6 | Lembaran baru

3 0 0
                                    

"Kak, besok Mayra sudah mulai magang."

Lagi-lagi berjas hitam itu meraih gelas kaca di sebelahnya, kemudian meminumnya beberapa tegukan.

"Hmm," jawabnya kemudian.

Hening, hanya dentingan dari sendok dan piring yang terdengar. Suasana beku seketika, baik Mayra maupun Zidan tak ada yang bersuara satupun.

Beginilah pernikahan mereka, bahkan sudah seminggu setelah akad, hubungan mereka masih saya penuh dengan kecanggungan dan kekakuan, seakan ada dinding yang menghambat sehingga susah tuk berkomunikasi.

Zidan mengambil tas hitamnya, kemudian berlalu keluar, diiringi Mayra. Sebelum pergi, Mayra menciumi punggung tangan laki-laki itu. Karena apa? Tentu saja bukan karena cinta, melainkan karena kewajiban!

***

Hari ini Humayra masih dalam masa cuti pernikahan, karna jengah ia pun menghidupkan televisi, mengotak-atik Channel pada televisi itu. Tak ada yang menarik, ia pun mematikannya. Hemat listrik.

Humayrah melangkahkan kakinya gontai menuju kamarnya, iya kamarnya. Semenjak pindah ke rumah barunya, Zidan dan Humayrah tak pernah tidur sekamar. Coba kira, pasangan mana yang tidur beda kamar?

Humayrah menduduki dirimu di depan meja belajarnya ia membuka leci mencari sebuah album foto bersampul putih yang memang sengaja ia bawa dari rumah. Album itu adalah album kenangannya waktu SMP. Buku bersama sahabatnya.

Humayrah membuka halaman demi halaman pada album itu, dan setiap halamannya menyimpan begitu banyak kenangan baginya. Hingga sampai pada halaman tengah, di sana terdapat foto ketika ia dan sahabatnya sama-sama di hukum karena terlambat. Humayrah menatap keluar jendela, menerawang ke masa itu, masa untuk pertama kali ia di hukum karena ulah sahabatnya. Tak ayal, kenangan itu mampu menghilangkan rasa jenuh pada dirinya. Ingin rasanya kembali ke masa itu, sangat ingin.

Namun, tatapannya mulai sendu ketika tiba di halaman terakhir pada album, halaman terakhir itu berisi kenangan ketika ia harus merelakan sahabatnya itu menuntut ilmu di sebuah pesantren di luar kota. Air matanya lolos begitu saja, memang mudah menemukan seorang temen, tapi menemukan seorang sahabat yang selalu mendukung kita ke arah kebaikan bukanlah perihal mudah.

Humayrah mengesat air mata yang membanjiri pipi chubby nya. Ia jadi teringat ucapan sahabatnya itu.

"Aisy-ku sayang, setiap hari, saat kita membuka mata di pagi hari, di situlah lembaran baru di mulai. Jadi tak ada gunanya menangisi yang sudah berlalu. Tak guna," ucap sahabatnya kala itu.

"Fa, apa pernikahan ini termasuk ke dalam lembaran baru yang kamu maksud? Tapi, kamu bilang lembaran baru dimulai saat kita membuka mata di pagi hari. Sedangkan saat ini, aku merasa tengah berada di dalam mimpi buruk, Fa. Pagi belum menghampiri tidurku, Fa. Bagaimana kalau aku tak terbangun dari mimpi ini, Fa? Bagaimana?" Humayrah mendekap wajahnya, lima tahun tak berjumpa dengan sahabatnya membuat Humayrah begitu merindukan sosok sahabatnya itu.

"Fa, ini bukan lembaran baru kan?!"

***

Humayrah berjalan menyusuri bibir pantai, sesekali air ombak menyapanya. Angin pantai yang bertiup membuat jilbabnya terkibar-kibar.

Ia mengadah, mendapati langit sedang mendung, tak secerah seperti biasanya. Langit, apa kau juga merasakan hal juga dirasakan oleh Humayrah?

Humayrah berusaha memuhasabah dirinya, mengingat-ingat kesalahannya sampai-sampai ia jodohkan dengan seseorang Yang sama sekali tak ia kenal. Seseorang yang begitu asing baginya.

Gadis itu lalu duduk di bibir pantai, sesekali buih ombak membuat gamisnya basah. Tapi, ia tak peduli.

"Laut, dia jahat, masa tiap hari ngomongnya cuma, 'iya, hmm, nggak, oke' doang. Mayra capek laut. Kenapa ia harus begitu dingin?" Humayrah menenggelamkan wajahnya pada lutut yang ia tekukkan. Niatnya tadi cuma mau jalan-jalan sebentar, tapi malah berakhir di tepi laut ini.

"Kamu gapapa?" Humayrah mendongakkan kepalanya, menatapi seorang laki-laki asing tapi sedikit familiar dengannya. Bukan, bukan Zidan.

"Kamu siapa?" Tanya Humayrah heran, laki-laki itu sekarang tengah menatapnya sambil tersenyum. Bahkan suaminya pun tak pernah tersenyum padanya.

"Mau saya temani?" Ucap laki-laki itu ramah, membuat Humayrah tersentak dari lamunannya.

"Eh, nggak usah, kak. Mayra juga mau pergi kok." Humayrah memang tidak suka terlalu berdekatan dengan laki-laki, karna makhluk ciptaan Tuhan yang satu itu selalu membuatnya risih.

"Mau saya bantu berdiri?" Humayrah membelalak, itu berarti nanti laki-laki itu akan menyentuh kulit, kan? No, dosa!

"Nggak usah, kak. Mayra bisa sendiri," ucap Humayrah cepat. Dan detik selanjutnya ia sudah berdiri di hadapan laki-laki itu. Tentu saja Humayrah menundukkan wajahnya.

"Kamu, kok sepertinya saja merasa pernah bertemu, yah?" Humayrah menerawang, bertemu? Kapan? Ia tak begitu bisa mengingat laki-laki yang ia temui, karna selalu menunduk.

"Ehmm, nggak deh kayaknya kak. Kakak salah orang kayaknya. Kalo gituh Mayra pergi dulu kak, Assalamualaikum." Laki-laki itu menatapi punggung Humayrah yang kian menjauh di hadang jarak.

"Mayra?"

***

"Assalamualaikum." Humayrah memasuki rumahnya dengan ragu-ragu, takut ternyata Zidan sudah pulang. Meskipun suaminya itu memegang kunci cadangan, tapi tetap saja Humayrah, khawatir, bagaimana kalau Zidan lupa membawa kuncinya?

Tak ada jawaban, Humayrah mencoba mendorong pintu itu perlahan, terbuka. Zidan dia sudah si rumah, dan itu membuatnya bernapas legah.

Ia menjajaki kakinya ke dalam rumah, suasana dingin kembali menyelimuti dirinya. Aneh, padahal AC tidak sedang dihidupkan.

"Eh, kak Zidan, sudah pulang?" Ucap Humayrah mendapati Zidan yang tengah berdiri di atas tangga yang menghubungkan rumah ke bagian rooftop.

Humayrah memukuli jidatnya sendiri, merutuki perkataan yang tanpa sadar kelaut dari mulutnya, stupyd question macam apa itu? Kalo Zidan belum pulang, lau yang di depannya ini siapa? Dasar bodoh!

"Sudah," jawab laki-laki itu sekenanya.

"Sudah daritadi?"

"Baru." Humayrah bernapas legah. Ia merasa sedikit senggang sekarang.

Sungguh aneh dirinya, ia berkata tak akan membuka hatinya sebelum laki-laki itu berusaha tuk mengetuknya, ia berkata bahwa pernikahan ini tak memiliki harapan. Tapi kenapa ia begitu cemas ketika memikirkan Zidan akan terkunci di luar? Kenapa ia begitu bahagia ketika mendapati Zidan tak apa-apa?

Sungguh Allah Maha membolak balikkan hati manusia.

***

See you:)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 08, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Garis TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang