3 : Sebuah Amanah dari Ayah

893 109 26
                                    

Happy Reading.





Bagi Salsha, mendapatkan izin dari Pak Adam adalah hal yang paling susah setelah mengerjakan soal dengan rumus aljabar saat SMA. Ia harus membuat surat dokter atau penjelasan logis yang masuk di akal. Ia mengipasi lehernya yang tertutup hijab dengan tangan. Teriknya sinar yang menyengat kota pahlawan ini sukses membuat ia mengeluh kepanasan di suhu 33 derajat.

Setelah sampai di kamar kos di antar oleh ojek, ia bergegas masuk untuk membaringkan tubuh di bawah kipas angin. Baru tiga menit menutup mata sebuah panggilan masuk ke ponselnya.

Salsha merutuk, namun tetap mengambil ponselnya. Ia berkerut tatkala melihat deretan nomer tak dikenal di layar, menimbang apakah ia harus mengangkat panggilan ini? Karna terlalu lama, panggilan itu berakhir. Salsha mengangkat bahu acuh hendak meletakkan ponsel sebelum panggilan itu kembali masuk. Tanpa pikir panjang lagi, dia mengangkat panggilan tersebut.

"Saya sudah nunggu di depan kos kamu dari tadi."

Tut. Tut. Tut.

Keningnya berkerut. Orang ini sedang salah sambung? Meski awalnya ragu dan setengah malas, ia tetap berjalan keluar kamar kos.

Mobil putih menyilaukan mata itu parkir di depan pagar depan kos. Salsha mengerjap ketika ia baru sadar jika pemiliknya membuka kaca dengan pandangan super dingin ke arahnya. Ya Tuhan... kenapa jantungnya bergetar heboh?

Ponsel Salsha berdering tanda panggilan masuk dari nomor tadi. Tanpa menunggu lama dia masuk kembali ke kamar kos, mengambil tas yang telah dia kemas kemarin.


***



"Jadi kamu pulang ke Malang sebulan sekali doang?"

Salsha mengangguk canggung, "Iya Mbak."

Steffi membulatkan bibirnya, bergumam nada ohh. "Kenapa gak kerja di Malang aja? Emang merantau ke Surabaya gak malah ngabisin duit ya?"

"Mmm... pengen nyari suasana aja Mbak, yang baru gitu." Salsha berharap ini adalah jawaban terakhir dari pertanyaan Steffi karna demi apapun matanya begitu berat untuk terbuka.

Padahal mereka baru saja masuk ke dalam tol dan rasanya mata Salsha tak bisa dibuka lebih lama. Parahnya, wanita di depannya ini tak berhenti memborbardir dirinya dengan pertanyaan-pertanyaan sejak tadi.

"Kamu udah bilang sama Beby kalo akhir bulan kosongin jadwal?" Suara Iqbaal yang lama diam itu akhirnya terdengar.

"Emang ada apa?" Steffi mengubah posisi duduknya, "oh iya! Nemenin kamu ke Bali!" Wanita itu menepuk dahinya keras.

"Gak sakit, hmm?" Sebelah tangan lelaki itu mengusap dahi istrinya.

"Sakit..."

Iqbaal menarik hidung Steffi dengan pelan. Salsha bertaruh Iqbaal tak akan bisa menyakiti wanita itu. Salsha membuang pandangan ke samping, pada akhirnya ia memilih untuk menutup mata mengabaikan pasangan suami istri di depannya.

***


Sesuai dugaan Salsha, kedatangan mereka disambut dengan tatapan heran dari para tetangganya. Salsha memilih mengabaikan dan mengajak masuk kedua tamunya untuk menemui kedua orang tuanya yang juga sama kagetnya.

Salsha yang dikenal tak pernah membawa teman laki-laki ke rumah kini keluar dengan percaya diri dari mobil mewah.

"Duduk dulu, Mas, Mbak, maaf rumah saya memang begini adanya," kata Salsha merendah mempersilahkan Iqbaal dan Steffi duduk di kursi kayu ruang tamu.

A Half-HeartedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang