03 | The Petrichor

76 35 15
                                    


Pintu gerbang SMA Parisada perlahan tertutup. Suasana tampak sepi dikarenakan pembelajaran yang telah dimulai sejak 10 menit yang lalu.

"Sstt liv Oliv.. sstt" terdengar suara pelan dan berbisik dari pria tampan disamping gadis yang sedang khidmat mendengar penjelasan dari guru di kelas mereka.

Olivia dengan malas menoleh pada pria itu, "Aduh apasih Brian?" ucapnya sambil mengode agar tidak bersuara di kelas pak Yahya yang notabennya adalah guru killer di sekolahnya.

"Aku laper, bagusnya ntar pesen apa ya dikantin?" jawabnya bingung, menatap Olivia dengan kepala tersandar ditangannya.

Olivia memasang muka datarnya, sia-sia ia mengubris pria yang ia panggil Brian ini.

"Kau lihat mukaku. Apa aku terlihat peduli?" dengusnya kesal.

Brian tersenyum. Olivia beberapa hari ini terlihat aneh, tapi sepertinya mood gadis ini sudah mulai kembali. Sesekali dia mencuri pandang pada Olivia. Parasnya yang cantik cukup membuatnya sesekali berdebar.

Brian menggelengkan kepalanya. Apa yang baru saja yang ia pikirkan. Mereka sudah berteman selama 4 tahun, dia tidak seharusnya menyukai sahabatnya sendiri. Lagi-lagi Brian menjadi bukti nyata persahabatan antara pria dan wanita tanpa perasaan itu fana.

Kriingg...Krriingg...

Olivia P.O.V

Para guru mulai menyelesaikan kelas mereka dan kembali ke ruang masing-masing. Semua siswa di kelaskupun ikut berhamburan keluar kelas, pastinya menuju kantin.

"Liv, ayo kantin" ajak Brian.

Aku menenggelamkan kepalaku diantara buku-buku. Rasa laparku telah hilang beberapa hari ini. Tentu saja aku masih kepikiran. Tidak ada jaminankan aku tidak bakal dibunuh.

Brian tetap menempel di kursi dan tak berniat pergi dahulu. Aku menolehkan kepalaku kepadanya, ingin rasanya menceritakan semuanya pada Brian tapi yang ada dia malah akan heboh dan menyuruhku untuk melaporkannya pada polisi, malasnya.

"Woi woii!! Ada gosip baru nih!" Pekik Sabrina sambil berjalan tergesa-gesa kearah aku dan Brian.

Sabrina berada dikelas yang berbeda dengan kami. Dan dia adalah pusat informasi aku dan Brian. Kalian taukan yang di mall-mall itu? Sabrina akan berteriak dan tak sabar menyampaikan berita baru pada kami, seperti saat ini. Dasar Sabrina..

"Kalian kenal si Ema gak? Dia udah 3 hari ini hilang. Dan anak-anak yakin dia korban selanjutnya" ujar Sabrina dengan serius

"Hah yakin kamu Sab? Beneran nih?" tanyaku berseri-seri.

Mereka serentak menatapku seperti keheranan. Kenapa? Ah terserahlah yang penting sekarang aku lega karena berarti pria itu tidak memburuku lagi. Aku beranjak dengan ringan dari kursiku, saatnya untuk memberi makan cacing-cacingku yang meronta karena tidak diberi nutrisi dengan baik beberapa hari ini.

"Ayok! Brian katanya kamu lapar. Sab ayo aku udah laper banget nih." ucapku berlalu meninggalkan mereka

"What the hell?"
aku sedikit mendengar Sabrina mengumpat kesal, tapi aku tak mengubrisnya yang penting sekarang aku ingin merayakan kesalamatanku.

***

Aku membaringkan tubuhku di sofa biru muda dihadapanku. Setelah selesai mengisi perut dikantin aku memutuskan untuk ke perpustakaan meninggalkan Brian dan Sabrina. Kebiasaanku setiap harinya untuk berkunjung kesini.

Perpustakaan sudah menjadi spot favoritku disekolah ini tentu saja disini sepi, zaman sekarang siapa yang ingin nongkrong diperpustakaan. Padahalkan sangat nyaman, apalagi sedang hujan seperti ini.

Hujan? Sial aku jadi teringat kejadian malam itu. Aku teringat sesuatu, aku menggapai handphoneku dan mencari trending berita hari ini. Dan benar saja Ema udah ditemukan, ditemukan tak bernyawa lebih tepatnya.

Aku tidak terlalu peduli dimana dan bagaimana Ema mati, yang pasti dia mati karena pembunuh itu. Lagipula aku tidak terlalu kenal dengan Ema.

Aku kembali menggulir layar handphoneku untuk membaca berita tersebut. Berita itu menyebutkan bahwa ada seorang saksi yang melaporkan hal itu pada polisi, ini pertama kalinya. Wah nekat sekali dia dan polisi sedang menindaklajuti kesaksian orang tersebut.

Setelah selesai membaca berita tersebut aku kembali ke beranda pencarian. Ada sebuah blog yang mencuri perhatianku--Silent Hill. Blog ini berisi tulisan tentang pembunuh itu. "The Petrichor" begitulah penulis blog menyebut pembunuh itu, bukankan itu adalah istilah bau yang tercium saat hujan?

Tapi kenapa? Aku semakin tenggelam dalam tulisan itu, ini menarik.

Entah apa alasan pasti penulis itu menyebutnya "The Petrichor" tapi ia menuliskan bahwa pembunuh itu selalu membunuh korbannya saat hujan.

Iya benar, saat itu hujan. Saat aku melihat seorang pria tinggi dengan jubah dan masker ditengah hujan membunuh Stella, itu adalah nama gadis yang mati dihadapanku waktu itu.

Saat sedang asik membaca mataku mulai terasa berat dan mengantuk.

***

Aku tersentak, yaampun ternyata aku ketiduran saat terlalu asik membaca dongeng manis tentang pembunuh itu atau mungkin karena akhir-akhir ini aku tidak tidur dengan benar. Bahkan handphoneku masih berada di tanganku.

Hari menunjukkan pukul 1 siang. Aku segera bergegas kembali kekelas, untungnya ibu Jihan tidak masuk hari ini kalau iya mungkin aku sudah kena cecar olehnya. Aku tersenyum tipis melihat layar handphoneku, The petrichor.. aku suka sebutan itu.

"Liv kemana aja? Gila Sabrina udah berapa kali tadi nelponin kamu" ucap Brian saat melihatku masuk ke kelas.

Aku duduk disampingnya, "Ketiduran diperpus, untung Bu Jihan gak datang" jawab ku sembari mengikat rambut karena merasa sedikit gerah.

"Selamat siang" ucap pak Yahya yang tiba-tiba masuk kekelasku.

"Selamat siang pak" balas seluruh siswa dikelasku.

Beberapa dari mereka tampak mulai berbisik melihat siswi asing disamping pak Yahya.

Wajahnya yang oriental, tinggi semampai dan matanya yang sipit sepertinya menarik perhatian siswa-siswa dikelasku yang menatapnya senyum-senyum malu. Astaga aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.

"Baiklah, kita kedatangan siswi pindahan dari Jakarta, silahkan perkenalkan diri kamu nak" ujar pak Yahya pada siswi disebelahnya.

"Siang semua, kenalin nama saya Renatta Juan. Saya pindahan dari Jakarta. Semoga kita bisa berteman dengan baik" ucapnya tersenyum memperkenalkan dirinya.

Senyum itu perlahan memudar saat mata kami saling bertatapan. Dia terlihat cemas dan memundurkan langkahnya sedikit demi sedikit. Aku hanya keheranan melihat tingkah anehnya, kenapa dia?

-
-
-
-
-
-
-
-
-
To be continued

RINTIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang