Bab III - Di Seberang Laut

7 1 0
                                    

Wijaya terlelap setelah pesawat kargo yang mereka naiki lepas landas dari markas di Osaka. Perjalanan mereka akan memakan waktu kurang lebih dua jam, cukup waktu baginya untuk beristirahat. Tidak semuanya mengikuti cara Wijaya, sebagian justru sibuk dengan raksasa besi masing-masing.

Beberapa memilih untuk mengomel.

"Bagaimana mungkin kau selalu bisa tidur di masa-masa macam ini?"

Enggan membuka mata, Wijaya menjawab Lev dengan datar, "Kita belum mau mendarat, kan?"

"Masih satu jam lagi."

"Oke."

Wijaya kembali terlelap tanpa memedulikan Lev yang kembali menggerutu. Suara mesin pesawat yang lebih keras saja bisa tidak dia acuhkan, apalagi suara Lev.

Dia tidak sepenuhnya tidur. Sebagian dari otaknya seperti masih memproses keadaan di sekitarnya. Samar-samar dia masih separuh menyadari pergerakan rekan-rekan satu regunya.

"Bangun, Putri Tidur," sapa Win sambil menyikut rusuk kiri Wijaya. "Pelican besi ini sudah mau mendarat."

Wijaya akhirnya membuka mata, kebetulan kata-kata Win berdekatan dengan bunyi dipersiapkannya roda pesawat. Kalau tidak ada bunyi itu, Wijaya juga tidak akan mengindahkan sapaan dan sikut Win.

"Bangun juga kau akhirnya," Lev mendengus. Dia meninju bahu kanan Wijaya, "Itu untuk dua hari yang lalu."

"Tidak sakit."

Lev mengangkat tangannya bersiap meninju sekali lagi. Wijaya menatapnya dingin, membuat perempuan berdarah Siberia itu mengurungkan niatnya.

"Kutembak subutai-mu nanti," gerutu Lev.

"Aku dengar itu Lev," Boris meraung. Dia duduk di posisi paling ujung kanan posisi, sekitar tiga empat orang dari Wijaya. Mereka duduk menyamping dan terikat sabuk silang di sisi perut pesawat yang luas ini.

Suara Boris cukup keras untuk menyaingi bisingnya suara mesin pesawat. "Sampai di Vladivostok, kau akan dikurung dalam sel isolasi sampai kita berangkat lagi."

"Puh," Lev menekuk wajah dan meninju bahu Wijaya sebagai pelampiasan.

Wijaya mengangkat tangan kirinya, bersiap membalas. Akan tetapi, Win menahan tangan Wijaya. "Hei, bung, tidak baik memukul perempuan."

"Kau pikir aku dilatih untuk membedakan laki-laki dan perempuan?" jawab Wijaya tenang sambil menggunakan tangan kanannya untuk meninju bahu kiri Lev.

"Hnngggh!" Lev mendadak mengangkat tangan kanan. "Pak Tua."

"Apa lagi, Lev?!"

"Aku mundur dari misi, sepertinya bahuku copot."

"Bagus, setidaknya dengan begitu kau tidak akan berusaha mendobrak sel isolasi lagi."

Lakhsman yang duduk di samping Win dan Sawamura tidak bisa menahan diri dan tertawa terbahak-bahak. Lev menggerutu dan untungnya pesawat mendarat tidak lama kemudian.

Bagian moncong pesawat membuka ke atas setelah pesawat kargo parkir di landasan. Para kru dengan cepat bergerak untuk mengeluarkan delapan stielkruger dari dalam perut pesawat. Kecuali T-11 yang dipiloti Lakshman dan Yon, masing-masing memiliki model yang berbeda.

Kedua T-11 berada di posisi paling depan. Mereka adalah seri terbaru dari model produksi massal yang dibuat oleh perusahaan dari Petersburg-Siberia. T-11 mirip seperti kesatria abad pertengahan dengan tubuh lebar. Di bahunya yang besar, terdapat bentuk bagai perisai kecil khas milik stielkuger seri T. Kepalanya agak lonjong ke atas dan dilengkapi satu kamera yang bisa bergerak bebas di celah berbentuk tanda tambah di bagian muka. Mereka berdua selalu membawa perisai. Bedanya Lakhsman lebih suka senapan serbu dan Yon lebih suka senapan patah. Posisi perisai mereka juga berbeda, Lakhsman di tangan kiri sementara Yon di tangan kanan.

Stielkruger: Re-MissionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang