Chapter 1

55.6K 2.5K 52
                                    

Suara musik berdentum keras diiringi dengan suara tawa yang sangat memekakkan telinga. Hanni yang duduk di pojokan bar, menutup kuping dengan kedua belah tangan. Bahkan earplug yang sudah sedari awal terpasang di telinga, tidak cukup kuat menahan suara dentuman musik.

Sungguh terlalu! Seharusnya si bos tidak perlu mengajaknya ke tempat seperti ini. Apa coba yang bisa dinikmati dari ruang dengan pencahayaan remang-remang dan suara musik yang sangat menyiksa telinga?

Di keremangan lampu bar, Erlan yang sedang berbincang dengan salah seorang temannya, mengambil minuman yang baru dibawa oleh waiter. Hanni memperhatikan dengan seksama. Seperti biasa, wajah ganteng tanpa ekspresi sang bos begitu menarik perhatian, ada banyak pandangan berfokus ke sana.

Hanni tersenyum sendiri, hanya dari jarak jauh ia berani menatap bosnya. Saat dekat, ia hanya berani menatap seperlunya saja untuk menjaga eye contact saat berbicara. Bosnya itu mempunyai mata yang sangat tajam dengan alis yang indah. Pernah suatu saat ia memberanikan diri untuk menjalin eye contact  dalam waktu yang agak lebih lama dari biasanya. Dan hasilnya? Hanni merasakan jantungnya berdetak lebih kencang yang menyebabkan ia menjadi nervous dan seakan merasa Erlan bisa membaca isi otak dan hatinya. Sejak saat itu, ia memutuskan untuk menjaga eye contact seminimal mungkin. 

Erlan menikmati minuman seteguk, dua teguk sebelum menghabiskan segelas. Tak beberapa lama, Erlan seperti terdiam dengan pandangan fokus ke gelas. Ia mengambil ponsel di dalam kantong celananya dan melihat ke arah pojokan ruangan. Ia tahu Hanni ada di sana.

Melihat panggilan masuk di ponselnya, Hanni langsung memasang handsfree.

“Iya, Bos.”

“Ada yang tidak beres dengan minumannya. Bawa aku keluar dari sini!”

“Siap, Bos.” Hanni langsung bangkit, berjalan cepat ke posisi Erlan. Sosoknya yang melangkah melewati tengah ruangan dengan wajah polos, berbeda jauh dengan penampilan cewek lainnya yang ada di dalam ruangan.

Hanni masih memakai pakaian kerja, penampilan profesionalnya dengan rambut model bun dan kacamata minus, tetap tidak bisa menyembunyikan daya pikatnya dari perhatian teman-teman Erlan. Hanni tersenyum seperlunya, hanya ke sosok teman-teman Erlan yang ia kenal saja.

Begitu sosok Hanni mulai dekat, Erlan bangkit.

“Sorry, aku balik duluan.”

“Ada apa? Kita belum ngobrol banyak.” Steve ikutan bangkit dan melihat sosok Hanni, sang sekretaris yang selalu ada kemana pun Erlan pergi.

“Next time.”

“Oke.”

Hanni mengikuti Erlan yang berjalan di depannya. Begitu mereka keluar dari pintu bar, Erlan berhenti.

“Pegang tanganku, aku pusing sekali,” ucapnya tanpa berbalik. Hanni langsung melangkah ke samping Erlan dan menggandeng lengannya.

“Kita istirahat di kamar sebentar, saya hubungi Dokter Ricky.” Sambil berjalan Hanni menelpon ke Manager in Charge.

“Tolong buka kamar 2001. Bos perlu istirahat, kami menuju ke sana dari bar. Urgent!”

"Siap, Mbak Hanni," jawab Sang Manager in charge yang mengenal Hanni.

“Mas Imam, cek posisi.” Hanni menelpon bodyguard Erlan.

"Seratus meter dari hotel," jawab suara agak serak dari seberang.

“Oke, segera ke kamar 2001, Bos perlu bantuan. Urgent!” Sang bodyguard yang sebelumnya dilarang Erlan untuk mengawal di bar, segera tancap gas. Untung saja posisi mereka tidak jauh dari hotel.

“Dokter Ricky, Bos perlu bantuan. Tolong bawa penawar untuk obat apa pun yang mungkin dicampur ke dalam minuman. Kamar 2001 Hotel Mars. Sekarang, urgent!” Kali ini Hanni menelpon dokter pribadi Erlan.

"Oke, Hanni. Segera meluncur," jawab Ricky yang segera membelokkan mobilnya menuju ke arah Hotel Mars.

Erlan merasakan tubuhnya yang mulai memanas dengan napas berangsur sesak. Ia berjalan mulai sempoyongan sebelum Hanni mendorong tubuhnya ke dalam lift, dan menyenderkannya ke dinding.

“Sebentar lagi sampai, Bos,” ucap Hanni sambil fokus menatap layar lift. Erlan yang bersender di dinding lift dengan posisi di belakang Hanni, menatap sosok di depannya dengan penuh hasrat dan dengan tiba-tiba memeluk tubuh Hanni. Hanni kaget sekali, Erlan memeluknya sangat erat sehingga ia bisa merasakan suhu tubuh dan nafas Erlan yang hangat dengan degup jantung yang berdetak kencang.

“Bos!” Hanni mecoba melawan, tapi Erlan memeluknya lebih kuat lagi bahkan mulai mencium leher bagian belakangnya. Sepertinya ia tau obat apa yang dimasukkan ke dalam minuman Erlan. Hanni berusaha tenang mengendalikan degup jantungnya yang ikutan berdetak kencang. Dua tahun sudah ia menjadi sekretaris Erlan, dan ini adalah kontak fisik pertama mereka. Hanni merogoh kantong blazer, mengeluarkan ponsel dan kembali menelpon Imam.

“Mas Iman, sudah sampai mana?”

“Lima menit lagi, macet ini."

“Oke. Jangan matikan ponsel, Bos mulai bereaksi. Usahakan cepat kemari, gue nggak sanggup melawan. Bos sepertinya dikasih obat perangsang.”

“Apa?”

“Cepat! Gue perlu bantuan. Jangan matikan ponsel!"

Suara lift berhenti.

“Kita sudah sampai, Bos.” Hanya ada 1 president suite di lantai 20 dan Hanni melihat pintu kamar sudah terbuka. Erlan yang pikirannya antara sadar dan tidak, melepaskan pelukan dan dengan cepat menarik tangan Hanni keluar dari lift.

“Kami segera masuk ke kamar. Cepat, Mas!” ucap Hanni yang menginformasikan ke Imam.

“Bawa masuk Bos langsung ke kamar, kunci dari luar. Menjauh!”

“Oke.”

Begitu sampai di luar pintu kamar, Erlan yang sudah tidak sanggup mengontrol hasratnya, mendorong Hanni ke dinding koridor.

“Akh….” Hanni berteriak kaget, kepalanya terasa nyeri dan bahunya sakit sekali. Dan sebelum ia sempat protes, Erlan sudah mencium bibirnya dengan kasar. Hanni mencoba melawan. Tangannya memukul-mukul ke dua lengan Erlan, tapi Erlan tidak perduli dan malah semakin menciumnya dengan brutal. Hanni berusaha menggerakkan kakinya, tapi sia-sia. Ia sama sekali tidak sanggup melawan. Tubuh Erlan jauh lebih tinggi dengan dada bidang, tubuh Hanni tenggelam dalam pelukannya.

Imam yang di seberang, mendengar teriakan Hanni dan mulai was-was.

“Tahan sebentar, kami sudah di lobi.”

Hanni tidak bisa merespon. Kali ini Erlan sudah berhasil membuka pertahanan bibirnya yang semula tertutup rapat. Hanni merasakan tubuhnya melemah bahkan ia bisa mendengar degup jantungnya begitu lidah Erlan menyentuh lidahnya dengan penuh hasrat. Erlan yang sepertinya merasa tak puas karena ciumannya tak berbalas, mulai melingkarkan tangannya ke pinggang Hanni sehingga tubuh mereka menempel sangat erat.

Hanni membuka matanya yang semula terpejam karena menahan pusing akibat benturan. Ia melihat wajah Erlan dengan mata tertutup yang tampak sangat menawan dan seksi. Wajah seorang pria yang sedang di puncak hasratnya. Seandainya Erlan dalam keadaan sadar, ia pasti dengan senang hati akan menyambutnya dan membalas dengan hasrat yang sama. Tapi bosnya ini dalam pengaruh obat, walaupun ia sudah lama diam-diam menyukai bosnya...tetap saja, ikut menikmati keadaan ini sangat tidak pantas dan hanya akan menyakiti dirinya sendiri.

Ciuman pertama yang jauh dari bayangannya. Hanni mulai kesulitan bernafas sampai ia terbatuk-batuk yang membuat Erlan melepaskan ciumannya. Erlan membuka matanya yang semula terpejam. Ia menatap wajah di depannya dengan seksama. Pandangannya kabur, ia tidak bisa melihat dengan jelas wajah di depannya. Hanni menarik napas dalam.

“Bos, ayo kita istirahat di dalam. Dokter Ricky sedang kemari,” ucapnya dengan suara lemah.

Imam yang sudah berada di lantai bawah, segera berlari diikuti oleh 2 bodyguard lainnya. Hanni menarik tangan Erlan dan membawanya ke dalam. Tapi Erlan segera mengambil alih, menarik tangan Hanni dan menyeretnya ke dalam kamar tidur.

Don't CroSS the LinE!!! (EBook sudah Tersedia Di PlayStore)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang