08 | RUMAH SAKIT

293 21 7
                                    

Yang baper sama cerita ini mana suaranya!

_____________________________________

"Aku memang bukan pacar idaman yang seperti difilm dan novel yang kamu suka. Bukan pacar yang romantis. Bukan pacar yang pintar mengungkapkan kata-kata manis, dan bukan pacar yang selalu nurut saat kamu suruh ini itu."

...

Steffi mengerjapkan matanya perlahan dan mulai membukanya sedikit demi sedikit. Saat kedua bola matanya terbuka dengan sempurna, Steffi langsung disuguhkan pemandangan wajah tampan sang kakak kandungnya yang saat ini sedang menatapnya dengan penuh raut cemas.

Steffi memegang kepalanya yang saat ini sedikit berdenyut nyeri. Mungkin karena dia habis pingsan ditengah jalan tadi, beruntung abangnya datang tak lama setelah dia tak sadarkan diri, jika tidak, Steffi pun tidak tau akan bagaimana jadinya. Tunggu! Saat ini indra penciumannya seperti merasakan sesuatu yang tak sedap. Bau apa ini?.

Obat! Hal pertama yang masuk pada indra penciuman Steffi. Demi apapun!, Steffi sangat benci dengan hal yang berbau dengan obat-obatan. Jika boleh jujur, Steffi lebih memilih untuk menghabiskan seluruh makanan yang berada dikulkas rumahnya daripada harus mencium atau bahkan sampai meminum obat-obatan seperti ini, biarkan saja Steffi akan gendut. Toh yang merasakan diri kita sendiri kan? Kenapa harus pusing-pusing memikirkan perkataan orang lain nanti? Karena pada dasarnya yang tau mengenai diri kita itu kita sendiri, bukan orang lain yang memang tidak ada sangkut pautnya itu.

"Steff kamu kenapa bisa sampai pingsan segala sih?! Abang khawatir tau sama kamu! Gimana kalau Bunda sama Ayah sampai tau? Mereka pasti cemas Steff! Kamu kalau melakukan sesuatu itu mikir dulu gak sih kedepannya bakal kaya gimana? Abang khawatir sama kamu Steff," lirih Ali diakhir kalimatnya.

Steffi menundukan kepalanya, tidak berani menatap wajah Ali yang pasti saat ini sudah merah padam karena menahan kesal terhadap dirinya. Steffi sadar dirinya salah.

"Maaf," cicit Steffi masih menundukan kepalanya.

Ali mengusap kasar wajahnya, pasti jika dia tengah khawatir dengan Steffi atau sampai terlalu khawatir jadinya akan seperti sekarang ini. Tingkat emosinya jadi naik turun sulit terkontrol, dan akhirnya Steffi lah yang terkena imbasnya.

Perlahan Ali melangkah mendekat kearah ranjang dimana Steffi setengah berbaring dan masih setia menundukan kepalanya.

"Maafin abang," ucap Ali dengan suara yang lebih lembut dari sebelumnya sambil mengangkat wajah Steffi.

Brak

"Steff!"

Steffi melihat seseorang yang baru saja membuka pintu dengan kasar dan langsung memanggilnya.

Iqbaal.

"Steff kamu gak papa?" Setelah tepat berada disamping ranjang Steffi karena langkah lebarnya itu, Iqbaal langsung menggenggam erat tangan Steffi yang untungnya tidak diimpus.

Buk

"Lo gak liat apa hah?! Adek gue tadi pingsan ditengah jalan! Kalau tadi gue gak cepet temuin dia, gimana keadaan dia sekarang?! Lo pikir pake otak lo Baal!" murka Ali dengan nafas yang sangat memburu sambil menatap sengit Iqbaal.

Iqbaal memegang pipinya yang terasa kebas, pukulan Ali memang tak pernah main-main. Gimana mau main - main jika menjadi juara karate tingkat nasional saja sudah tak asing lagi baginya. Tetapi bagi Iqbaal, tak ada apa-apanya, jika dia mau, bisa saja dia langsung dengan mudah memukul balik Ali dan dijamin pukulannya akan jauh lebih kuat.

Iqbaal [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang