"Dari mana lo? Tumben telat balik, kan lo udah janji sama nenek nggak bakal telat pulang,"
"Iya, tadi gue abis nganter temen. Nenek udah tidur?"
Laki-laki itu mengangguk. "Udah. Nganterin temen siapa? Cewek apa cowok?"
"Lo kenapa sih Vin? Tumben banget kepo kayak gini,"
"Ya nggak papa sih, gue kan cuma mau tau sepupu gue ini apakah lagi deket sama seseorang atau enggak,"
Ia tersenyum. "Doain aja ya Vin, yang ini beda banget. Anak kota banget. Kayak lo,"
"Lo kan udah bisa ngomong gue-elo, masa sama cewek nggak bisa sih Bi?"
Albi mengedikkan bahunya. "Nggak tau, nggak biasa aja,"
"Ya, dibiasain lah!"
"Kurang sopan aja gitu ditelinga gue buat bicara lo-gue ke cewek,"
Kavin menepuk-nepuk punggung Albi. "Gue selalu doain yang baik buat lo Bi,"
Albi terkekeh. "Thank's, gue bersih-bersih dulu ya,"
Kavin mengangguk dan membiarkan Albi membersihkan dirinya. Kavin merebahkan dirinya di sofa besar milik keluarganya. Kavin dan Albi adalah saudara sepupu. Ayah Kavin adalah kakak dari ayahnya Albi. Dahulu, ketika Kavin dipindahkan ke Jakarta, Albi diajak untuk sekolah di sana. Tapi Albi menolaknya karena ia ingin menjaga nenek mereka. Dari kecil Albi sudah ditinggal oleh ibunya dan hanya tinggal bersama ayah dan neneknya.
"Kalau lo bukan sepupu gue, dengan cara apa pun juga gue bisa singkirin lo dari Wulan. Tapi sayangnya lo orang baik Bi," gumamnya.
Memang Kavin tadi melihat Albi dan Wulan di lampu merah jalan menuju apartemen Sena. Kavin memang tahu kalau Wulan berada di Jogja. Tapi sayang sekali Kavin nggak tahu keberadaan Wulan.
✓✓✓✓✓✓
Jam sudah menunjukan pukul sepuluh malam tapi Wulan belum bisa memejamkan matanya. Padahal besok ia mendapatkan kelas pagi. Wulan menatap atap kamarnya dan memikirkan sebenarnya apa yang sedang Sena lakukan di Jogja. Apakah Sena memang mengetahui jika Wulan kuliah di sini lalu ia menyusulnya? Atau memang takdir yang mempertemukan mereka kembali?
Wulan bangkit dari posisi tidurnya. Sepertinya memang ia harus banyak-banyak minum air. Ia pun keluar kamar menuju dapur dan mengambil segelas air mineral untuk diminum.
"Lah, gue kira udah tidur, besok kan kelas pagi," ujar Utha yang ternyata masih berkutat dengan laptopnya di ruang tamu.
Wulan mengedikkan bahunya. "Nggak tau nih nggak bisa tidur,"
"Mikirin Sena?"
Wulan refleks menggeleng. Ia duduk di samping Utha. "Lo kenapa sih Tha? Gue udah ikhlas kok disakitin Sena. Jadi nggak usah gitu lah," Wulan terlihat kesal.
"Gue cuma mau lindungi lo Lan dari laki-laki kayak dia. Gue nggak mau ya lo deket-deket sama dia lagi!"
"Gue nggak perlu lo lindugin! Gue bisa jaga diri gue sendiri!" Wulan membanting gelasnya di atas meja dan segera keluar dari apartemennya.
Wulan berjalan dengan napas terburu-buru. Ia benar-benar muak dengan sikap Utha yang satu ini. Kenapa sih Utha itu selalu mencampuri urusan hidupnya? Kenapa Utha nggak ngurusin hidupnya aja. Padahal belum tentu hidupnya lebih baik dari Wulan.
Kakinya tanpa sadar memasuki kafe yang berada tepat di depan apartemennya. Ia memesan kopi seperti biasanya lalu memilih tempat duduk di ujung kafe. Ia menghirup napas dalam-dalam dan mencoba untuk menenangkan dirinya.
"Kalau lo nggak bawel, gue nggak akan ngopi kayak gini Tha," desisnya.
Wulan menatap sekeliling kafe dan ternyata di jam malam seperti ini malah semakin rame. Apakah mereka benar-benar ingin ngopi atau sedang banyak masalah? Terkadang Wulan ingin menyamar menjadi seorang yang biasa saja. Bukan Wulan yang dikenal ambis dan galak. Bukan Wulan yang selalu mengantongi piala olimpiade. Wulan ingin menjadi orang yang biasa saja. Orang yang bahkan nggak memikirkan besok akan makan apa. Atau besok dia harus bagaimana. Orang yang benar-benar menjalani hidup sesukanya tanpa ada tekanan apapun.
Ia memejamkan matanya sejenak dan mengambil napas dalam-dalam. Tapi, mau bagaimana hidupnya sekarang, yang harus dilakukan Wulan adalah terus bersyukur. Nggak boleh kufur.
Wulan menghabiskan kopinya dan beranjak pulang. Untungnya jarak kafe dengan apartemennya sangat dekat. Ia merapatkan jaketnya karena cuaca di Jogja berbeda dengan Jakarta. Jogja terlalu baik bagi Wulan. Bahkan, saat malam begini pun langit Jogja terlihat sangat indah di mata Wulan.
Wulan berjalan pelan memasuki lift sampai ia mendengar suara seseorang sedang berdebat di belakangnya.
"Kamu gila ya? Aku kira kamu cuma bercanda tadi,"
"Mana mungkin gue bercanda. Ini kan sebagai bentuk tanggung jawab—Wulan?"
Wulan tercekat begitu melihat ternyata yang di belakangnya adalah Sena. Wulan jadi merasa nggak enak karena menganggu mereka.
"Maaf, gue permisi dulu," katanya yang benar-benar nggak enak.
"Tunggu!" Naura mencegah Wulan untuk pergi lebih dulu. Wulan pun berhenti. "Bareng aja sama kita, soalnya aku juga takut kalau berduaan sama dia," tunjuknya pada Sena.
Wulan menatap Sena bingung lalu menundukan kepalanya. "Oke." Ia menekan tombol lift tersebut.
"Kamu tinggal di lantai berapa?" tanya Naura pada Wulan.
"Sepuluh,"
"Kamu juga Na?" tanya Naura pada Sena.
Sena mengangguk.
"Wah, seru dong! Aku jadi punya temen ngobrol nanti," kekehnya. Lalu Naura mengulurkan tangan kanannya. "Namaku Naura,"
Wulan menjabat tangan itu. "Wulan,"
Naura tersenyum dan melepas jabatan itu. "Kamu ngomongnya aku-kamu atau lo-gue kayak Sena?"
"Aku-kamu aja, kayaknya Mbak-nya lebih tua dari saya,"
Naura terkekeh. "Betul sekali! Kamu asli Jogja?"
Wulan menggeleng, "Bukan, Mbak,"
"Di sini kuliah?"
"Iya Mbak,"
Pintu lift terbuka menandakan mereka sudah sampai di lantai sepuluh. Wulan keluar lebih dulu.
"Mbak Naura, Sena, aku duluan ya," pamitnya diiringi senyuman.
"Iya! Nanti kita ketemu lagi ya," kata Naura.
Wulan hanya memberikan senyum tipisnya dan masuk ke dalam apartemennya.
"Dia cantik ya Na," celetuk Naura.
Sena mengangguk dan mengambil kunci untuk apartemen yang akan ditempati Naura.
"Kamu nggak mau nyoba untuk deketin dia?"
"Justru dia mantan gue," ujar Sena singkat, padat, dan jelas.
Naura mengangguk-angguk. "Pantesan, kelihatan ada tatapan pilu di mata kalian," Naura mengambil kunci itu dan membuka pintunya.
"Terima kasih ya Sena, aku mau istirahat dulu," lalu ia menutup pintu apartemennya.
Sena mengangguk dan terdiam di tempat. Ia mencerna ucapan Naura. Tatapan pilu. Apakah Wulan masih mengharapkannya? Atau hanya dendam yang ia simpan?
Karena, nggak usah bertanya pada Sena. Semesta pun tahu jika laki-laki ini masih mencintai si perempuannya yang pernah ia dekap erat.
✓✓✓✓✓✓✓✓✓
To be continued!!!Yippy! Selamat membaca! Semoga di bulan Juni beribu kebaikan akan datang pada kita semua. Aamiin!
Xoxo!Ditulis tanggal 2 Juni 2020

KAMU SEDANG MEMBACA
AKSHEINATA II
RomanceKisah perjalanan hubungan Wulan dan Sena dimulai ... Copyright by cakehemo96 2020