11. Panggilan dari Sekolah

1.8K 230 45
                                    

Minho lelah hari ini. Sangat. Bangun pukul lima pagi karena dering telepon dari teman satu kampus yang juga asisten dosen, katanya mendadak dosen pembimbing minta bertemu pukul delapan pagi. Tidak boleh telat—pesannya, pakai tanda seru pula.

Lelaki itu kewalahan, kerjakan beberapa bagian yang belum sempat direvisi—karena janji temu awalnya tiga hari lagi. Tidak sarapan, buru-buru berangkat ke kampus.

Sesampainya di sana, rupanya sang dosen pembimbing belum kelihatan. Minho putuskan menunggu di depan ruangan, sambil sesekali mengecek revisi yang dikerjakan kelewat mendadak. Berdecak beberapa kali karena merasa hasilnya sangat tidak rapi, masih banyak typo di beberapa bagian.

Tak lama ia menerima telepon, sukses membuatnya kesal dan ingin membanting tumpukan kertas yang telah tersusun rapi sesuai halaman itu—kalau tidak ingat dia harus segera lulus. Masih teman yang sama, mengabarkan kalau sang dosen pembimbing izin telat karena ikut seminar sampai jam makan siang nanti.

Pukul satu, Minho melihat yang ditunggu sudah memarkirkan mobilnya. Jalan santai ke arah ruangan. Si mahasiswa tersenyum sopan, menunduk memberi salam. Yang disapa ikut senyum, ajak Minho masuk lewat bahasa tubuh.

Sayang, memang dasarnya beberapa bagian dikerjakan terburu-buru, Minho kena kritik habis-habisan. "Kamu mau lulus tidak? Saya lihat hasilnya sangat tidak serius. Sedang bercanda, Park Minho?" Sambil memperbaiki letak kacamatanya, sang dosen tatap Minho menghakimi. Membuat lelaki itu hanya bisa menunduk sambil mengucapkan maaf—yang jelas tidak ingin didengar beliau.

Tarik nafas panjang, Minho putuskan untuk segera pulang. Merebahkan diri di kamar sambil ditemani tiga buntalan gemas; Felix, Seungmin, dan Innie yang punya banyak cara untuk membuatnya tersenyum. Meski sebenarnya ada kemungkinan lain, ia justru akan semakin sakit kepala jika ketiganya dalam mode nakal dan berisik.

Baru saja sampai dan membanting diri di sofa, mendadak Hyunjin dan Jisung pulang dari sekolah. Agak kaget melihat wajah kusut yang ditekuk milik si kakak kedua.

"Aku pulang, Kak." Keduanya beri salam secara bergantian. Minho cuma lirik sekilas, mengangguk kecil membalas salam Hyunjin dan Jisung.

Niatnya si kakak mau buka ponsel, main tetris sebentar selagi menunggu ketiga buntalan gemas pulang dari supermarket bersama Bi Eun. Namun urung ketika dua adiknya itu justru duduk di hadapannya.

"Ada apa? Sana ganti dulu seragamnya," suruh Minho. Keduanya justru saling tatap sebentar.

Si kakak mengerutkan dahi, heran. Sebenarnya ia sudah malas berpikir, tapi sepertinya ada hal penting yang akan dibahas dalam beberapa menit kedepan.

"Ini, Kak. Ada sesuatu." Jisung berkata pelan, mengeluarkan sepucuk surat dengan ragu-ragu dari dalam ranselnya. Begitupun Hyunjin yang kini suratnya juga diletakkan di atas meja.

Minho hela nafas, berharap ini bukan sesuatu yang buruk meski pikirannya sudah berkelana pada banyak kemungkinan. Diambilnya surat Jisung terlebih dahulu, dibaca perlahan.

Wajah Minho sedikit mengeras, agak merah. Mendadak emosinya bertumpuk di kepala. Selanjutnya ia baca surat dari Hyunjin yang ternyata kian menambah beban di otaknya.

Isi surat keduanya sama. Sama-sama surat panggilan orang tua dari pihak sekolah, begitu pula alasannya—membolos sekolah.

"Kenapa kalian bisa membolos?" Minho tatap tajam keduanya, namun baik Hyunjin maupun Jisung hanya diam dan makin menundukkan kepala. Si kakak sudah pusing malah ditambah pusing dengan surat-surat yang rasanya ingin Minho bakar saja. Belum lagi melihat dua adiknya yang justru cosplay jadi batu membuatnya makin emosi.

Tanpa repot-repot menyaring kata-kata terlebih dahulu, Minho memarahi keduanya yang cuma pasrah saja. Cukup tahu diri, adik-adiknya paham kalau ini sepenuhnya salah mereka.

Hello, Brothers! - SKZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang