Delapan.

57 10 0
                                    

Dengan perasaan yang bercampur aduk aku menyusuri lorong sekolah dengan sekuat tenaga. Lorong sudah dipenuhi oleh banyak orang yang ingin melihat kejadian itu. Aku melewati mereka semua. Entah perasaan apa yang muncul dalam hatiku sehingga aku berlari secepat ini. 

Ada banyak hal yang ingin aku tanyakan pada diriku sendiri. Salah satunya "Mark itu bukan siapa siapa. Hanya sebatas teman. Kenapa Jeno memberitahuku? Kenapa aku membeku ketika mendengar Mark berkelahi? Kenapa jantungku berdebar secepat ini?" Pikiranku kalut. Yang terpikirkan olehku adalah lelaki itu. Sial. 

Seketika tubuhku membeku lagi. Melihat seorang lelaki yang selalu hangat ketika bersamaku, selalu tersenyum manis saat kami tengah berdua, selalu terlihat ramah dan membuatku nyaman. Kini lelaki itu tengah menunjukan Mark Lee yang sesungguhnya. 

Mark menjatuhkan tangannya kepada lelaki yang ada dihadapannya. Keduanya penuh emosi, wajahnya pun sudah sangat merah. 

"Maju lo, anjing" Ucap lelaki itu

Dengan emosi yang sudah tak terkendali. Mark menghantamnya. 

Apa yang dilakukan teman teman Mark? Apakah mereka diam saja? Apa mereka seakan akan tidak peduli dengan apa yang terjadi kepada salah satu dari mereka? Pikiranku tertuju pada mereka. Kenapa tak ada satupun yang melerai? Apakah ini cocok jadi bahan tontonan? Apakah ini terlihat seru?

"Jen. Lo diem aja liat temen lo kayak gitu? Lo-

"Gue tau, Chan. Tapi Mark nggak peduli. Dia nggak pernah dengerin omongan orang yang ada di sekitarnya kalo dia lagi emosi kayak gini" Jeno berusaha menjelaskan semuanya kepada Haechan yang kini sudah tak tahan. 

Pukulan kembali dijatuhkan kepada Mark Lee. Sudah banyak darah yang mengalir dari wajahnya. 

Terlihat jelek dan bodoh. 

NOTE : Habis ini pov author, ya! Jadi bukan dari pov Haechan lagi. Oke? Happy reading!!

"MARK LEE!" Satu teriakan yang berhasil di keluarkan dari mulutku.

Jeno benar. Lelaki itu menghiraukannya. 

Haechan membuang nafas kasar. Emosi-pun sudah tak dapat ditahan lagi. Dengan emosi yang menyelimuti, Haechan berjalan mendekati dua orang yang masih adu emosi. 

PLAK. 

Mark membeku seketika. Tak ada perlawanan yang dilakukan olehnya. Hanya diam seribu bahasa dan mata yang membulat. "Chan" 

Haechan mengeluarkan smirknya. "Hebat, ya" Setelah menyelesaikan kalimat singkat yang baru saja ia keluarkan. Haechan menarik dirinya sendiri untuk keluar dari kerumunan itu. Mencoba untuk menahan emosinya. 

Semua mata tertuju padanya. Bisik bisik semua orang yang bisa ia dengar, ia tak peduli dengan itu. Ia berlari sejauh mungkin. 

Tanpa Haechan sadari, Mark mengejarnya. Dengan penyesalan yang menyelimuti. 

Mengejar seseorang dengan energi yang menipis itu sulit. Apalagi yang ia kejar itu Lee Haechan. Energi yang Haechan punya itu unlimited alias tidak akan habis. 

"Chan" Mark menghentikan langkahnya. Memegang tangan lelaki yang kini enggan menatapnya. Wajah Haechan sangat merah karena emosi yang mengendalikan dirinya. Haechan kecewa. 

Mark mencoba memandang lelaki itu. "Maaf" Ucapnya. 

Tak ada kalimat yang terlontar dari bibir Haechan. Haechan hanya diam tak bersuara. Bahkan deru nafasnya bisa didengar oleh Mark. Ia butuh waktu sendiri, ia takut. Ia takut kalau ucapan yang akan keluar dari bibirnya akan menyakiti hati Mark. Ia hanya butuh berbicara dengan diri Haechan sendiri. 

"Mark, maaf" Hanya itu yang bisa dikeluarkan oleh seorang Lee Haechan.

Setelah menyelesaikan kalimatnya, ia berjalan menjauhi Mark yang kini tengah terpatung. Mark mengusap wajahnya kasar. Perih. 

─── Delapan. 

Kini Haechan tengah berada di kelasnya. Menunggu bel pulang sekolah berbunyi. Ia hanya membaringkan kepalanya diatas meja. Ia tak ingin mendengarkan siapapun kecuali mendengarkan isi hatinya. 

Sebenarnya ia tak marah dengan Mark. Mungkin hanya kecewa, tidak ada kalimat marah dihatinya. Ia hanya menyesali tindakannya sendiri. Ia lelah. Sangat lelah. 

"Chan. Lo kenapa?" Jaemin mengajak Haechan berbicara meskipun Jaemin tau bahwa lelaki itu tidak akan menjawab pertanyaanya. 

Haechan hanya menggeleng. 

"Yaudah, lo mau beli sempol nggak? Nanti balik bareng gue aja. Gue bawa motor" Ajak Jaemin. 

Lagi lagi jawaban Haechan hanya menggeleng sambil menutupi wajahnya. 

"Chan. Kalo lo marah gara gara Mark berantem, kayaknya marah lo sia-sia, deh. Kalo lo lupa, Mark kan emang tukang cari ribut dan nggak bisa nahan emosinya. Lo kan tau, jangan diem gini dong" 

Haechan masih tidak bersuara, ia tak berniat menjawab semua kalimat yang dilontarkan Jaemin. Diam tanpa ada suara.

Jaemin pasrah, mungkin temannya hanya perlu bernegosiasi dengan dirinya sendiri. Jaemin tidak berhak ikut campur. 

KRINGGGGGGGGGGG. KRINGGGGGGGG. KRINGGGGGGG. 

Bel sekolah berbunyi, menandakan waktu belajar sudah habis. Haechan merapihkan bukunya kemudian berlari keluar kelas. Ia tak ingin berpapasan dengan Mark untuk saat ini. Wajah Haechan datar tidak menampilkan ekspresi apapun. 

─── Delapan

HALO! HAI! APA KABAR KALIAN SEMUA?

oke pertama aku mau bilang makasih buat kalian yang udah nungguin cerita ini. Aku seneng banget ternyata ada respon positif dari tulisanku! Jujur aku nangis ngeliat respon kalian. BENERAN NANGIS AKU NGGAK BOONG!! Setelah aku goshting lamaaaaaa dan aku pikir kayaknya sayang aja nggak sih kalau cerita ini nggak dilanjut??🤔🤔 MAKANYA AKU MUTUSIN BUAT BALIK LAGI. 

jujur komentar dari kalian tuh buat aku senyum senyum sendiri dan bikin semangat buat balik nulis lagi...kalo kalian lagi ngerasa useless, ngerasa "ah kayaknya aku nggak berguna deh" HEI KATA SIAPA!! kalian itu alesan aku senyum tau. Kalian itu berguna, kalian itu moodmaker. banyak orang yang sayang sama kalian termasuk akuu!! jangan lupa senyum. ya!

anyway! jangan lupa vote sama komentar ya! soalnya aku suka bacain. hihi! 

sampai ketemu di part selanjutnya, yaaa!! bye byee!!

[ @.geiozz on twitter]




Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 09, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Thank u, Mark.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang