Usai agenda membuat pesan hologram untuk orang tuanya di masa depan. Ia meminta keduanya menemani untuk menonton film kartun yang tayang di televisi sejak pagi sampai siang ini. Hingga ia tertidur karena terlalu nyaman berada di tengah kedua orang tuanya.
Sementara itu, Renjun agak lelah juga dijadikan sandaran oleh Elisé, "Biar aku pindahin ke kamar sini," baru juga lengannya terulur ke tubuh gadis itu. Renjun menahan, "Gapapa, biarin gini. Nanti dia kebangun," ia melipat bibir ke dalam, mengangguk paham.
Renjun mengganti tayangan ke drama lokal yang terputar. "Kirain kamu ga suka drama," komentar pelan Arum memperhatikan televisi.
"Belajar dari drama juga perlu, walaupun adegannya kadang berlebihan," kekehan Arum buatnya menoleh. "Kok ketawa?"
Ia menggeleng saja, lalu berujar, "Geli rasanya denger kamu bijak gini." Ia masih memperhatikan adegan di layar, tak lama didapatnya genggaman pada tangan kirinya yang langsung dipandangnya bingung.
"Arum, gimana kalau ..." ia menggantungkan ucap, gadis ini pun menoleh, memandang rahang tegang serta pipi berisi miliknya. "Kita bikin kenyataan harapan Elisé?"
Ketika Renjun memandangnya balik, mengulas senyum kecil usai kalimat tanyanya terlontar, ia gelagapan. Kembali melihat layar, tapi tatapannya kosong. Bergantikan asumsi-asumsi tak enak kalau saja ia setuju dengan pernyataan Renjun.
Lelaki itu sendiri tengah mengamati dagu Arumi, lalu naik ke bibir yang kemarin ia kecup secara tak sengaja, naik lagi ke hidungnya yang mungil lalu kedua bulu matanya yang cukup cantik, entah kenapa parasnya semalaman ini mengusiknya. Ia nyaris tak bisa tidur hanya dengan satu ranjang bersama perempuan yang suka diusilinya itu.
Ia pun tengah memastikan apa hatinya memang menyukai paras itu atau karakter gadis itu atau malah hanya perasaan sesaat dan berakhir berbeda dari apa yang Elisé katakan di masa yang akan datang.
Elisé menggerakan kepalanya di dada Renjun, membenamkan lebih dalam dan menumpu kedua tangannya di depan muka. Itu buatnya melirik tenang juga senang, antara bersyukur bisa mengenal anak yang belum pernah ia bayangkan menjadi anaknya.
Kalau diamati lagi, kedua matanya mirip milik Arumi, sedangkan pahatan hidungnya sama sepertinya.
"Aku ga tahu gimana ke depannya, tapi kenapa ngga kita coba?"
Lagi, suara Renjun mengusik benaknya. Ia hanya belum bisa menerima pria manapun selain sepupunya, ia masih kecewa pada sang ayah yang entah pergi kemana meninggalkan keluarga kecil mereka.
Ia usap jemari Arum, memberikan ketenangan serta nyaman yang seketika menggelitikinya. Dia meringis memandang tangannya diberi usapan lagi, "Mama, Papa." Mereka kira semula anak ini terbangun dan memanggil.
Ternyata hanya mengigau, helaan lega Arumi didengarnya, sedang ia terkekeh melihat Elisé sangat menikmati tidurnya. Memangku gadis ini memang lumayan berat, tapi melihat ia begitu nyenyak dalam tidur, rasanya iba ketika tahu ia bertambah umur malah dihadiahi cekcok orang tua.
Ia rasa, merubah kebiasaan harus dimulai dari sekarang.
"Walaupun bukan dengan menjalin hubungan, aku mau akur sama kamu, demi Elisé."
"Ya udah, aku juga capek adu argumen melulu."
Senyum kecil di rupa Renjun buat Arumi menautkan alis, ia heran, tapi tak terlalu memikirkan. Sedangkan dalam hati Renjun, ia merasa senang luar biasa. Seolah kupu-kupu beterbangan di dalam sana. "Arum, aku juga mau tidur. Terserah kamu mau nonton apa," sahutnya menutup mata, menyamankan kepala pada sofa.
"Nanti kepala kamu sakit kalo tidur gitu, ke kamar sana."
Gelengan Renjun buatnya berdecak, menyerah akan keras kepalanya. Ia meraih remote TV dan mengganti ke acara musik akustik yang suka didengarnya. "Kamu udah tidur?"
Ia melirik sekilas kedua matanya yang terpejam. Ia menghela lega. "Sebenarnya, aku masih takut buat terikat dalam hubungan."
Arumi merasakan tangan Renjun mengendurkan genggaman, menandakan ia sudah terlelap. Tapi Arumi meraihnya lagi, mengusapnya. "Aku jadi ingat ayah yang ga tau kemana hilangnya, lupa sama keluarganya sendiri gitu." Ungkapnya lagi.
Ia sedang menceritakan sisinya yang belum pernah ditunjukkan pada lelaki lain. "Lihat kamu yang usil juga bikin rasa kecewaku sama ayah keluar lagi, aku marah."
Setitik air menetes di pipinya, padahal sudah ditahan habis-habisan. Nyatanya, Arumi tetap saja lemah. "Maaf, kalau aku malah marah-marah ke kamu. Aku bakal berterima kasih kalau kamu mau akur mulai sekarang, seengganya emosiku ga bakal terpancing."
Sekali lagi, ia menghela lega. Lumayan tenang telah mengungkap apa yang dipendamnya barusan, sedari tadi mendengar Renjun bicara, ia selalu ingin menyangkal, tapi urung akan keberadaan Elisé.
Diam-diam, baik Elisé maupun Renjun, keduanya menyimpan senyum penuh kemenangan. Dimana Renjun bisa mendengar keluhan Arumi sehingga merasa lebih berguna sebagai temannya, sedangkan Elisé sudah berhasil dengan upaya kecilnya mengajak kedua orang tuanya akur di masa lalu.
Meski sedih harus berpisah malam nanti, yah mau bagaimana lagi... daya tahan jam ini sangat sebentar, terpaksa. Ia harus pulang.
***
hehe, dua kali update deh. Soalnya comeback show tadi seru dan menuju habisnya Ramadhan :')
KAMU SEDANG MEMBACA
Rewrite | Huang Renjun [END]
Fanfiction[semi-local] "Oh, jadi masa muda Mama sama Papa kayak gini? Pantes cekcok terus di rumah." ©ravalyne, 2021