02. Mata Pisau

2.8K 270 10
                                    

"Kalau panas buka aja pakaianmu Mbak, pasti adem."

Modal dusta! Apa semua pria memang seperti itu?! Oh atau mungkin karena mereka suka bercanda sehingga dalam suatu hubungan pun mereka anggap sebuah candaan belaka.

Aku belum pernah mengalaminya, maksudku jatuh cinta, dan rata-rata para teman terdahuluku mengalami hal demikian. Dimainkan dan dicampakkan, dikira boneka yang sudah lama lalu main tinggal, dan cari boneka baru.

Lagi pula cowok itu tidak pantas main boneka.

Aku adalah orang paling beruntung karena tidak pernah merasakan semua itu. Sendirian itu terkadang lebih baik, bahkan membahagiakan.

Luka, yang saat itu sedang duduk di bawah pohon rindang masih saja kepanasan, terus saja ia mengipas-ngipaskan tangannya berharap mendapatkan semilir angin.

Sementara aku duduk tak jauh darinya. Waktu itu kami belum saling kenal, sama sekali. Hanya saja saat pertama melihatnya pun aku sudah terpikat, maksudnya dia begitu menggemaskan meskipun dengan raut cemberut yang sudah melekat abadi di wajahnya.

Luka menjawab dengan tatapan tajam setajam mata pisau yang baru diasah, delikannya berhasil mengusir pria itu dari hadapannya.

Karena terpikat itulah kaki ini dengan lancang menyuruhku beranjak berdiri untuk beralih duduk di samping wanita itu.

Dia memberikan tatapan serupa kepadaku. Anehnya dilihat dari dekat malah terlihat sangat menggemaskan sampai ingin sekali kucubit pipi chubby nya itu.

"Aw!"

Dan tanganku berhasil melakukannya.

"Eh sorry," Aku melakukannya di ambang batas kesadaran.

"Kok gue dicubit, emang gue salah apa?"

Perjumpaan pertama layaknya kenalan yang terpisah lama lalu bertemu kembali. Sama sekali tak ada kata canggung, itu yang kurasakan, entah menurutnya seperti apa, coba tanyakan sendiri saja.

"Emm... Salah lo karena mancing gue buat nyubit?"

"Mabuk ciu ya Mbak?!"

Dan dengan tampang tanpa dosa aku menggeleng. "Bisa nggak wajahnya dikondisikan, atau enggak gue cubit lagi." Dengan beraninya pula kalimat itu keluar dari mulut baik ini.

"Aw... Aw!!!"

Bukan dia yang menyerukannya, tapi aku. Luka melakukan pembalasan dan malahan cubitannya tidak dengan penuh perasaan, melainkan emosi. Sangat sakit, seperti digigit semut sebesar cicak.

"Impas." Dia berujar dengan telapak tangan yang tak henti-hentinya mengusap pipiku. Seketika semua rasa sakit langsung sirna berkat sentuhan lembutnya.

Luka itu, wanita yang bertanggung jawab dan sangat menjunjung tinggi keadilan.

"Kuliah di sini juga?"

Luka langsung menghentikan 'aksi' membelai pipiku. "Gue masih sekolah!"

"SMA? Kelas berapa?"

LUKA [GxG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang