04. Dilarang Envy

1.7K 236 6
                                    

"Sama siapa...?"

Luka beranjak bangun dari atas tubuhku terlebih dulu, menepuk-nepukkan telapak tangannya yang kotor lalu setelah itu duduk bersila sambil mendongak ke atas langit. "Sama karya Hannah Kent." Pada akhirnya ia menjawab.

Benar, mana mungkin seorang Luka jatuh cinta dalam artian yang sebenar-benarnya. Dunianya kan sangat kecil, bisa digenggam dan dibawa ke mana saja.

Dengan perasaan kecewa sekaligus kesal aku ikut menengadah ke atas, mencoba menerima kenyataan bahwa Luka akan tetap menjadi orang yang sama, dia tidak akan berubah.

"Gue bisa ngerasain namanya cinta ditulisannya 'Burial Rites'. Dan menurut gue cinta itu kejam. Untung aja gue belum pernah ngerasain langsung,"

"Woy! Lo bilang barusan kalo elo jatuh cinta sama karya penulis itu, dan artinya?"

"Oh iya ya," ujarnya dengan ekspresi bingung. "Tapi gue kan beda, cuma jatuh cinta sama karyanya, bukan jatuh cinta ke seseorang."

Dalam hati kuteriakkan 'sama saja!'

"Gue lagi mikir apa Agnes sama Natan lagi ada di antara bintang-bintang itu ya? Semoga aja mereka gak dipertemukan lagi."

Aku hanya bisa geleng-geleng kepala saja melihatnya. "Kalau pun mereka ketemuan lagi, itu bukan urusan elo! Yuk bocah masuk, udah malem makin dingin."

###

"Pea, bangun?!"

Suara nyaring itu menjadi alarm ku di pagi hari ini. Bahkan tanpa belas kasihan tubuhku terus digoncang-goncangkan. "Hp elo bunyi!"

"Telfon? Tolong angkatin gih."

"Nih udah." Kulihat dia memang benar-benar mengangkatnya, mengangkat hp ku, bukan menerima panggilan seperti yang kumaksud.

Dengan enggan aku beranjak, terlebih dulu kucubit pipinya sebelum merebut hp itu. "Lucu banget lo emang...," Tanpa melihat nama sang pemanggil aku langsung mendekatkan ponsel ke telinga karena kedua mata ini masih susah melek. "Halo, siapa?"

"Alin, balik!" Seketika hp kutaruh di balik selimut. Semoga orang yang teriak pagi-pagi diberikan kesehatan, amin.

Seperti adiknya, Bang Ogi meneriakiku tanpa sebab. Apa mereka menganggapku budek?! "Elo ngajak si Koko sama si Lulu ke mana?! Kesasar lo sampai lupa balik?"

"Sabar Bang, masih pagi. Ini si Lulu ada di kosan gue, vespa elo juga ada tuh di depan."

"Nyesel gue nyuruh elo bawa si Koko, kalau si Lulu gak apa-apa dibawa kabur juga. Semalem calon doi gue ngajak jalan, gue iyain aja, tapi gue tunggu-tunggu elo gak balik-balik juga. Jadi terpaksa gue cancel,"

"Lagian lo bisa pake motor gue Bang, motor gue kan ditinggal di sana—"

"Bukan masalah ada engganya kendaraan, tapi gue gak bisa pergi tanpa si koko, vespa keberuntungan."

Luka menatapku dengan ekspresi sebal. Sengaja dari awal kuaktifkan speakernya supaya Luka bisa turut mendengarkan.

"Lebay amat lo, Bang!" Kali ini Luka yang menanggapi, sudah sangat muak dengan sikap berlebihan sang kakak. "Mending lu istirahat deh,"

"Istirahat apaan?! Gue ada kelas—"

"Maksud gue istirahat nyari cewek, lama-lama lo bisa cape. Lagian sok kecakepan banget jadi orang,"

Tajamnya mulut seorang Luka.

"Nyatanya gue cakep—"

Dan panggilan pun langsung diputuskan sepihak oleh sang adik yang sudah tidak tahan mendengar celotehan tak berujung.

"Elo kuliah gak?" Luka beranjak berdiri tanpa membenarkan seprei kasurnya terlebih dulu dan malah langsung bergegas menuju toilet.

"Nanti siang,"

"Kalau gitu abis ini anterin gue...," ujarnya sambil mengambil handuk kecilku di gantungan. "Hari ini kita bakal berbuat kebaikan, anggap aja kayak gitu, nambah pahala."

Keningku langsung mengerut seketika.

###

"Lita, namanya."

Sekarang ini kami sedang berdiri di balik tembok pagar, lebih tepatnya bersembunyi.

Memata-matai seorang perempuan yang sedang duduk di teras berkutat dengan tali sepatu. Nampak siap akan berangkat pergi.

"Itu ceweknya?! Yang jadi incaran Bang Ogi?"

Mulutku langsung dibekapnya. "Kebiasaan!" Menurut Luka, beberapa kali dirinya bilang bahwa suaraku terlalu besar untuk ukuran badan kecil ini, namun tentu tak lebih kecil dari badannya.

Katanya suaraku sudah persis seperti suara Patrick 'si bintang laut'. Jangan langsung dibayangkan! Suaraku lebih bagus dari itu, menurut teman-teman lama yang secara teknis hanya sekadar kenalan mengatakan bahwa suaraku itu enak didengar, serak-serak basah, sekali lagi kata mereka.

"Cakep. Tapi cakepnya standar," celetukku.

Luka mendelik tak sependapat. "Emang menurut lo yang di atas standar kayak gimana?!" Dia berujar dengan mengatupkan gigi-giginya nampak berusaha meredam suara.

"Kayak elo lah."

Keceplosan.

Tapi aku tak menyesal karena itu lah kenyataannya.

"Cie mukanya langsung merah, kepedean!"

Dan perkataanku barusan langsung dihadiahi jitakan di kepala.

Maaf Luka, nyaliku ciut untuk mengatakan secara langsung bahwa kamu itu lebih dari atas standar kecantikan mana pun, ah bidadari pun sepertinya terkalahkan.

Dan terutama soal perasaan ini, aku memang terlalu pengecut untuk menjadi seseorang yang jujur mengutarakan cintanya.

Suara klakson mobil terdengar nyaring, sehingga mengalihkan pandangan kami. Menghentikan aksiku berpura-pura menyebalkan di mata Luka.

Seorang pria keluar dari balik kemudi dan disambut dengan pelukan hangat oleh Lita.

Cekrek!

Sudah diduga, pantas tadi serasa ada yang bergerak di saku celanaku. Jemari ramping Luka ternyata berhasil mengambil handphone-ku.

Dan ia juga telah berhasil mengabadikan moment pelukan beberapa detik lalu, layaknya paparazzi gadungan.

Kini dirinya sibuk mengetik, nampak sangat antusias memberitahukan berita dari hasil penemuannya kepada bang Ogi. Sementara aku, lebih memilih memperhatikan dua orang di depan sana yang terlihat begitu akrab sampai samar-samar kudengar Lita memanggil pria itu dengan sebutan 'adik'.

"Lulu, apa yang lo kasih tau ke Bang Ogi?" tanyaku dengan mata masih tertuju ke arah dua orang itu.

"Gue cuma bilang 'Dilarang iri. Lita udah ada yang punya'."

"Emang bener-bener sok tau banget lo. Cowok itu adeknya,"

"Oh, berarti gue salah ya. Yah udah terlanjur ngasih tau, biarin lah biar Bang Ogi istirahat nyari-nyari." Dan dengan santainya Luka mengembalikan handphone ke saku celanaku, sebelum akhirnya berbalik pergi terlebih dulu.

Sungguh sebuah kesalahpahaman yang menjerumuskan pada kebohongan. Padahal tadi ia bilang bakal mengajakku berbuat kebaikan, tapi kenyataan malah sebaliknya.

###

LUKA [GxG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang