"Cinta itu memang butuh pengorbanan, tak terlalu penting seberapa besarnya. Yang terpenting adalah hati siapa yang ikhlas untuk menerimanya."
. . .
"Steff!"
Steffi terus melangkahkan sang kaki, tak memperdulikan suara yang tengah memanggil namanya walau sesekali sambil berlari untuk menyamai langkahnya.
"Steff." Tahan seseorang tersebut sembari menarik lembut lengan Steffi supaya tidak melangkah lebih jauh lagi.
"Apa?!" sentak Steffi dengan suara yang cukup keras. Otomatis mereka berdua langsung menjadi pusat perhatian beberapa murid yang sedang berlalu lalang tak jauh dari tempat mereka berdiri .
"Steff aku----"
"Aku mau bilang kalo tadi aku ada urusan bentar jadi ga sempat buat jemput kamu? Gitu?" potong Steffi cepat.
"Bukan gitu Steff."
"Terus apa lagi?! Aku capek tau ga dari tadi nunggu kamu? Dan apa, kamu ga dateng kan? Kalau ga bisa nepatin janji kamu tolong jangan janji Baal. Aku paling ga suka dibohongin. Kamu tau itu kan?" Steffi sudah mulai jengah. Memang sejak tadi mood nya sudah hancur saat bangun tidur ditambah Iqbaal yang menghilang entah kemana, dan sekarang apalagi? Dia malah muncul dihadapanya dengan wajah tak berdosa? Sungguh sangat mengagumkan.
Urusan basket, membantu OSIS, menjadi panitia. Steffi benar-benar tidak menyukai semua itu. Bolehkah dia egois untuk saat ini? Egois untuk menghabiskan waktu berdua bersama Iqbaal? Entah sejak kapan dia mulai mencintai Iqbaal. Anehnya sejak melihat wajah Iqbaal, Steffi merasa begitu familiar? Seperti sudah mengenal begitu lama. Padahal mereka kan baru bertemu 1 bulan yang lalu? Steffi bener-bener tidak mengerti.
"Sayang."
Deg
Steffi tidak bisa membohongi perasaanya saat ini. Seperti ada berjuta kupu-kupu yang berterbangan diperutnya. Steffi juga tidak bisa menutupi pipinya yang memerah, dia langsung menundukan wajahnya dan lebih memilih menatap sepasang sepatu hitam milik Iqbaal yang berdiri dihadapanya.
"Masih marah?" tanya Iqbaal lembut sembari menatap Steffi. Dia yakin, Steffi saat ini pasti sedang salting dengan kata yang diucapkanya tadi.
Steffi membalas dengan gelengan kepalanya dan wajah yang masih setia menunduk.
"Mau denger penjelasan aku?" Tanya Iqbaal yang dibalas anggukan kepala oleh Steffi.
"Tapi jangan nunduk gitu dong. Muka aku kan ada disini bukan dibawah." kekeh Iqbaal dengan senyuman ringan.
Steffi dengan perlahan mendongakan wajah cantiknya. Dan langsung menatap wajah Iqbaal yang sangat disukainya itu.
Iqbaal menghembuskan nafasnya ringan. "Tadi malem pak Adi pelatih aku nyuruh siapin semua data anak yang ikut basket, dan kamu tau kan yang ikut basket itu ga sedikit? Aku tetep kabarin kamu buat aku jemput besok. Paginya, waktu aku mau jemput kamu, motor dan helm bahkan udah aku siapin, tinggal berangkat aja, tiba tiba pelatih bilang kalo kumpulin datanya ke panitia pusat. Kamu tau kan jaraknya ga deket? Aku langsung anterin datanya. Aku pikir bakal keburu dan bisa jemput kamu tapi ternyata... Maafin aku ya Steff, maaf udah buat kamu nunggu lama."
Steffi tertegun mendengar penjelasan dari Iqbaal. Bukanya jarak panitia pusat bisa memakan waktu 2 jam dan Iqbaal hanya membutuhkan waktu 30 menit? Kenapa dia menjadi egois? Kenapa tidak ingin mendengar penjelasan Iqbaal dulu malah marah-marah ga jelas kaya anak kecil.
"Kamu ngebut ya naik motornya? Kalau sampai kenapa-napa dijalan nanti gimana? Kamu mau bikin aku khawatir ya?!" tanya Steffi beruntun tanpa jeda.
"Enggak kok. Ga ngebut," balas Iqbaal dengan cengiran khasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iqbaal [TERBIT]
Teen Fiction"Mulai detik ini lo harus jadi pacar gue." "Lo gila ya! Gue gak kenal sama lo. Dan gue gak mau jadi pacar lo." Berawal dari sebuah paksaan yang justru membuat mereka bisa merasakan manisnya masa bangku sekolah. Membuat mereka mengerti pedihnya pen...