[4] E for 'Entah Siapa yang Mengirimnya' atau 'Entah Apa yang Merasukinya'

1K 255 388
                                    

Siapa yang di part sebelumnya nebak 'awalan' judul dan benar? wkwkwk

Ayo main kuis next part apaan judulnya!

oOo


"Papa!" Kedua tangan Letisha terentang. Senyumnya tak kalah lebar melihat papanya sudah ada di rumah saat dia pulang sekolah. Letisha menghambur dalam pelukan papanya. Aroma papa. Aroma yang sangat Letisha suka. Menenangkan dan mengangkat semua persoalan. Letisha bergumam tak jelas sambil menghirup aroma itu banyak-banyak.

Ardy tertawa. "Sudah kelas X, masih saja kayak bocah. Malu ah, didengar orang. Anak gadis teriak-teriak meluk papanya." Meski begitu, dia tetap saja mendekap putrinya penuh rindu seolah berhari tak bertemu.

"Biarin. Cuma orang iri yang bilang aku kekanakan."

"Udah ah, ganti baju dulu terus makan. Papa mau dengar cerita hari pertama MPLS kamu."

Bibir Letisha langsung mengkerut. Ardy mengerutkan kening melihat perubahan ekspresi Letisha.

"Ada apa? Pasti berat, ya?" tatapan Ardy berubah prihatin. Dia tidak mau putrinya kesulitan. "Kamu pasti nggak nyaman di sana. SMA Wasesa punya image yang bagus, tapi dalamnya," bahu Ardy mengedik, bibirnya mencebik. "Makanya Papa lebih setuju kamu masuk SMA Kama."

Kepala Letisha menggeleng manja. "SMA Kama kan, sekolah berasrama. Udah cewek-cowok di pisah, aku nggak bisa setiap hari ketemu Papa, dong," tangannya bergelayut di bahu Ardy. Juga Mama.

"Tapi di sana, kamu diajarin mandiri. Biar nggak manja terus." Telunjuk Ardy menjawil hidung putrinya. "Sayang banget waktu itu Mama kamu telat daftarin. Mamamu itu memang sengaja supaya kamu masuk Wasesa."

Tenggorokan yang belum lama dibasahi Letisha dengan air mendadak terasa kering.

"Dia memang begitu, sibuk sama urusan sendiri. Tahu gitu biar Papa saja yang daftar."

"Aku nggak apa-apa, Pa." Senyum Letisha terulas tulus. Semakin sering papa menyebut kata 'mama', Letisha merasa semakin dirajam rindu. "Berat sih, tapi aku nggak ngerasain beratnya. Cuma aneh saja." Letisha meletakkan tasnya di meja makan, lalu duduk sambil meneguk air putih yang sudah tersedia.

"Aneh gimana?" Ardy ikut duduk di samping putrinya.

"Aneh," Letisha berusaha memilah kalimat yang tepat untuk diungkapkan. "Ada kakak kelas yang tiba-tiba datang terus ngasih perlengkapan MPLS buat Letisha."

"Senior kamu di SMP dulu mungkin?"

Letisha diam sejenak. Berusaha mengingat-ingat kemungkinan yang tidak terpikir olehnya. Sejurus kemudian dia menggeleng. "Nggak ada. Aku pasti ingat kalau ada kakak kelas seaneh dia."

Ingatan Letisha digiring kembali pada peristiwa tadi sore saat dia memergoki Grim nyaris menghajar orang. Rambut ikalnya yang nyaris mencapai bahu—bagaimana mungkin guru luput menegurnya kalau dia tidak menyeramkan. Dagu, cuping telinga, sudut mata dan pucuk hidungnya yang runcing seolah dia itu elf dari dunia yang tersembunyi dalam kegelapan. Kemeja yang tidak dikancingkan sempurna hingga kaos putihnya terpampang nyata. Seringainya yang tenang dan menghanyutkan saat akan menghabisi lawan. Jika Letisha punya kakak kelas di SMP semacam dia, tampang kriminalnya itu jelas tidak mudah dilupakan. Hanya saja, Letisha tidak ingin menceritakan pemikiran itu pada papanya. Ardy akan lebih khawatir lagi dan dia akan mulai membahas soal pilihan sekolah yang salah.

"Jadi bukan papa juga yang sengaja menitipkan properti MPLS ke dia?" tanya Letisha hati-hati.

Ardy mengaitkan kedua jari tangannya di atas meja. "Yang jelas semua aman, kan?"

Letisha mengangguk-angguk.

Mata Ardy menyipit dan kepalanya mendekat pada Letisha untuk menggoda. "Hati-hati saja, laki-laki punya beragam cara mendapatkan hati wanita."

"Ah, Papa malah bercanda. Aku serius juga. Jadi Papa atau bukan yang mengirim dia?"

"Rahasia!" Ardy terkekeh. Lalu mengangsurkan tas yang diletakkan putrinya di atas meja. "Nanti malam persiapkan semua perlengkapan, biar nggak ada yang lupa lagi."

Lagi, Letisha mengangguk. Dia ingin bertanya sesuatu tapi pertanyaan itu tersangkut di tenggorokan.

"Sana ganti baju, terus kita makan. Papa tadi beli makan di Dapur Solo. Kamu kan, suka banget sama garang asem."

"Yes!" Cepat Letisha mengusir wajah muramnya. Dia bergegas berganti baju dan mencuci tangan. Makan bersama papa selalu menyenangkan.

oOo

'Ah, elo gila!' Dinar langsung memekik diseberang. Wajahnya yang tergambar di layar ponsel Letisha kelihatan kaget. 'Sudah gue bilang dia itu berbahaya, masih saja ngeyel. Au ah, kalau besok lo jadi korbannya, gue nggak ikutan ya.'

"Jangan gitu dong, Din." Letisha merajuk. "Gue kan, cuma nggak mau dibilang nggak tahu terimakasih. Gila aja, itu properti MPLS segitu banyak, kriminalis macam dia bikinin buat gue. Itu kan ..." tangan Letisha menengadah ke atas. Menari-nari di udara hampa tanpa bisa menemukan kosakata yang tepat.

'Itu gila!' Dinar mengisi kekosongan kalimat Letisha. 'Kriminalis itu nekad. Kalau dia mau sesuatu, apapun dilakukan. Nggak usah aneh-aneh deh. Lo lihat sendiri dia mau nimpuk orang pakai gelas. Seumur hidup dia di Wasesa, nggak pernah dia punya pacar. Pada takut cewek-cewek. Sekarang dia kelas dua belas. Wajar kalau bucin. Dan elo, bakal jadi tumbalnya.'

"Tumbal? Tega banget istilah lo, Din. Dikira gue buat pesugihan apa gimana."

'Ya mau gimana lagi, lo bebalnya nggak kira-kira. Warung Bi Salim kan, udah kayak sarang penyamun. Malah disamperin.'

"Ya mana gue tahu kalau itu sarang penyamun, Din. Gue kan, bukan elo yang punya kakak informan."

'Gue kan, udah bilang 'jangan'. Kenapa lo nekad? Kebelet punya pacar kakak kelas? Rigel, ketua ekskul jurnalistik yang bikin lo mikir sejuta kali buat daftar di sana saja, jauuuuuuh lebih mendingan daripada Grim. Rigel galak, tapi bukan kriminalis. Masih patuh peraturan sekolah, penampilannya rapi, ikut organisasi. Kalau Grim?' Dinar begidik ngeri.

Mendadak Letisha ingat formulir ekstrakulikuler yang belum diisinya tadi. Hanya mengantar Dinar menyerahkan formulir ekskul jurnalistik saja dia sudah ketar-ketir. Harusnya jurnalis diisi orang-orang yang pandai beramah tamah untuk mengambil narasumber. Tapi kenapa ketua ekskul jurnalistik di sini sangar?

Sedikit-sedikit Papanya benar. Sekolah ini sedikit seram dan suram. Eh, kenapa terdengar seperti sedang menyebut nama Grim?

'Rigel ketahuan mulutnya pedas. Kalau sakit hati paling banter masuk rumah sakit. Sedangkan Grim? Tenang, tenang, santuy, diajak bercanda, haha-hihi,  tahu-tahu lo masuk liang lahat saja.'

Letisha mengibaskan tangan. Drama sekali deskripsi teman barunya ini. "Mungkin karena penampilannya urakan kali ya, jadi orang tuh, lihat dia serem duluan. Buktinya tadi saja dia masih maafin gue."

'Bela saja terus. Penyesalan nggak ada gunanya kalau lo masuk kubur.'

"Lo tuh, dari tadi nyumpahin gue, lo sendiri masuk ekskul jurnalistik nggak sayang nyawa? Tahu sendiri ketuanya galak kayak singa."

Dinar tertawa di seberang. 'Enggaklah. Kak Vero juga ngambil ekskul yang sama. Jadi aman nyawa gue.'

"Sial." Letisha menarik lembar formulir ekstrakulikuler yang masih kosong. "Jadi gue harus ambil ekskul apa ini?"

'Otomotif, pecinta alam atau elektronika saja.'

Letisha mengeritingkan kening. "Kenapa gitu?"

'Ruangannya nggak jauh sama Warung Bi Salim. Lo bisa sering-sering mantengin Grim Reaper.'

"Setan lo, Din." Letisha lalu menutup ponsel tanpa say goodbye.

oOo


Aya's note

Cepet up. Cepet dibaca. Cepet di-unpub. #PLAK

Eh, besok malam takbiran ya? Dan gue masih ada seminar. Oke baelaaa...

Jangan lupa taroh library, share dan vomment.

Bye

Love-Hate Relation(sick)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang