c| Pagi Minggu

6 2 0
                                    

Sinar mentari menyusup masuk dari celah tirai jendela kamar. Ia mengusap permukaan samping kasurnya yang tak datar justru memiliki lekuk yangー"RENJUN!""

"Apa sih? Masih pagi jangan berisik," ia menjawab, meraih lengan Arumi dari leher ke samping mukanya, dijadikannya alas untuk tidur. "Lepas!"

"Tidur, jangan berisik."

"Tapi sekolahー

ーini hari minggu." Ah, ia lupa hari, didapatnya ruang di antara mereka, oh ya! Dimana Elisé? Bukannya anak itu yang minta ditemani tidur? Kenapa malah hilang pagi begini?

"Elisé dimana?"

"Dia mau nonton kartun, katanya."

"Oh y-ya udah."

Arum menggulirkan pandang pada tirai di belakang sana, yang bergerak mengikuti hembusan angin sebab jendela agak terbuka. Cahaya matahari menelusup masuk di sela, "Masa iya, di masa depan kita tidur berdua gini?" Lirihnya. Masih tak percaya dengan penuturan Elisé, tapi biasanya anak kecil berkata jujur.

Lantas, ia merasakan tarikan pada selimut di punggungnya, "Mama," ia memanggil dengan pelan. "Hm?" Dehamnya agak sulit menoleh karena tangannya. Perlahan ia menarik tangannya, lalu beranjak dari kasur dan mengikuti Elisé yang ingin makan. Sampai di dapur, "Bentar, aku lihat dulu di sini ada apa aja."

Yah, kemampuannya memasak juga lumayan, setelah ia tahu ada makanan beku, instan ramen, juga sedikit sayuran, "Aku mau makan sayur, apa aja suka!" Tangannya terangkat, girang sekali ketika Arum mulai menyiapkan bahan.

"Elisé," panggilnya saat memotong bawang, "Apa, Ma?"

"Di masa depan ... aku jarang masak buat kamu ya?"

"Iya!" Ia menyahut dengan semangat seolah sangat setuju dengan pertanyaan itu. Sejenak ia meringis, "Jadi, benar ya, kamu datang ke masa ini buat memperbaiki semuanya?"

"Iya! Aku mau Mama sama Papa jadi akur, jangan berantem lagi, jangan cekcok lagi." Terdengar nada bicaranya penuh harap, serius, dan yakin.

Ia mulai memasak, sesekali didengarnya gumaman Elisé yang bersenandung akan lagu yang ternyata, "Kamu tahu?"lagu kesukaannya.

"Mama suka nyanyi lagu ini tiap antar aku ke sekolah," ia berkata, lalu disediakannya piring, tepatnya tiga juga untuk Renjun. Tak lama beberapa hasil masakannya diletakkan di meja. Dilengkapi jus jeruk kemasan ke dalam tiga gelas.

Didengarnya lagi isak dari Elisé, Arum yang  mendengarnya pun menghampiri, "Kok nangis, kenapa?" Dibelainya surai gadis itu halus, "Aku merasa berhasil," lirihnya kecil.

Kedua tangannya mengusap pipinya yang mulai basah, "Sst, ga usah nangis lagi ya. Harusnya seneng kalau berhasil?" Arumi ikut tergerak mengusap kedua bahu Elisé.

"Nanti malam aku pulang ... ke masa depan."

"Hah?!" Itu suara Renjun yang barusan bangun, baru saja menapaki ruang makan, mukanya masih setengah sadar, tapi sudah mendengar penuturan Elisé.

Renjun mendesah kecewa, "Cuma dua hari?" Kini, ia ikut duduk di sana, di tempat ayahnya biasa makan, lalu Arumi di tempat ibunya. Ah, sudah persis seperti keluarga pada umumnya.

"Besok aku sekolah. Nanti aku dimarahi Om Jaemin kalau ga pulang."

"Aku baru sadar kamu panggil Jaemin itu Om," kekehnya mengelus tangan anaknya, diminumnya jus itu. "Papa, ada pesan?"

"Atau Mama mungkin?"

"Aku ada," celetuk Arumi, "Nanti aku tulis dulu ya?"

Hal itu justru ditertawakan oleh Elisé sampai tersedak, "Minum nih, makanya makan dulu baru ketawa," sarannya menyodorkan gelas jusnya. "Mama lucu sih."

Ia mengusap mulutnya dengan tangan, "Aku bawa jam modern juga bisa rekam video kok."

Arumi membulatkan mata, "Malu!" Elaknya lalu meletakkan garpu. "Ih, biarin! Mama di masa depan biar bisa aku ejek," tak lama lengan Arum sudah terjulur untuk menjitak kepala anak itu.

Renjun menepis, mengisyaratkan untuk tidak berlaku kasar pada anak kecil terlebih anak mereka sendiri. "Ya udah nanti gantian. Aku dulu aja, ya?"

"Sekarang? Di?"

"Iya, di kamar aja, ayo." Ia mengangkat tubuh Elisé, menggendongnya. "Nanti biar aku aja yang bersihin, tolong taruh di bak ya."

"Iya."

Seperginya mereka berdua, ia membuang sisa makanan di plastik khusus. Lalu, menumpuk piring-piring juga gelas. Selagi menungguーRenjun dan Elisé, ia berjalan-jalan menyusuri ruang tengah, dimana beberapa figura berjajaran menempel di dinding. Berkembangnya tubuh Renjun hingga sekarang begitu drastis.

Kedua orangtuanya juga terlihat senang memilik anak lelakinya, "Pantes dia suka rusuh. Sendirian di rumah emang ga enak."

Dia juga anak tunggal, tapi kakak sepupunya mau perempuan atau lelaki dari saudara ibu suka berdatangan ketika sempat. Renjun pernah bercerita, makanya ia tahu cukup banyak.

"Mama!"

Dengan girang gadis itu berlarian menyusulnya, tersenyum penuh arti dan memeluknya. Pun Renjun yang berlari menghampiri mereka, menghentikan Elisé sebelum mengungkap pesannya tadi. "Elisé jangan!"

"Siapa juga yang mau bilang itu? Aku cuma seneng aja," sangkalnya kemudian bersembunyi di balik kedua kaki Arum. "Apa sih?" Ia melipat lengan di depan dada.

"Kepo!" Sahut Renjun meledek.

Lantas ia membuang muka, "Cuci piring sana." Atensinya beralih, mengarah pada bak cucian, "Iya ini mau dicuci, dasar cewek," dengkus Renjun menghentakkan kedua kakinya.

Tak lama Elisé menarik lengan sang Mama, "Mau bikin video sekarang, Ma?"

Ia mengusap dagu, menimang, lalu mengangguk. "Ayo," ajaknya ke kamar pula. Setelah memastikan pintu terkunci, ia duduk di ujung kasur, lalu tersenyum saat diberi kode bahwa Elisé sudah mulai merekam dengan jamnya.

"Halo, Jung Arumi ...."


***


Selesaiii, tapi boong, hehehehe

Rewrite | Huang Renjun [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang