Demi Tuhan! Jaemin lupa kalender di tahun 2020 dan sekarang berbeda. Saat ini sudah hari Selasa, di mana sama saja Alisé membolos sehari dari sekolahnya. Pasti sebentar lagi bakal ada pesan masuk hologram ke ponselnya.
Dari siapa lagi kalau bukan ... "JAEMIN! ANAKKU KAMU BAWA KEMANA SAMPAI SENIN DIA BOLOS?!"
... orang tuanya.
"IYA, BAWA PULANG SEKARANG ATAU AKU LAPORIN KAMU KE BADAN PENELITIAN KARENA JAM TANGAN MODERN BUATANMU ILEGAL?!"
Ah, sudahlah. Kubur saja Jaemin dalam-dalam daripada kena semprot omelan dua orang tua yang suka cekcok ini. "I-iya! Nanti malam kubawa pulang kok!" Buru-buru ia matikan jam di lengannya
Biarkan dia tenang dan memantau penggunaan jam tangan yang dikenakan Elisé sekarang ini. Ia pun mencoba memberi sinyal berupa peringatan bahwa waktunya tinggal sebentar. Ia hanya tak ingin sesuatu yang buruk terjadi apabila dalam waktu setengah jam ini anak perempuan itu tak kembali.
Ia masih belum yakin sistemnya bekerja dengan aman untuk tenggat waktu yang tinggal sebentar. Daya tahan jam itu masih dipertanyakan sekalipun percobaannya sudah termasuk berhasil.
21 Februari 2020
Sementara di ruang tamu, berdirilah Renjun yang barusan mandi, melihat Arumi yang tertidur tenang di sofa. Niat hati mau membangunkan, Elisé menghampirinya seusai meminum air di dapur.
"Papa," panggilanya. Renjun pun berbalik, mengajak Elisé untuk kembali ke dapur agar tak mengganggu tidur Arumi. "Apa?"
"Aku harus pulang sekarang," ujarnya.
"Bentar Arumi belum bangun, biar kubangunin."
Ia mencekal lengannya, "Ga usah. Kasihan Mama, waktuku tinggal sebentar," jemarinya bermain di pangkuan, ia menunduk.
Mengucap salam perpisahan ternyata sesulit ini ya?
Padahal hanya perlu memberinya kata, sampai bertemu lagi di masa depan, tapi sakit sekali sekadar dikatakan. "Papa, aku mau tanya satu hal."
Renjun menautkan kedua alisnya. Penasaran, "Apa, Elisé?" Ia bertanya. "Papa, serius 'kan sama pesan yang tadi pagi buat Mama di masa depan?"
Ia tersenyum kecil, mengusak kepala Elisé gemas. Sebelum menjawab, ia menarik dagu anaknya menghadapnya. "Kapan Papa bohong?"
"Pernah! Papa bohong mau beliin aku kado di hari ulang tahunku kemarin," ia mebuang muka. Tapi lagi-lagi Renjun menarik dagunya, "Kali ini Papa ga bohong," katanya meyakinkan.
Kedua netranya memandang wajah Elisé yang makin menggemaskan. "Papa sayang sama Mama, seperti Papa sayang kamu, Elisé."
Seketika Elisé menitikkan air mata dari pelupuknya, ia memeluk sang ayah erat, jam di tangannya berwarna merah, menandakan tubuhnya bakal menghilang dalam beberapa detik saja. "Elisé sayang Papa, Mama juga."
"Janji ya, kalian bakal akur?"
Tanpa ragu, Renjun mengangguk, ia menautkan kelingking mereka dan tubuh anak gadis ini perlahan melebur dari hadapannya.
"Elisé ..."
Ia menoleh, mendapati Arumi dengan kedua netra yang berkaca-kaca, kedua kakinya bergetar. "Kenapa ga bangunin aku dulu?! Aku mau bilang sesuatu sama Elisé, Njun!"
Isaknya bersahutan, buru-buru ia susul Arumi yang bergetar hebat, "Maaf ... tadi aku ga tega."
Ia merengkuh tubuh Arumi, memeluknya seraya membelai surainya turun, "Memang kamu mau bilang apa?" Mengesampingkan kegugupannya akan pemikiran, 'Jangan bilang Arumi dengar kalau aku sayang dia?' Ia berdeham. Mengusir sekali lagi gugup yang mendera.
"Aku juga mau bilang ..."
Isaknya sedikit mereda, ia mendongak. Begitu pula Renjun, "Kalau aku sayang sama Elisé," benar adanya kalau selama Elisé berada di sekitarnya. Ia belum bisa menerima, tapi perasaannya begitu menghangat ketika Elisé menggumamkan lagu kesukaannya.
Arumi yakin itu, ikatan batin antara ibu dan anak, seperti ia dan ibunya. "Papanya ga disayang?"
Sontak ia mencoba mendorong tubuh Renjun darinya, tapi justru dieratkan kembali oleh lelaki ini. "Kamu tadi ga dengar? Aku sayang Elisé dan Mamanya," ia menggoda, menimbulkan semburat kemerahan di kedua pipi sang gadis.
Sekaligus menanggung malu di kemudian hari, tapi sudah terlanjur ia ungkap.
"Tadi siang udah sepakat cuma akur!" Elaknya masih mendorong dada Renjun agar menjauh dan melepasnya.
Renjun menenggelamkan kepalanya ke bahu Arumi. Ia mendekatkan bibirnya ke daun telinga Arumi, berbisik. "Tapi mauku lebih dari akur," ia buru-buru melepas pelukan dan bersiap.
Ia berlarian usai Arumi mengejarnya, "Sini! Aku cubit dulu biar tahu rasa!"
"Kejar dulu, wlee!"
Renjun memang definisi tengil selain Jaemin dan Sanha di kelas. Ia bisa-bisa punya riwayat darah tinggi kalau begini jadinya.
Baru juga siang tadi berjanji mau akur, nyatanya masih kekanakan pula. Dasar remaja dimabuk asmara.
***
cut! sekian dan sampai jumpa esok ^_^
KAMU SEDANG MEMBACA
Rewrite | Huang Renjun [END]
Fiksi Penggemar[semi-local] "Oh, jadi masa muda Mama sama Papa kayak gini? Pantes cekcok terus di rumah." ©ravalyne, 2021