"Rum.."
"Apa?!"
"Kok sewot sih?"
"Makanya jangan ganggu, mau cepet selesai ga?!"
"Iya nih diem." Ia meletakkan kepalanya di bahu Arumi, "Ish, risih!" Decaknya sebal, menggoyangkan bahunya agar kepala anggota kelompoknya itu jatuh.
"Diem. Aku ngantuk."
"Risihー
ーoh, jadi masa muda Mama sama Papa kayak gini? Pantes cekcok terus di rumah." Celetuk seorang gadis muda yang posturnya lumayan tinggi, wajahnya masih menggemaskan, kira-kira berusia sembilan atau sepuluh. "Mama?"
"Papa?" Arumi sontak menautkan kedua alis, lalu bertukar pandang dengan sebelahnya. "Njun, tanya coba, dia siapa gitu." Bisiknya, mulai merasakan hawa aneh saat gadis kecil itu tiba-tiba muncul di depan mereka, sedang pintu rumah dikuncinya, apalagi pintu belakang.
Renjun pun bangkit, menghampiri anak kecil itu dan mensejajarkan tubuh, "Kamu siapa?"
"Anak Papa lah!"
Cebikkan bibirnya menggemaskan sekali, apalagi kedua pipinya yang berisi. Tak lama, Renjun menyadari lengan gadis itu melingkar sebuah jam bahan karet warna putih.
Desainnya sederhana hanya berupa layar yang menunjukkan tanggal hari ini, 20 Januari 2020. Lantas, isak tangis kecil terdengar, "Loh! Jangan nangis dong," ia kelabakan sendiri, gadis itu pun direngkuhnya, ia usap-usap punggungnya biar mereda.
Tak diam saja, Arumi juga mendekat, "Adek kok nangis?"
"Kok adek, 'kan aku anak Mama! HUAAA!" Lagi, tangisnya meronta, mengeratkan lengan pada leher Renjun. "A-aduh, jangan erat-erat!" Pekiknya tertahan kala berdiri menggendong anak ini, Arumi jadi cemas, takut terdengar tetangga. Apalagi ibunya yang sedang tidur di kamar.
"Ya udah, iya, maaf. Kamu mau apa, aku beliin asal jangan nangis," usulnya ikut menenangkan dari balik tubuh Renjun.
Tak lama, gadis mungil itu mengusap kasar wajahnya pada kaos di bahu Renjun, ia menatap tajam dan penuh selidik pada rupa Arumi, sejenak ia meringis ngeri. "Mama janji?" Ia menyodorkan jari kelingkingnya, tanpa pikir panjang ia menautkan kelingkingnya pula.
"Papa juga harus janji!"
Renjun tersenyum geli, melakukan hal yang sama seperti Arumi. Ia merasa terhibur dengan keberadaannya ini, selain menggemaskan, anak ini buatnya punya teman.
Sebagai anak tunggal yang sering kesepian dan suka banyak pikiran, ia jadi ingin punya adik. Dan, mungkin, gadis kecil ini bisa ia angkat jadi adik?
Ia mengangguk, "Janji. Mau apa?"
"Jalan-jalan sama Papa Mama, beli kue ulang tahun, mainan di tamanー
ーulang tahun?" Arumi memotong.
"Ih! Aku 'kan lagi ulang tahun! Tapi di masa depan Papa Mama malah bertengkar, lupa sama aku!"
"Masa depan?" Renjun pun bersuara, mendapat atensi dari anak itu. "Oh iya aku lupa jelasin," cengirannya mendapat cubitan kecil di pipi dari Renjun.
Ia pun minta diturunkan, lalu ia memamerkan jam yang melingkar di lengan kirinya. "Aku Elisé, anak Mama Papa, dan ini punya Om Jaemin, aku pinjem buat datang ke masa lalu. Aku mau bikin Papa sama Mama akur. Biar ga merusak keadaan kalian di masa depan."
Ia menundukkan kepala, bahunya bergetar, nyaris menangis lagi. "Pokoknya aku ga mau kalian pisah! Aku mau bareng sama Papa-Mama terus." Sangkalnya, melipat lengan di depan dada.
"Bentar, biar aku mahamin maksud kamu."
Arumi terdiam sejenak, ia mematikan laptop putihnya. Kemudian, ia menunjuk Renjun lalu dirinya sendiri. "Kita nantinya nikah dan punya anak dia?"
"Nama kamu siapa?"
Bukannya menggubris pertanyaan Arumi, ia justru bertanya pada anak itu yang sekarang ikut duduk di karpet. "Elisé Huang," sahutnya lalu mencomot potongan bolu dari piring di tengah mereka.
"Mana mungkin," kini Arumi bersuara lagi, ia memijit pelipisnya. "Kamu punya bukti?"
"Masalahnya, aku sama Renjun memang jarang akur." Ia berpendapat, lalu Renjun menyetujui dengan anggukan. "Dia dulu yang mulai."
"Heh?!"
"Nah kan? Aku ga ngomong apa-apa dia nyolot."
"Aku punya!" Sekitar mulutnya kotor akan remahan bolu pun diusap jemari Renjun, "Belepotan, cantik."
Agak tersipu, Elisé merona malu. Ia menggeser layar di jamnya, lantas ditekannya dan sebuah reka adegan terputar tampak nyata muncul dari sana. Itu dia dan Arumi, berhadapan di altar dengan pakaian kasual saling memasangkan cincin.
"Hologram ini udah cukup 'kan sebagai bukti?" Tanya Elisé memastikan.
Tetap saja, Arumi dan Renjun masih menganga, tak menyangka mereka memang benar bakal menikah begitu.
"Sekarang, ayo jalan-jalan!"
Pekikan itu justru menimbulkan sahutan dari dalam rumah, "Arum! Itu suara anak siapa?!"
"Gawat! Gimana ini?"
"Elisé ngumpet!"
"Ih, norak, aku bisa menghilang kok." Ia memamerkan deretan giginya, digesernya lagi layar jam, detik berikutnya ia lenyap. Disusul derap kaki terburu milik sang ibu, Arumi pun Renjun menegang di tempat.
"Tadi suara siapa?"
"Suara anak tetangga kali, Tante."
Arumi pun menyikut sisi perut Renjun yang asal menjawab, tapi ia mengangguk kecil.
Ibu Arumi yang semula menajamkan pandang pun lega, dikiranya ada pencuri atau keduanya membawa anak orang. "Ya udah, lanjut belajar aja."
"Em, Tante. Kita udah selesai nih. Boleh 'kan ajak Arumi keluar sebentar?"
"Boleh. Asal jangan kemaleman, titip Arumi. Kalau bandel, cubit aja lengannya."
"Ih, ibu!"
Ibunya terkekeh, lalu kembali masuk ke dalam melalui lorong, meninggalkan ruang tamu di mana postur Elisé kembali nampak dan tersenyum girang. Ia agak melompat-lompat, "Yey, jalan-jalan!" Pekiknya kecil, menjaga intonasi bicara.
Sedangkan Renjun dan Arumi menggeleng pusing, anak itu malah memeluk kaki mereka. "Aku sayang keluargaku, banget!"
***
Elisé gemesin bangett 😭
KAMU SEDANG MEMBACA
Rewrite | Huang Renjun [END]
Fanfiction[semi-local] "Oh, jadi masa muda Mama sama Papa kayak gini? Pantes cekcok terus di rumah." ©ravalyne, 2021