03. (Masih) Perihal Cokelat dari Belgia

2.1K 303 43
                                    

Changbin melongokkan kepala ke dalam kamar tiga dimana ia dan Hyunjin sebagai penghuninya. Dari dalam sana, Hyunjin balik menatap Changbin. Dahinya berkerut, Changbin tentu paham bahwa adiknya itu sedang bertanya padanya, "Ada apa kemari?"

Kamar tiga memang adalah kamarnya. Namun pada jam 6 sore seperti ini Changbin tidak pernah berada di kamar, ia akan sibuk bermain bersama Felix, Seungmin, dan Innie sembari menonton kartun sore. Biasanya.

Katanya, tiga malaikat kecilnya ini adalah sumber pengisi tenaga Changbin yang habis setelah berada di sekolah seharian. Kadang-kadang Changbin juga menggantikan Bi Eun untuk memandikan ketiganya, memakaikan baju, lalu menaburi bedak bayi yang harum pada ketiga wajah mungil itu.

Hyunjin beda lagi. Selepas makan siang, ia berjalan masuk ke kamar dan menghabiskan waktu di sana sampai makan malam tiba. Kadang-kadang ditemani Innie yang tiba-tiba memasuki kamarnya sambil cengengesan.

"Kak Jin, main yuk," katanya sambil berlari-lari kecil, lalu kesusahan untuk naik ke atas ranjang dan terburu-buru memeluk Hyunjin yang hampir mati menahan gemas.

"Aku masuk, ya?" Kerutan di dahi Hyunjin makin dalam, rasanya Changbin aneh sekali kalau bersikap begini.

Tanpa menunggu, kakaknya itu masuk dan dengan santai duduk di samping Hyunjin yang ranjangnya berada di sisi kiri. Sama seperti kamar empat, Changbin dan Hyunjin juga memiliki ranjang yang terpisah.

Tidak ada percakapan.

Hyunjin sibuk dengan buku di tangannya, sementara Changbin hanya diam di samping. Sesekali bersenandung. Entah lagu apa, Hyunjin tidak pernah dengar. Mungkin lagu baru garapannya yang akan rilis sebentar lagi.

"Jin, gak mau cerita?"

Pertanyaan itu terlalu tiba-tiba, membuat yang ditanya terkejut. Ia menoleh, menatap Changbin menuntut jawaban. "Maksudnya?"

"Cokelat.." Changbin bergumam pelan. Membuat Hyunjin lagi-lagi terkejut, namun hanya untuk seperkian detik. Ia lupa, orang di sampingnya ini adalah Changbin yang mengenalinya luar dan dalam.

Hyunjin menghela nafas, tidak tahu harus memulai dari mana. Ini terlalu memalukan untuk bocah penuh gengsi sebangsa Hyunjin.

"Iseng aja, Kak. Hyunjin taunya itu punya Kak Ino. Kalau tau sudah jadi milik Jisung, mana mau Hyunjin sentuh," jelasnya. Changbin terkekeh pelan.

"Kan ada note-nya,"

"Hyunjin gak tau kak, sudah tengah malam. Ngantuk."

"Jadi?"

"Apa?"

"Gak mau minta maaf?"

Hyunjin menatap Changbin lekat-lekat. Apa dia benar-benar harus meminta maaf pada Jisung? Itu tentu memalukan. Sangat.

Tapi, sekeras kepala apapun dirinya serta sebesar apapun kebenciaannya pada Jisung, dia tahu bahwa ini salah. Masalahnya hanya 'Hyunjin terlalu gengsi untuk mengaku salah dan meminta maaf kepada seorang Jisung'.

"Gimana kalau Jisung malah meledeki Hyunjin? Hyunjin gak suka." Tanpa sadar, bibir Hyunjin sedikit mengerucut, ia cemberut. Membuat Changbin tertawa karena ekspresi itu bisa singgah di wajah dingin adiknya, dan khususnya pada pemikiran Hyunjin yang dirasa benar-benar kekanakan.

"Kalau kamu gengsi, gunakan cara lain. Tidak perlu harus sampai berjabat tangan seperti yang ada di bayanganmu, kok." Changbin tersenyum, lalu bangkit. Ia mengusak pelan rambut adiknya sebelum benar-benar pergi.

Hello, Brothers! - SKZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang