Interaksi

47 5 0
                                    

Dia memandangku seperti hari hari kemarin. Kosong.... tanpa ekspresi, tapi aku membalasnya dengan senyuman. Aku bisa melihat matanya yang sayu seperti kebanyakan pasien lainnya.

Gejala umum yang biasa kujumpai adalah kurangnya motivasi hidup, sulit untuk konsentrasi dan sulit untuk memperlihatkan ekspresi maupun perasaan.

"Apa kamu sudah makan dan minum obatnya" tanyaku berusaha memulai pembicaraan kemudian aku melirik makanan yang ada di atas nakas.
"Oh... belum dimakan toh..."

"Basi!"

"Hah? Apa makanannya basi?"

"Pertanyaanmu yang basi!, dari kemarin hanya itu yang kamu tanyakan."

"Memang sudah tugasku untuk memastikan hal hal itu. Supaya kamu cepat sembuh"

"Apa aku bisa sembuh?, tapi aku bosan makan kancing-kancing warna warni itu" ucapnya datar tanpa ekspresi.

"Kancing?" Batinku.

Aku berfikir sejenak...
"Ohh... maksudnya kancing itu... obat tablet?

"Kamu pasti bisa sembuh kok... yang penting kamu punya tekad dan keinginan yang kuat untuk sembuh..." jelasku

"...."

Obat obatan hanya bisa membantu 10% -15% dari proses penyembuhan dan sisanya berasal dari kemauan serta dorongan dari diri sendiri beserta keluarga. Tapi yang jadi masalah adalah meskipun dia memiliki kemauan yang kuat tapi ia tidak mempunyai dorongan dari orang disekitarnya. Oleh sebab itu aku ingin membangun hubungan yang lebih dekat kepada tipe pasien yang berjuang sendiri seperti Rai ( pasien yang sedang tidak memiliki hubungan baik dengan keluarganya) . Hal itu kulakukan agar pasien lebih nyaman dan proses penyembuhan aku berlangsung lebih cepat.

Aku pun berjalan mendekati nakas dan dia masih duduk ditempat tidurnya. Aku tak tahu sejak kapan dia duduk disana, kemudian aku mengambil nampan tersebut dan menyodorkannya ke depan Rai.

"Ini... makanlah dulu... sejak pagi kamu belum makan, ingat sarapan itu penting. Bibi sudah membuatkan makanan ini untukmu" berusaha untuk membujuknya agar mau makan

"...."

Tapi dia masih terdiam. Ia pun mengambil nampan tersebut dan mulai menyuap makanan yang ada dipiring tersebut dengan malas. Tak apa itu termasuk kemajuan...., aku pun duduk disofa yang jaraknya tidak jauh darinya. Tiba tiba Rai mulai berbicara.

"Disini jarang ada cemilan"

"Lalu?"

"Besok bawakan aku beberapa cemilan" ucapnya santai

"Apa??" Batinku

"Baiklah akan kubawakan..."

Suasana menjadi canggung lantaran aku tak tahu harus berbicara apa.

Hening....

"Oh ya Rai.... aku punya saran" kataku mencairkan suasana

"...." ia diam tapi mengarahkan pandangan nya kearahku sambil meminum air putih seusah ia menelan obat.

"Bagaimana besok jika kamu ikut dengan ku untuk berjalan jalan, aku dengar kamu tidak keluar rumah sejak beberapa bulan terakhir.

Jangankan keluar rumah, keluar kamar pun jarang.

"Tidak!" Jawabnya dengan tatapan tajam menusuk

Saranku : runtuh...

"Aku hanya ingin membuatmu lebih rileks" sebenarnya aku mau menanyakan beberapa hal tapi aku menunggu saat dia membaik.

"Terserah...." jawabnya tanpa ekspresi

Aku pun melirik jam tangan ku, sudah saat nya untuk pulang.

"Baiklah aku pulang dulu besok aku akan datang lagi da-

"Bawakan cemilan! Jangan lupa!" Tatapnya tajam

"Ah... iya aku akan ingat itu. Sampai jumpa besok"

Aku pun berajak dari sofa dan berjalan menuju pintu kamarnya kemudian aku membuka pintunya lalu menutupnya. Aku terlonjak kaget karena kehadiran bibi yang jarakknya sekitar 1 meter dariku. Ia pun mulai bertanya

"Bagaimana Rai apakah ia mulai membaik" tanyanya khawatir

"Ya begitulah bibi., ia sudah mau berbicara denganku meskipun sedikit. Tapi tolong jangan katakan apa apa dulu padanya, untuk sementara...."

"Ah iya baiklah... terimakasih yuna"

"Sama sama bibi... tapi ini adalah tugasku lain kali jangan berterimakasih lagi ya bi...."

Bibi hanya tersenyum aku melihat matanya yang mulai berkaca kaca, garis kerutan di wajahnya terlihat semakin jelas saat ia tersenyum.

"Aku pulang dulu ya bi...."

"Iya, hati hati"

Aku pun mengacungkan jari jempolku sebagai pertanda iya, kemudian aku bergegas pergi ke arah pintu utama dan keluar. Beberapa saat setelah itu aku sudah berada diluar. Entah sihir apa yang ditaburkan ke taman ini, akunpun memetik setangkai bunga mawar. sanking senangnya aku melihat taman ini akupun tanpa sadar menari nari kecil dan duduk disalah satu bangku taman kemudian memetik lagi setangkai bunga mawar.

Rai POV

"Apa ia sudah pergi?"
Ia datang dan pergi bagai angin berhembus meski kehadirannya menyejukkan.
"Apa semua orang seperti itu?"
Aku pun menyibakkan tirai dan berdiri di depan jendela untuk memastikannya. Dia ada disana bermain dengan bunga sambil menari nari.

"Psikiater aneh"

Tapi satu hal yang tak ku sadari... sedari tadi aku menyunggingkan senyuman tipis saat mengamatinya. Tak lama ia menari, ia duduk di salah satu bangku taman kemudian memetik setangkai bunga mawar lagi sambil tersenyum ceria. Senyum yang sudah lama tidak aku lakukan dengan bibirku ini. Beberapa saat kemudian ia beranjak lalu pergi ke arah pagar dan hilang dari pandangan ku.

Sekian lah chapter kali ini....
Setelah 30 menit author  ngetik 😂 author lapar.

NEXT CHAPTER :  BAKAL MUNCUL SI ADEK BANDEL NYA YUNA 😉




PsychologyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang