Part 4

6 0 0
                                    

"Ternyata bener ya" 

Aku menoleh ke arah Mas Beno, yang notabene pandangannya Masih fokus pada jalan raya.

"Bener, kalau dunia itu sempit" 

aku masih enggan menjawab.

"Ra"

"Maafin saya" 

Lagi, ini permintaan maaf ke-43 yang keluar dari mulutnya, semenjak hari itu.

"Sudah saya maafkan"

"Saya bener-bener bodoh, Ra"

"Mas, saya disini mau kerja. Sepertinya ini bukan waktu yang tepat untuk kita bicara masalah itu"

"Saya tau kamu kecewa"

"Saya jahat, saya bodoh, saya begok. Kenapa waktu itu kamu nggak lemparin saya pisau aja Ra biar saya tau gimana sakitnya kamu"

Aku hanya diam, ingin sekali menangis. Tapi aku rasa sangat percuma. Ingatanku kembali pada malam itu, Malam dimana aku mengamuk besar-besaran untuk pertama kalinya setelah mengetahui dia sering jalan dengan wanita lain di belakangku. Wanita yang tidak jelas asal usulnya, wanita yang dia pilih mati-matian dan membuang aku tanpa sedikitpun merasa bersalah. Aku ingin menangis.

Kami kembali diam, sekarang hatiku seperti sedang berkecamuk tidak karuan. Aku merasa pusing, mual, dan ingin pingsan. Seketika aku menyadari, traumaku memang belum sepenuhnya sembuh.

"Huekkkk"

"Huekkkkkkk"

Aku sudah tidak tahan dengan sesak di dadaku yang sekuat tenaga aku pendam selama 2 tahun belakangan.

"Are you fine?"

Aku memalingkan pandangan pada kaca samping.

"Perihal hari itu, kamu masih trauma. Saya bener-bener jahat, Ra saya jahat" 

Terdengar suaranya sangat lirih. Aku ingin menangis, ingin memeluk dia sekencang mungkin.

Setiba di hotel, Mas Beno segera mengantarkanku ke kamar dan menelfon  pelayannya untuk membuatkan minuman hangat untukku.

Mas Beno masih tidak beranjak. Dia bahkan menata barang-barang dari koperku.

"Mmmmmm... Mas, yang pouch kecil gausah dibuka ya, itu daleman sama pembalut"

Dia hanya mengangguk serasa mengiyakan permintaanku.

*knock knock knock!

"Terimakasih" 

Ujar Mas Beno pada seseorang dibalik pintu.

"Diminum dulu" 

Dia menyodorkan segelas teh hangat kepadaku. Dia mengusap kepalaku dengan lembut.

"Saya keluar dulu ya, selamat istirahat. Kalau Ara butuh sesuatu, telfon Mas ya?"

Seketika aku tarik tubuhnya kencang. Aku peluk dia dengan sangat erat, aku tidak tau apa yang ada di pikiranku. Hal gila macam apa lagi yang di rencanakan otakku. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku luapkan kekesalanku padanya, Aku tetap tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. 

"A..ku, mencintaimu... Hingga detik ini"

Hanya itu yang keluar di sela-sela isakku, suaraku terbata. Dia kembali memelukku dengan sangat erat.

"Maafin saya kalau saya jahat sama kamu"

Aku tidak membalas lagi. Isakku semakin bersegukan, hingga dadaku sulit untuk bernafas. Aku sesak, pusing, tidak tau apa apa. Tidak ada ucapan sepatah katapun dari kami, tubuhku sangat lemas dan aku sandarkan pada tubuh Mas Beno. Aku sudah tidak kuat.

"Ra"

"Ara"

Aku mendengar suara Mas Beno memanggil namaku, tubuhku di goncang dengan sangat pelan, tetapi aku tidak mampu membuka mataku.

***

Aku kembali membuka mataku perlahan, kulihat lampu kamar sudah menyala. Tetapi pandangan mataku terasa semuanya putih dan silau.

"Mas"

Hanya nama itu yang mampu aku panggil saat ini.

"Ara"

"Syukurlah"

Terdengar nada kelegaan keluar dari mulutnya. Dia memelukku ketika posisiku sudah terduduk.

"Aku kenapa?"

"Mas panggil dokter?"

"Iya, kebetulan disini memang ada dokter jaga. Kamu pingsan hampir 4 jam, Kamu kecapekan, istirahat lagi ya" 

Ujarnya sambil melihat jarum infus yang menancap di tanganku.

"Saya nggak akan kemana-mana lagi, saya akan tetap disini"

"Aku nggak papa Mas, kalau Mas ada kerjaan, silahkan pergi"

"Ra"

Dia duduk di samping ranjangku.

"Saya masih mencintai kamu, saya nggak mau berbuat bodoh lagi, saya nggak bisa tenang selama bertaun-tahun ini, bahagia saya ternyata ada di kamu. Saya benar-benar bodoh. Sungguh saya benar-benar berdosa karena telah membuat wanita yang saya cintai bisa seperti ini di depan mata saya. Seseorang yang pernah saya perjuangkan kemudian harus menikmati kebodohan dari kelakuan saya selama bertahun-tahun"

"Mas, sepertinya Ara memang butuh istirahat. Mas boleh pergi"

"Tapi, Ra"

"Ngertiin Ara, Mas"

Aku tidak berani melihat wajahnya, aku tidak berani menatap kedua bola matanya. Aku takut, perasaanku semakin berkecamuk. Aku belum bisa mencerna ucapannya baru saja. Mungkin aku sedang berhalusinasi saja. Aku butuh istirahat.

"Yaudah, Mas pergi dulu ya, Ara telfon Mas kalau ada apa-apa"

Dia mengecup keningku sebelum menghilang di balik pintu.

Aku menatap nanar langit-langit kamarku. Benar-benar tidak tau apa lagi ini. Lelucon apa lagi yang menghantam hatiku dengan cepat. Seperti semua rasa sakit dan trauma itu hilang begitu saja.

Bodoh!

"Seandaikan kemarin kita sama-sama menurunkan ego masing-masing, mungkin kita masih tetap baik-baik aja, Mas"

thankyou for reading this story, 
s

ampai jumpa pada episode selanjutnya-

SebatasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang