juang juga cucunya. Rani juga memperlakukan Juang seperti Jiwa.

"Kenapa? Kok tiba-tiba kesini?" tanya Jiwa sembari membawa minuman dan beberapa camilan dari dapur.

Juang menaruh ponselnya, "Pengen aja. Pengen main."

Jiwa memutar bola matanya malas, "Yaudah. Gue ke kamar dulu"

Juang melotot, bagaimana mungkin ia ditinggal sendirian diruang tamu yang jelas-jelas bukan rumahnya. Juang hanya dianggap angin lalu?

Jiwa terbahak melihat ekspresi Juang, "Baperan banget sih!" Jiwa menghentikan tawanya. "Ayo kerumah pohon. Gue mau cerita" ucap Jiwa yang berjalan lebih dulu dengan membawa beberapa camilan yang belum dimakan. Rumah pohon adalah tempat favoritnya ketika dirumah. Meski terasa sepi, namun Jiwa menyukainya. Jiwa menyukai sepi dan ketenangan. Bagi Jiwa, keramaian hanya membuat pikirannya bertambah pusing.

Juang hanya mengekori Jiwa, enggan bertanya. Ia tahu, jika Jiwa mengajaknya ke rumah pohon, ada suatu hal yang ingin ia ceritakan. Entah itu tentang keluarga ataupun dirinya sendiri. Bertahun-tahun berteman dengan Jiwa, membuat Juang sendiri hafal bagaimana watak Jiwa.

Aksara JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang