fatal

25 3 0
                                    

Aku tengah melukis, ketika akhirnya kusadari bahwa kuasku kehabisan warna untuk menjelaskan separah apa kerusakan yang ada disana.

Ketika aku melayangkan pandang, nampaklah jelas bahwa mendung bergelayut pada langit-langit raga.
Garis-garis melengkung terlintang sini-sana, satu saja tak cukup rasanya.

Nampaklah bagiku empedu tumpah hingga menghitam seluruh yang dikenainya.
Sementara aku terjebak olehnya,
Kamu malah menghujaniku dengan asam cuka.

Berhentilah demikian. Sebab darah mu terlampau banyak hingga amis kemana-mana. Bukankah kau lebih pantas menyiram dirimu sendiri dengan asam itu?

Lihatlah kemari! Adakah kau temukan barang sedikit jua luka membujur?

Bukankah nampak jelas bagimu bahwa lebam bahkan telah lama menghilang?

Tentu saja aku telah mencicil hari demi hari untuk membayar segala perih yang pernah kau hutangkan pada rasa.

Cukup perihnya. Kini aku tidak lagi mau bertanggung jawab untuk itu.

Aku tak ingin pergi, lantas kamu silahkan beranjak!

Tak perlu membiru begitu lantas menyalahkan aku, sebab aku pun tak pernah sekalipun melempar semua tumpukan salah yang kau limpahkan di depanku.

Sudahlah...

huruf-huruf enggan bercerita tentangmu lagi,

Entah dusta atau kebenaran, bait bilang kau tak layak ditampar sarkasme,

Sebab kemarin litotes telah ditenggelamkannya.

Satu-satunya yang tersisa berdiri menahan aksara agar tak menelanmu hidup-hidup adalah pena.

Lantas cepat pergilah!

Pergi yang jauh sebelum majas-majas menjadi semakin liar dan menerkam mu tanpa ampun!

Atau tak taukah kamu bahwa mengutak-atik puisi menjadi elegi adalah sebuah kesalahan fatal?

TacendaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang