Dimas
Bisa-bisanya gue salah membaca boundary lines dan lupa memperhatikan ketebalan garis dari layout yang sudah gue buat sehingga membuat maket yang hampir seperempat jadi itu berakhir di tempat sampah dan gue harus memulainya lagi dari awal.
Raina pulang tiga jam yang lalu, gue yang memintanya pulang. Entah kenapa, hari ini Raina gak seperti dia yang biasanya, atau mungkin gue yang sedang tidak baik-baik saja.
Sebelum maketnya berakhir di tempat sampahpun, ada beberapa kali kesalahan yang biasanya tidak gue perbuat saat membuat maket terjadi. Daripada membuat Raina ngerasa nggak enak karena gue yang sedang tidak baik-baik saja, gue memintanya untuk pulang.
"Aku udah buat layout buat tugas kita, jadi tinggal kita buat maketnya" saat itu Raina masih menggunakan tabung gambar hitamnya sebelum gue membelikannya tabung gambar baru berwarna tortilla. Melihat gue yang sedikit kebingungan dia melanjutkan kalimatnya "ah, mungkin kamu lupa nama aku. Aku Raina. Dimas, kan?"
Setelah kejadian di depan ruang Ekstrakulikuler Arsitektur, She wouldn't stop making me smile. Setiap gue ngomong beberapa kalimat ke dia, She have wasted one minute in her life to stare at me.
Gue kembali membanting beberapa bagian dinding yang hampir akan gue tempel, ini kesalahan ketiga gue dalam membuat dinding. Gue banyak nggak fokusnya hari ini.
Mengerjakan maket tepat di depan jendela kamar biasanya jadi satu hal yang paling membuat gue tenang, tapi tidak malam ini. Pukul 22.16 dan lampu kamar seseorang yang tepat berada di depan kamar gue belum juga terlihat menyala, itu berarti pemilik kamar belum masuk ke kamarnya, karena dia akan selalu menyalakan IKEA HOLMO yang berada di samping kanan tempat tidurnya-walaupun sedang tidur sekalipun, dan cahaya warm white-nya akan terlihat jelas dari kamar gue.
Gue nggak tau yang mereka berdua-maksud gue Javi dan Aca, kerjakan dari pagi tadi sampai hampir tengah malam apa. Aca ataupun Javi, dua-duanya tidak ada yang mengubungi gue sama sekali. Gue juga terlalu sibuk dengan banyaknya kesalahan yang gue perbuat hari ini, sehingga niat untuk menanyakan keberadaan mereka tidak gue lakukan sampai sekarang.
Entah motor keberapa yang sudah gue perhatikan dari jendela, saat sebuah motor vespa putih yang sangat gue kenal pemiliknya berhenti di depan rumah Aca. Gue dengan jelas melihat Aca yang rambutnya sudah berubah lagi menjadi hitam menenteng sebuah tas belanjaan dari jendela kamar.
"Aca!" entah sejak kapan gue mulai berlari menuruni tangga rumah gue, mengacuhkan pertanyaan mama dan berakhir di depan rumah sambil memanggil Aca yang sudah hampir menutup pagar rumahnya.
Aca menyimpan dengan kasar tas belanjaanya dan berlari menyebrangi jalan, berniat menghampiri gue dengan senyum yang gue tidak lihat dari tadi pagi tepat saat sebuah motor juga melintas dari arah kanan "CA AWAS!"
"Lo bisa nggak si berhenti ceroboh kayak gitu ca? Lo bukan lagi anak TK yang harus dibilangin kalau nyebrang itu harus liat kanan-kiri, lo udah SMA Tasya. Apa susahnya sih liat dulu keadaan jalan sebelum lo nyebrang kayak tadi?" tangan gue masih mencengkram tangannya dengan kuat, gue melihat wajah Aca yang juga kaget, entah karena dia yang hampir tertabrak sebuah motor atau karena nada bicara gue yang meninggi.
"Maaf, Dim" menunduk adalah salah satu hal yang paling jarang seorang Tasya lakukan, dia akan selalu terlihat percaya diri dalam keadaan apapun.
"Ca, lo tahu kan maaf itu kata yang menurut gue sakral. Lo nggak bisa sembarangan mengucapkan kata maaf kalau lo nggak benar-benar tau kesalahan lo dimana. Karena kalau lo keseringan mengucapkan kata maaf, kata itu bakal kehilangan makna sebenarnya. Kenapa lo minta maaf sama gue?" ucapan gue terdengar sangat marah. Aca tidak menjawab pertanyaan gue dengan muka yang terus menunduk.
![](https://img.wattpad.com/cover/222778004-288-k54924.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
PETRICHOR
Chick-Litkerja bakti menyusun neraka - Tarian Penghancur Raya dari .FEAST