Ku kira seiring berjalannya waktu aku akan mulai terbiasa tanpamu, ternyata merindukanmu tetap jadi kegiatan favoritku. Iya, aku merindukanmu
🌈
"Kenapa?" tanya Jiwa yang merasakan perubahan sikap dari Ayra.
Nggak, nggak mungkin. Nama Antariksa kan banyak.
"Nggak, kayak nama benua aja." Ucap Ayra lalu tertawa garing.
Jiwa segera berdiri melihat dokter keluar dari ruang UGD. "Gimana, Om?"
"Dia cuma luka ringan, Jiwa. Dan sudah boleh pulang."
"Kepalanya? Nggak ada luka serius kan, Om? Tadi darahnya keluar banyak."
"Nggak ada luka serius dan nggak perlu dijahit kok. Dia siapa? Pacar kamu ya? Kok kamu peduli banget. Biasanya peduli cuma sama Juang!" ejek Dokter Rangga yang sebenarnya adalah Paman Jiwa.
"Cuma sekedar kakak kelas. Tadi dia nolongin Jiwa, jadi apa salahnya balas budi? Yaudah lah Om kerja lagi sana!"
Dokter Rangga hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah bocah remaja didepannya. Bocah rumahan yang pendiam dan sangat anti sosial.
"Ehm. Jiwa, gue balik dulu ya! See you!" pamit Ayra. Belum sempat Jiwa membalas, Ayra sudah terlebih dulu meninggalkan UGD.
Jiwa mengedikkan bahunya acuh, ia segera memasuki ruang UGD untuk melihat keadaan kakak kelasnya itu.
"Gue udah bisa balik kan?" tanya Anta saat Jiwa sudah berada disamping ranjangnya. Jiwa mengangguk sebagai jawaban.
"Oke, kalo gitu gue balik dulu. Maaf ngrepotin."
"Bareng kita aja, Kak. Lagian kita searah. Pak Dirga udah nunggu di administrasi."
Antariksa ingin menolak, namun Jiwa sudah terlebih dulu berjalan keluar. Ada yang berbeda dengan sikap Jiwa, apa memang sikapnya berubah-ubah seperti ini?
Dalam perjalanan pun Jiwa hanya diam. Matanya menatap lurus ke depan. Sorot matanya seolah bicara kalau dia merindukan seseorang.
"Jiwa?"
Tidak ada sahutan.
"Jiwa?"
Belum direspon.
"Lo rindu seseorang?"
Tepat! Pertanyaan itu membuat Jiwa menoleh ke samping. "Darimana kakak tahu?"
"Nebak aja"
"Gue bisa lihat dari tatapan mata lo. Sedih dan rindu. Campur aduk, ya kan?"
Jiwa mengangguk. Enggan menjawab pertanyaan kakak kelasnya itu.
"Pak, turun di depan aja. Saya masih mau beli sesuatu. Nanti saya pulang sama ojek aja."
"Tapi mas—"
"Makasih ya, Pak!" Ucap Anta lalu menatap Jiwa, "Rindu itu bilang, jangan terlalu gengsi untuk mengungkapkan. Nggak selamanya pertemuan bisa hadir tiba-tiba. Kadang kita butuh rencana untuk mewujudkan sebuah pertemuan. Thanks!" Setelah mengatakan itu Anta keluar dari mobil Jiwa.
Jiwa dibuat terpaku oleh tatapan Anta. Merasa tidak asing. Hanya itu yang ada dipikiran Jiwa. Mungkin mereka pernah bertemu? Namun dimana? Seingat Jiwa pertemuan pertama mereka hanya di ruko dekat taman saat hujan kala itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Jiwa
Novela JuvenilSebaik apapun pembelaan Jiwa tentang perasannya pada Juang, tetap saja diantara persahabatan laki-laki dan perempuan tak mungkin tidak memiliki rasa, bukan? Namun, apakah perasaan Jiwa tetap sama ketika Juang mulai berbeda dari Juang yang ia kenal...