22. Akhir Cerita Kita

1.2K 131 93
                                    

Happy Reading.









"Salsha dimana?" Iqbaal datang dengan peluh membasahi wajahnya. Kemejanya basah. Rambutnya lepek dan wajahnya menampakkan rautan super gusar.

"Dia ada di dalam, Love," Steffi menjawab. Diraihnya lengan si suami dan bergerak menenangkan detakan jantung yang begemuruh dari Iqbaal. Napas lelaki itu terengah dan Steffi dibuat salah fokus akibatnya.

"Seperhatian ini kamu sama dia?" Katanya membatin. Mata wanita itu memperhatikan Iqbaal yang begitu was-was. Ada separuh hati Steffi yang tak rela. Sebuah perasaan iri dan sakit hati. Apa Iqbaal sudah jatuh pada pesona Salsha? Apa suami ini benar-benar mencintai wanita itu?

Iqbaal duduk di kursi putih depan ruang operasi. Meski rasanya dia ingin masuk dan mendobrak pintu itu, kewarasannya masih cukup mengusai untuk tak melakukan tindakan bodoh tersebut.

Cklek. Pintu ruangan terbuka dan seorang dokter cantik yang memang menjadi dokter pribadi Salsha selama hamil itu keluar menemuinya. Iqbaal langsung berdiri dengan sigap.

"Saya boleh masuk, Dok?"

Dokter cantik bermasker itu menggeleng, "Tuan perlu menandatangani surat persetujuan untuk dijalankannya operasi. Karna kondisi yang tak memungkinkan dari si Ibu, maka saya perlu melakukan operasi untuk kelahiran si janin."

"Istri saya nggak apa-apa, kan, Dok?"

Istri saya. Kata tersebut sedikit mengusik dada Steffi. Jantungnya seakan diremat tanpa alasan. Dia tak tahu mengapa ia sesakit ini. Sebutan itu membuat Iqbaal seolah mengakui Salsha dihadapan publik. Ini menyakitkan baginya.

Steffi memandang Iqbaal yang bersikukuh hendak masuk ke dalam ruangan operasi. Namun si dokter cantik melarang. Akhirnya Iqbaal hanya mampu berdiam diri dengan Steffi yang ada di sampingnya.



***



Salsha menahan napasnya. Wajahnya basah akan peluh yang terus mengucur di dahinya. Tangannya mencengkram pinggiran ranjang.

"Dokter...," Dokter cantik yang tengah memasang sarung tangannya itu mendekat ke arah pasiennya.

"Iya Nona?"

Tangan Salsha meremas pergelangan si dokter. Air matanya menetes membuat dokter muda di depannya merasa iba.

"Apa nggak sebaiknya—"

"Saya mohon. Saya mohon..." Salsha memelas penuh perasaan. Wanita itu tak bisa melakukan hal apapun kecuali meminta belas kasihan dari si dokter.

Dia sadar. Langkahnya mungkin salah. Apa yang dia lakukan bukanlah hal yang benar tapi demi apapun Salsha tak rela jika harus berpisah dengan bayinya. Dia tak bisa jika harus membiarkan bayinya tumbuh besar dengan Iqbaal seutuhnya. Salsha tak perduli jika nanti bayinya akan sengsara hidup dengannya, dia yakin ia mampu menghidupi anaknya. Salsha yakin ia bisa.

"Saya mohon..." Air mata Salsha membuat dokter muda itu menarik napas. Ia juga perempuan dan rasanya mendengar segala cerita yang Salsha katakan, dia tak kuasa untuk membiarkan wanita ini jauh lebih sengsara.

"Baiklah...," kata si dokter pada akhirnya.

Salsha tersenyum bahagia. Dia mengucap kata terimakasih tanpa suara dan perjuangan bagi seorang ibu akan dimulai dari sekarang.



***



Nyonya Renata menyusuri lorong rumah sakit dengan Rebecca di sampingnya.

A Half-HeartedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang