Aku Mencintainya

420 48 20
                                    

.
.
.
.
.
Donghae menunggu Jeno di depan sekolahnya. Beberapa gadis remaja menggumamkan kekaguman pada lelaki tampan itu.

Tak menanggapi dengan berlebihan, Donghae hanya tersenyum simpul dan menghasilkan jeritan tertahan dari anak-anak berseragam di depan sana.

Donghae tampan, penampilan modis dan tentu ia cukup di kenal karena memang berasal dari daerah sini, sekolah Jeno tak begitu jauh dari rumah mereka.
Selain itu, Jeno selalu menyombongkan diri di hadapan teman-temannya tentang Donghae yang bekerja dengan banyak idol dan penyanyi terkenal.
Mempromosikan kakaknya secara tak langsung, Jeno cocok menjadi public relations.

Dari jarak dua puluh meter bisa ia lihat tiga orang pemuda tanggung berjalan bersamaan. Satu diantaranya adalah Jeno, dua yang lain adalah Mark dan Jaemin yang dikata Jeno tak jadi pindah ke Jepang.

Donghae tersenyum, menyapa kedua teman adiknya, mereka balas tersenyum lalu membungkuk sopan.

"Selamat siang, Donghae hyung"

"Siang Mark"

"Hyung kau tambah tampan"

"Terimakasih, Jaemin-ah"

"Aku menunjukkan album Baekhyun yang hyung berikan semalam" Jeno tersenyum bangga.
Baekhyun memang penyanyi yang digilai banyak orang, terutama remaja.

"Kami iri, hyung"
Suara Jaemin dibuat sesendu mungkin.

Donghae tertawa, lalu mengusak rambut pemuda tampan itu pelan.

"Saat aku kembali ke Seoul, akan kumintakan tanda tangan lagi untuk kalian berdua, aku masih punya beberapa album termasuk milik Taeyon. Kalian mau? Tapi yang ini tanpa tanda tangan.
Ia sangat sibuk dan aku jarang bertemu dengannya"

Tak perlu ditanya lagi, Jeno, Mark dan Jaemin mengangguk kencang.

.
.
.
.
.
"Kau mau makan bubur abalone, Jen?"

"Abalone? Tempat yang enak ada di pinggir kota, hyung"

"Ya, kita ke sana sekarang bagaimana? Aku sedang ingin makan sesuatu yang gurih dan juga___aku rindu Appa"

"Baiklah kalau begitu, aku tak perlu ganti baju dulu kan?"

Donghae tersenyum pada adiknya, lalu menggandeng Jeno ke pemberhentian bus.

"Tak perlu, aku memang sengaja menjemputmu agar kita langsung kesana"

.
.
.
.
Tempat penjual bubur yang mereka tuju bukanlah restoran China besar, melainkan sebuah kedai sederhana dengan seorang ahjumma berusia enam puluh tahunan sebagai pemiliknya.

Tak banyak berubah, pintu kayu berwarna cokelat tua dan juga kursi-kursi yang ada di sana adalah benda yang sama seperti saat sebelas tahun lalu, saat Donghae dan Jeno diajak orang tua mereka kemari.
Masih sangat jelas saat itu Donghae masih berusia tiga belas tahun, sementara adiknya baru masuk taman kanak-kanak.
Mereka berselisih umur tujuh tahun.

Kenangan menyenangkan bermunculan di benaknya saat ini, mengagumi sang waktu yang berlalu secepat kedipan mata.

Diabaikan namun tak berhenti bergerak, waktu adalah hal paling konsisten di dunia.

"Sudah lama tak datang" Bibi penjual bubur tersenyum ramah saat melihat langganannya ini berdiri di depan mejanya.

"Aku kan datang dua minggu lalu, Bibi"

"Bukan kau anak tampan, tapi kakakmu"

Donghae tersenyum,
"Pekerjaanku tak mengijinkan untuk sering berlibur, bibi"

"Aigoo...Kasihan sekali, jangan terlalu memaksakan diri. Dunia tak akan berhenti berputar walau kau terus mengejarnya hingga tak menyisakan apapun" Bibi ini masihlah sangat ramah.

"Dunia memang sangat apatis, Bi..." Jawaban singkat itu membuat si Bibi memandang Donghae.

"Donghae...,  bukan dunia yang apatis, namun manusia yang kadang tak tahu batasannya.
Bukannya dunia yang acuh, hanya manusia memilih untuk tak peduli.
Bukan dunia yang jahat, hanya manusia yang tak paham.
Dunia tetaplah dunia Donghae, pilihan manusia adalah menjadi bijak"

Tak ada jawaban.

.
.
.
.
.
"Bibi buburnya selalu enak..."

"Aku tak akan memberimu diskon walau kau Memujinya terus-terusan, Jeno"

"Yaahh..., padahal terakhir kali aku berhasil"

Jeno merasakan tepukan di kepalanya, tangan Donghae terulur mengelus rambut hitam adiknya.

"Mendapat rasa luar biasa dengan harga seperti ini, keterlaluan jika kau masih ingin diskon, Jeno"

"Dua minggu lalu aku dapat gratis satu mangkok" Bela Jeno.

Bibi penjual tertawa di meja kasirnya.

"Itu upahmu karena mempromosikan tempat bibi pada temanmu yang lain, bukannya diskon Jeno-ya"
Ucap wanita paruh baya itu menghasilkan raut kesal lucu di wajah tampan si bungsu Lee.

.
.
.
.
.
.
Di perjalanan pulang Jeno menggamit lengan kakaknya erat seolah takut sang kakak akan menghilang jika tautan lengan mereka terlepas.

"Hyung"

"Hemb....Ada apa, Jen?"

"Kenapa kalian orang dewasa suka sekali membuat segala sesuatu menjadi rumit?"

Donghae menghentikan langkahnya.
Menoleh pada adiknya yang mungkin sebentar lagi akan jauh lebih tinggi dari dirinya sendiri.

"Bukan membuat rumit, hanya semakin dewasa banyak hal yang akan kau pertimbangkan dalam tiap keputusan yang kau ambil"

"Seperti keputusan hyung untuk mencintai orang itu?"

"Ya... Seperti itu juga, dan Jen__ berkali-kali kuingatkan, Ia punya nama.
Jangan menyebutnya sebagai orang itu"

"Dia mempermainkan dirimu hyung" Jeno kesal, itulah yang di tangkap Donghae dari tatapan adiknya ini.

"Tak ada siapapun yang mempermainkan orang lain Jeno, kami ____Aku, Hyukjae dan bahkan gadis itu, tak ada satupun yang menganggap hubungan ini sebagai permainan"

"Lalu sampai kapan kalian terus begini...?
Donghae hyung, demi apapun aku tak mempermasalahkan orientasi sexual yang hyung miliki, tapi ku mohon jangan menjalani hubungan yang menyakitimu seperti ini, aku bahkan lupa kapan terakhir kali hyung tertawa lepas.
Dan itu bermula saat kau bersamanya"

"Jika bisa hyung-pun tak mau seperti ini, Jeno..."

"Aku tak menyalahkan hyung untuk menjadi ga___"

"Maksudku mengenai perasaanku pada Hyukjae.
Aku tak pernah menginginkan untuk jatuh pada pria yang memiliki orang lain.
Tapi hati ini memilihnya, Jeno.
Perasaan dan Cinta bukan seseuatu yang bisa ditentukan akan terarah kemana"

Mereka berdua terdiam, memilih untuk menunggu bus di halte di depan sana.

"Aku hanya tak mau kau terluka, hyung"
Lirih Jeno.

"Aku tahu Jeno~"
Bisikan Donghae masih bisa sampai ke telinga adiknya.

"Tapi aku mencintainya," Lanjutnya kemudian.

.
.
.
.
Bersambung,
.
.
.

Bukan dunia yang jahat, hanya manusia yang tak paham.
Dunia tetaplah dunia, pilihan manusia adalah menjadi bijak - Bibi Bubur abalone
.
.

A Twist Of Love (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang