Aku melihat kearahnya.
"Renjun?"
Dia mengangguk penuh semangat dan segera menarik kursi. Renjun adalah sahabatku dari kecil, kami besar di satu rumah yang sama. Entah aku harus ceritakan darimana apa maksud dari 'rumah yang sama' Aku harap kalian paham, sehingga aku tak perlu menceritakan masa kecil yang tidak kuinginkan itu.
Cerita aja deh, dikit.
Kami besar di Panti Asuhan, Renjun sudah terlebih dahulu ada disana.
"Nama kamu siapa?"
"Donghyuck"
"Aku Renjun. Kita jadi temen ya?"
"I-iya"
Itu awal kita bertemu. Kami melewati masa kecil dengan indah, meskipun tanpa orang tua. Kalau masa kecil kalian dipenuhi dengan pelukan, kasih sayang, dan cinta, tidak dengan kami. Tapi aku pikir aku dan Renjun ditakdirkan untuk menjadi manusia yang kuat dan bertahan dikala susah.
"Donghyuck, kalo kita pisah gimana? Kamu pasti punya kehidupan kamu sendiri kan?"
"Aku nggak mau pisah"
"Hyuck, kamu nggak percaya takdir Tuhan?"
"Percaya"
"Kalau takdir bilang kita nggak bisa barengan terus gimana?"
"Aku pernah kehilangan papa sama mama, Ren. Mereka orang yang paling aku sayang, apa aku harus kehilangan kamu? Kamu orang yang paling berharga"
"Donghyuck, aku janji kita bakal ketemu lagi. Ketika kamu bahagia dengan keluarga baru, akupun gitu"
"Janji? Apa aku harus percaya? Kamu lupa apa yang pernah kamu bilang? Nggak boleh percaya sama seseorang, suatu saat dia akan buat kecewa. Apa itu bakal terjadi?"
Aku menangis, dibawah pelukan Renjun.
"Aku yakin Tuhan dan alam bakal temuin kita"
Dan sekarang itu terjadi.
Aku meningat semua kejadian itu secara singkat, hingga tak sadar kalau Nana sedang berdiri di sebelahku. Nana melihat kami dengan tatapan bingung.
"Hyuck —
Aku tak berani menatapnya dengan lama. Luka yang terlalu sakit membuatku trauma. Aku kehilangannya, dia yang pergi meninggalkanku sendiri, dengan takdir yang ada. Huang Renjun, aku tidak menginginkannya muncul kembali.
Aku ingin menjadi Haechan yang gembira setiap saat, membuat semua orang tertawa, hidup dalam keceriaan, kebahagian, serta kasih sayang. Bukan Donghyuck dengan masa lalu yang suram, gelap, serta berisi penderitaan. Aku tak mau mengenalkan diriku sebagai Donghyuck, tolong panggil Haechan bukan Donghyuck, tolong.
"Ehm — gue duluan" Tangan Nana hampir merah karena tarikanku. Aku mengajak Nana untuk pindah ke kursi lain. Tujuanku untuk menjauhi Renjun.
Nana masih menatapku bingung "Dia kan Renjun? Kok lo kenal?" Tanyanya.
Pikiranku masih sama. Tidak percaya dengan kenyataan yang ada, seseorang datang kembali ke hidupku dengan kedatangan yang tak kuharapkan. Aku tak mau semua temanku mengetahui siapa Haechan sebelumnya.
"Woi! Kok malah bengong sih?" Ucap Nana yang membuatku kaget.
"Gue duluan ya, nggak nafsu" Aku pergi meninggalkannya sendiri.
─── Bagian Lima
Mark kini tengah duduk di pinggir lapangan sambil menatap Lucas yang sedang mengayunkan kedua tangannya. Mark hanya bisa tertawa dengan tingkah laku temannya yang sedikit tidak mempunyai akhlak.
"Mark, bahasa inggrisnya aku cinta kamu apa"
"I love you"
"LOPYUTUUU"
Ocehan demi ocehan mulai keluar dari mulut teman temannya. Mark masih sibuk dengan tertawa. Tetapi.
Dia melihat seseorang sedikit berlari ke arah kelas.
Dia, Lee Haechan.
Mark menatap Haechan dari jauh. Dengan pipi yang sudah hampir basah karena air mata. Tak kuat menahan rasa penasaran, akhirnya Mark-pun memutuskan untuk mendekati Haechan.
"Hai?" Haechan memalingkan wajahnya.
"Chan?"
Tidak ada jawaban. Sama sekali.
"Mark, gue mau sendiri"
Satu kalimat yang membuat Mark terdiam. Kalau dia bilang mau sendiri, Mark bisa apa selain mengikuti kemauannya? Mark meninggalkan Haechan dengan perasaan yang mengganjal.
─── Bagian Lima
"Main ayunan yuk"
"Nggak mau nanti jatuh"
"Kan jatuhnya kebawah"
Ingatanku selalu berputar. Dipikiranku cuma ada Renjun beserta kenangan yang dia berikan. Dia bukan cinta pertamaku, dia juga bukan sepupuku. Tetapi dia teman seperjuanganku, aku sangat takut dengan apa yang terjadi sebelumnya.
Sampai aku tak sadar bahwa aku sudah sangat terlarut dalam suasana. Kelasku sudah ramai karena pelajaran hampir dimulai. Nana kembali duduk disampingku dengan wajah yang bertanya tanya. Aku menghiraukan semuanya.
"Chan? Lo kenapa?" Tanya Chenle, teman sekelas yang duduk persis didepan aku dan Nana.
Aku menggeleng tak bersuara, kedatangan Renjun membuatku kehilangan mood.
─── Bagian Lima
Setelah bel pulang berbunyi aku langsung memasukan semua buku serta berjalan terlebih dahulu sebelum Nana. Aku malas untuk menceritakan semuanya.
"Haechan?" Itu suara Mark. Yang mungkin sedari tadi mengungguku didepan kelas. Aku menatapnya singkat.
Dia juga membalas tatapan itu, namun kini tangan Mark menggenggam pergelangan tanganku.
"Lepasin" Ucapku dengan ketus. Aku menyukai Mark, terlebih ketika dia memegang tanganku. Tetapi hari ini bukan waktunya, aku terlalu lelah.
Mark melepaskan tangannya, tetapi dia masih menatapku dengan tatapan yang dalam. "Iya gue lepasin, tapi kali ini ikut gue ya? Gue nggak nerima penolakan" Ucap Mark yang terkesan memaksa.
Karena aku malas untuk berbicara dengan siapapun. Aku mengikuti kemauan Mark, tanpa basa basi.
Langkah Mark berhenti didepan tukang somay pinggir jalan. Ia mengajakku untuk duduk. "Pak, somaynya dua porsi"
"Hari ini lo kenapa?" Pertanyaan yang sudah kuduga.
Aku menggeleng, tak mau bercerita.
"Yaudah kalo nggak mau kasih tau sekarang, kasih tau di telfon aja"
"Hah?"
"Minta id-line lo"
"Buat?"
"Buat telfonan, sekalian buat pendekatan juga"
Mark, kau membuatku gila.
─── Bagian Lima
bintangnya jangan lupa!
—🐙💚
KAMU SEDANG MEMBACA
Thank u, Mark.
FanfictionTere Liye pernah bilang : ❝ Ketika melupakanmu sama rumitnya dengan melupakan hujan. Ketika merasa bahagia dan sakit di waktu bersamaan, merasa yakin dan ragu dalam satu hela nafas, merasa senang sekaligus cemas secara serempak. Apakah ini yang dis...