09. Horor

1K 177 21
                                    

Suasananya terasa horor.

Seperti tengah berada di meja hijau saja, hanya duduk diam menunggu putusan hakim.

"Jawab gue Luka." Baru kali ini aku melihat tampang Bang Ogi saat sedang serius. Menyeramkan ternyata. Tampang serius tidak cocok untuknya. "Elo bohongin Abang iya atau engga?" Bang Ogi kembali bertanya demikian.

Luka yang tengah duduk sambil memainkan hpnya hanya membisu seolah tidak berniat menjawab.

"Gue yang salah Bang." Pada akhirnya aku yang selalu berusaha menyelamatkan situasi.

Kini Luka mendelik tajam ke arahku, seperti tidak suka aku membelanya.

"Kenapa bisa lo yang salah Lin?"

Aku terkekeh tanpa dosa. "Ya karena udah bohongin Bang Ogi."

Perkataanku barusan seperti dibarengi suara jangkrik.

Bahkan Luka dan Bang Ogi memasang raut wajah datar padaku.

"Lo diem sekarang Lin, gue mau ngomong sama si Lulu, atau mending lo keluar aja deh, beliin gue sate gitu atau apa." Adik kakak tukang ngusir. Tapi sampai kapan pun kalimat itu tak akan mempan untukku.

"Iya gue bohong." Sampai akhirnya Luka membuka suara menanggapi pertanyaan bang Ogi yang sudah kadaluwarsa 10 menit lalu. "Gue cuma mau lo teguh pendirian bang, yakinin dulu hati elo. Jangan sampai mainin cewek lain. Lagian gue awalnya juga gak tau kalo Arta adeknya Kak Lita—"

"Terus pas udah tau kenapa gak bilang gue? Malah bohong keterusan?"

"Ya salah elu juga bisa dikadalin bang," Aku menimpali dan langsung dihadiahi tatapan mengerikan dari bang Ogi. Pria itu saat sedang sensi memang patut dijauhi, lebih mengerikan daripada adiknya.

Luka menyunggingkan senyum kecil seolah perkataanku mampu merubah sedikit suasana hatinya yang bad mood seharian ini.

"Apa lo gak jujur sama gue biar gue gak jadian sama Lita? Karena elo udah jadian sama adiknya?"

Dan pertanyaan Bang Ogi membuat ruangan depan ini kembali sunyi mencekam.

Luka masih berkutat dengan layar ponsel, seolah fokus perhatiannya terarah ke sana dan tak mendengarkan lontaran perkataan kakaknya.

Bang Ogi pada akhirnya hilang kesabaran karena diabaikan, terlebih saat dirinya sedang berbicara. Langsung saja ponsel Luka direbutnya secara paksa. "Kalo ada yang ngomong dengerin! Jaga sopan santun!" Percayalah untuk pertama kalinya aku mendengar Bang Ogi meninggikan nada bicaranya, rupanya pria itu memang sedang dibalut amarah.

Bahkan Luka sampai tertegun seolah ini juga baru pertama kali baginya dibentak oleh sang kakak.

"Tinggal jujur aja apa susahnya sih, Luka?! Gue bakal maklum, tapi kalo sikap lo kayak gini seolah gak ngehargain perasaan gue, ya gue kecewa. Elo kan tau sendiri gimana perasaan gue ke Lita. Kenapa harus bohong. Lo jatuh cinta, gue malah bersyukur banget, tapi jangan dengan cara nyakitin hati orang apalagi abang lo sendiri, ubah tuh sifat kekanak-kanakan."

Jika aku jadi Luka, aku akan sakit hati dikatakan seperti itu.

Kulirik Luka yang duduk di sampingku, matanya terlihat berkaca-kaca seolah ia sedang berusaha agar air mata itu tidak tumpah.

Namun sepertinya dia tak bisa menahannya lebih lama. Luka segera beranjak dan berlari menuju kamarnya tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Luka kecewa dengan keadaan. Terlebih Bang Ogi yang merasa dikhianati dan bingung dengan situasi antara ia harus merelakan perasaannya terhadap Lita atau mempertahankan perasaannya yang mana akan membuatnya menyakiti Luka.

LUKA [GxG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang