2

400K 2.1K 14
                                    

Aku bekerja di salah satu kantor media cetak. Sehingga aku banyak menghabiskan waktu pagiku sampai sore hari di sana, lalu pulang hanya untuk beristirahat. Terkadang, sepulang kerja, teman-temanku mengajak untuk nongkrong di salah satu kafe di dekat kantor. Mencoba-coba kopi dan makanan yang kekinian.

Aku sering menghabiskan waktuku bersama teman kantor, tiga orang laki-laki, dan tiga orang perempuan.

"Kamu mau pesan apa, Ris?" Tanya Bella saat aku baru duduk di kafe itu.

"Ada apa aja?" Aku melihat buku menu yang sedang ia pegang. "Kamu pesan apa?" Tanyaku.

"Aku ini aja, deh. Caramel Latte."

"Aku juga deh, samain aja sama kamu."

"Oke."

Bella ini adalah teman kantorku yang cukup cantik. Aku mengenalnya sejak pertama kali ia bekerja di kantorku sekitar dua tahun yang lalu. Sejak pertama kali melihatnya, aku sudah tertarik dengannya, namun enggan untuk mendekatinya karena aku sebenarnya tidak terlalu senang untuk berpacaran dengan teman sekantor.

Berpacaran dengan teman sekantor pasti akan menyusahkan pekerjaanku. Belum lagi jika suatu saat aku bertengkar. Pasti mood-ku sangat buruk di kantor. Dan bisa jadi, pekerjaanku jadi berantakan. Maka, aku memutuskan untuk bersikap biasa saja pada Bella. Seolah tidak tertarik dengannya, walau sebenarnya, belum tentu juga ia tertarik denganku.

Aku bisa berkata seperti itu karena memang belum benar-benar yakin soal perasaan Bella padaku. Ia memang cukup aktif bicara denganku, ia begitu baik, seperti halnya yang barusan ia lakukan. Bella begitu perhatian dan selalu menawarkan bantuan yang padahal aku tidak pernah meminta bantuan itu. Tapi terkadang ia begitu cuek, seolah tidak menganggap kehadiranku, seolah tidak mau bicara denganku.

Bagiku, hal-hal kecil seperti memesankan makanan atau minuman di kafe, adalah hal yang manis. Bella sering sekali melakukan itu hingga membuatku senang dan terbawa perasaan karenanya.

Tapi, itulah Bella. Perasaannya tidak bisa kutebak. Aku juga tidak tahu mengenai hubungannya dengan orang lain yang tidak kukenal. Aku tidak berani untuk menanyakan apakah dia sudah memiliki kekasih, atau masih sendiri. Dan, jika terkadang aku berpikir untuk mencari tahu itu, aku pun kembali memikirkan tujuanku. Aku pun tidak benar-benar ingin memilikinya karena aku tidak mau berpacaran dengan teman sekantor. Entahlah, seperti ABG saja, aku sangat labil soal perasaanku pada Bella.

Aku, Bella dan teman-teman yang lain asyik ngobrol di kafe. Kami memang sering menghabiskan waktu, namun bukan hanya untuk senang-senang, tapi untuk menunggu jalan Jakarta mulai sepi. Jalanan Jakarta cukup membuatku dan teman-temanku pusing, hingga, menunggu sampai agak malam selalu menjadi solusi yang terbaik.

--

"Untuk apa kau menyimpan bokep? Dasar laki-laki lemah." Kata Buyung sore itu di warung kopi Mang Udin.

Dengan cepat aku mengambil ponselku yang sedang dipinjam Buyung. "Katanya buka facebook? Kenapa jadi buka-buka galeriku?

"Hahaha. Kau ini, Ris. Usia sudah dua puluh lima tahun, tapi masih saja mengoleksi video porno."

Aku memang mengoleksi beberapa video porno. Aku hanya menyiman video-video yang menurutku sangat bagus hingga bisa kutonton berulang kali. Walau di kantor ada wifi, dan aku bisa mengunduh puluhan video secara bersamaan, tapi aku tidak melakukannya. Aku hanya menyimpan yang menurutku sangat bagus. "Namanya juga laki-laki, Yung. Wajarlah" Aku meletakkan ponselku ke dalam saku celanaku.

"Faris. Dengar omonganku. Perempuan di luar sana enggak terhitung banyaknya. Hanya dengan sedikit usaha, kau bisa menikmati mereka. Untuk apa membohongi tititmu itu? Kau kan tahu untuk apa ia diciptakan selain untuk kencing?"

"Untuk onani?"

"Bodoh."

"Untuk apa?"

"Untuk masuk ke dalam alat kelamin perempuan, Ris! Untuk bikin anak! Begitu aja enggak paham!"

"Iyaa aku paham. Tapi aku belum menikah, Yung. Mana mungkin aku lakukan itu."

"Ah. Enggak usah sok alim gitu. Kita ini tinggal di Jakarta. Seks bebas bukan sesuatu yang asing, Ris. Sudah hal biasa."

Aku terdiam mendengarnya. Bukannya sok alim. Tapi memang ada ketakutan di diriku untuk melakukan hal yang dimaksud Buyung. Selain dosa, aku juga takut mendapat sial. Seperti terpergok oleh warga, atau mungkin tidak sengaja menghamili perempuan.

Tidak sedikit kasus teman-teman perempuanku yang akhirnya hamil di luar nikah. Banyak di antara mereka yang laki-lakinya bertanggung jawab, banyak juga di antara mereka yang laki-lakinya pergi begitu saja.

Aku pun takut hal itu terjadi denganku, apa kata orang tuaku jika anak laki-lakinya yang merantau ke Jakarta justru melakukan hal yang membuat malu keluarga?

"Kau akan merasa menjadi laki-laki paling tampan saat perempuan yang tidur denganmu meminta untuk melakukannya lagi-lagi tanpa henti." Lanjut Buyung.

Aku terdiam sebentar, mencerna apa maksud perkataan Buyung. "Kenapa bisa begitu?"

"Ah, aku enggak bisa menjelaskan bagaimana rasa itu bisa terjadi. Suatu saat kau akan merasakannya, Ris."

Aku terdiam lagi. Penasaran bagaimana rasanya menjadi laki-laki paling tampan. Penasaran bagaimana rasanya tidur dengan perempuan seperti di video-video porno yang sudah pernah kutonton. Setiap Buyung menceritakan pengalamannya padaku, setiap itu pula aku merasa ingin melakukan apa yang pernah ia lakukan.

Buyung sudah sering melakukannya, sedang aku belum sama sekali. Terkadang, aku merasa bodoh karena tidak memanfaatkan keadaanku yang sebenarnya cukup banyak mengenal perempuan. Tapi, saat lama tidak bertemu dengan Buyung, aku justru merasa bodoh karena sempat ingin melakukan apa yang Buyung lakukan.

"Ah pasti rasanya biasa saja." Katakudalam hati.

--

Jangan Lupa Vote, Ya!

(21+) Menginap Semalam (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang