Part 1

25 0 0
                                    

"Green tea latte"

aku hanya mendongak sambil tersenyum.

"masih betah sendiri?" aku tersenyum getir, memalingkan pandangan pada jendela luar dengan pemandangan gedung pencakar langit diselimuti indahnya lampu yang satu-persatu menyala seperti titik api.

"ya... mas kan tau" aku tertawa.

"Ra,"

"nggak mau nyari gandengan lagi?"

aku meraih tangan Mas Dion dengan cepat.

"nih gandeng Mas Dion aja, Mas Dion mau ga aku gandeng?" dengan tangkas Mas Dion menampar pipiku pelan.

"sontoloyo" aku tertawa pelan.

"udah ih, sana kerja"

Mas Dion melangkahkan kakinya menuju meja kerja.

Sudah hampir 2 tahun aku kenal Mas Dion. Laki laki yang bertemu denganku di rooftop kantor sore itu. Berarti sudah 2 tahun juga aku memilih sendiri. Sudah lebih dari puluhan kali Mas Dion selalu bertanya padaku tentang gandengan baruku. Bahkan aku di kenalkan dengan beberapa rekan kerjanya atau clientnya yang masih muda dan tampan.

Singkat saja, Mas Dion lebih tua 5 th dari aku, dia adalah akuntan ternama di Jakarta. Sementara aku, seorang dokter umum yang setiap paginya bekerja di sebuah RSUD dan setiap sore, praktek di Plaza Office Tower. Saat itu, Aku yang sedang memiliki banyak masalah hanya ingin sendiri menuju rooftop dengan memegang secangkir Greentea Latte sembari menikmati senja. Mas Dion tiba-tiba datang Dan menawarkan untuk menjadi pendengarku satu satunya kala itu. Kami bakan tidak saling mengenal sebelum kami bertemu di balkon. Kantorku berada di lantai 5, sementara kantor Mas Dion di lantai 15. 

Semenjak hari itu kita sering jalan diluar jam kantor. Kita bertukar cerita tentang apa yang terjadi hari itu. Aku dan Mas Dion sudah saling kenal satu sama lain, bahkan beberapa kali dia mengajakku untuk dinner bareng keluarga dan kakak-kakak iparnya. Setiap 2 minggu sekali, Mas Dion menyempatkan waktu untuk mengajakku jalan. Katanya sebagai reward aku sudah bekerja keras. Lucu ya, begitulah Mas Dion. Dia tipikal orang yang cukup ramah, stylish atau bahkan bisa disebut sebagai pria idaman karena tubuhnya yg tinggi tegap. Aku suka segala hal yang melekat pada dirinya.

"Ra?"

aku yang berdiri di depan jendela menoleh ke arah suara Mas Dion.

"kenapa Mas?" tanyaku.

"weekend ini mau jalan kemana?" aku diam sambil menerawang.

"dinner yuk, tapi gamau di KFC atau McD ya"

Mas Dion tertawa mendengar jawabanku.

"ya kalau ke sana kan bukan dinner mas, kita numpang makan namanya" Mas Dion mendekat sambil mengusap puncak kepalaku.

"yaudah nanti mas reserve tempat ya" 

"Mas, masih lama ya ? udah jam setengah delapan malem mas, pulang yuk" ajakku.

"sebentar Ra, Mas selesain dulu ya. gapapa kan?"


Sabtu, 14 September

Dering telfonku berbunyi sangat nyaring

"halo? mas?" jawabku pada suara di sebrang sana. "iya tunggu sebentar" 

aku beregas turun menuju base parking area apartment ku. Setelah aku masuk, Mas Dion melajukan mobilnya meninggalkan parking area.

"macet banget mas" Mas Dion hanya tertawa.

"sebentar lagi sampai," aku kembali memfokuskan pandanganku pada layar handphone sembari mengajak Mas Dion berbincang tipis.

"yuk, kita naik ke lantai 2"

Mas Dion membawaku ke sebuah restaurant bernuansa Bali. Aku diam memandang wajah Mas Dion lekat.

"kenapa ngeliat gitu?"

"culik Ara ke Bali Mas, gamau tau" rengekku. Lagi lagi Mas Dion hanya tertawa.

"harus banget ya Mas nurutin rengekan rengekan kamu"

aku hanya tersenyum dengan polosnya.

Sengaja Mas Dion memilihkan tempat pojokan dekat dengan jendela, katanya biar ngobrol kita ngga keganggu. Setiap kali kita dinner atau makan dimanapun, dia selalu memilih tempat yang jauh dari lalu lalang orang lewat.

"Ra" panggilnya.

"Hmm" gumamku sembari mengunyah sepotong Red Velvet.

"kalau Mas nikah, nanti Ara sama siapa?"

aku hanya diam, memalingkan perhatian Mas Dion dengan tetap mengunyah cake-ku dengan santai.

"Ara" aku masih menghiraukannya.

"lihat mata Mas, Ra"

aku letakkan garpu di piring dengan hati-hati, aku tersenyum getir melihat kedua bola mata Mas Dion lebih dalam dari biasanya.

"kalau Mas nikah, nanti Ara sendiri" jawabku santai.

"Ara gamau cari pasangan?" 

setiap kali ia bertanya hal itu, seperti ada yang menusuk dadaku secara halus, sakitnya begitu terasa.

"Ara belum siap, Mas"

"mau sampai kapan?" aku hanya mengangkat kedua bahuku bersamaan dengan ekspresi wajah yang menunjukkan ketidak tahuanku.

"Mas sayang sama Ara, Mas gamau Ara ngerasa kesepian"

sumpah, ingin sekali aku berdiri dan langsung memeluknya dengan erat, aku tahan sekuat tenaga agar air mata ku tidak meruah. Tapi aku gagal, aku menundukkan pandanganku agar dia tidak melihatku menangis, sontak saja Mas Dion berdiri dari kursinya kemudian memelukku agar merasa kembali tenang. Pria yang selama 2 tahun ini tidak pernah meninggalkanku sendiri. Apa jadinya jika dia pergi?

"bukankah, kehilangan juga ada masanya? nanti, ketika Ara kehilangan Mas Dion, Ara cuma butuh waktu untuk terbiasa sendiri. Mas boleh pergi ninggalin Ara"

"Mas undurin lagi ya pernikahan Mas"

SebatasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang