#6 Saat Hari Itu Tiba

17 0 0
                                    

Lagi, rasanya berat sekali. Hidup ini berat dan saya nggak tahu harus apa dan bagaimana. Lebaran kali ini tidak ada kata pulang. Lebaran kali ini rasanya kata maaf yang terucap tidak benar-benar tulus. Apa karena ini saya jadi tidak tenang?

Kok saya mengeluh terus, ya?

Tiga hari setelah lebaran rasanya setiap hari ingin menangis, resah, dan kacau. Dan tepat setelah tiga hari, seseorang yang saya selalu mencoba yakini bahwa dia adalah seseorang yang istimewa bagi saya mengatakan kalimat yang dari dulu sudah saya tunggu-tunggu. Kalimat untuk mengakhiri.

"Aku merasa masih belum siap untuk menjalani hubungan yang seperti ini, dengan aku yang masih kekanak-kanakan, yang ada aku malah menjadi beban buat kamu. Maaf butuh waktu lama buat aku paham perihal ini."

Saya merasa kehilangan, tapi juga lega. Sesuatu yang selama ini saya pendam, akhirnya bisa terungkap tanpa perlu usaha kerja keras dari saya. Mungkin ini jawaban dari kebimbangan saya selama berbulan-bulan.

Dia orang yang selalu setengah-setengah saya yakini kalau saya sayang ke dia. Padahal hingga detik ini, saya tidak pernah benar-benar berani mendefinisikan apa itu rasa sayang ke lawan jenis.

Jadi, hari ini adalah akhir dari cerita pengulangan dengan beda rute petualangan yang kedua. Pasti kalian bingung? Yang pertama itu sudah pernah. Iya, begitu kira-kira. Tapi tetap, kali ini ternyata sama seperti yang pertama. Sama-sama tidak menemukan titik temu. Yang hampir dua tahun itu ternyata akhirnya seperti ini.

Apa akan ada petualangan yang ketiga?

Atau apa ini artinya beban saya telah berkurang satu?

Tapi disisi lain, saya juga merasa kehilangan teman. Teman saya berkurang satu. Teman yang akrab. Ya, susah memang mencari teman yang bisa diajak akrab dengan saya. Mendadak rasanya seperti tidak ada orang yang bisa saya jadikan patokan. Padahal jelas, dia bukan berarti seluruh dunia saya. Saya bahkan rasanya nggak pernah jadiin dia sebagai acuan dalam melakukan segala hal. Saya pun nggak merasa hidup bergantung dengan dia. Tapi, ya itu, mulai detik setelah dia mengucapkan kalimat itu, dia seperti mulai menghilang. Pudar. Menjauh.

Jujur. Setelah dia mengatakan itu, saya menangis. Tapi saya menangis bukan karena dia telah lepas dari genggaman saya. Saya menangis karena mendadak saya merasa hidup saya benar-benar belum jelas tujuannya.

Kenapa dulu saya ke tempat ini?
Bagaimana kalau dulu saya ke tempat lain saja?

Terbesit pemikiran kalau kedatangan saya ke tempat ini adalah hal yang sia-sia. Tanpa arah. Hanya ego negatif yang memimpin. Tapi keesokan harinya saya sadar; saya tidak benar-benar mengambil jalan yang sia-sia. Malam itu saya hanya sedang terguncang. Mungkin karena salah satunya teman saya mengucapkan hal-hal yang padahal sudah saya tunggu-tunggu. Rasanya sepeti;

"Meskipun sudah membayangkan akhirnya akan seperti apa, tapi waktu hari itu terjadi akan beda rasanya."
"Iya, karena tidak disangka-sangka."
"Secepat ini, begitu, ya?"
"Bukan, ternyata hari ini."
"Padahal sudah bersiap kalau hari ini datang bakal gimana, tapi masih saja susah buat nerima, ya?"
"Ya sedikit. Aneh rasanya."

Saya mulai berpikir kalau;

Apa puncak dari rasa sayang ke lawan jenis itu jika dia meminta lepas, kita justru merasa ikhlas?

Meskipun saya tidak benar-benar yakin perasaan saya seperti apa.


xx.

Saat-saat yang Akan Selalu TercatatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang